1
Hari itu udara Jakarta timur terasa hangat, bukan panas, tapi cukup untuk membuat keringat kecil muncul. Aku baru saja selesai menata buku-buku di rak kamarku. Bau cat baru masih menempel di udara, bercampur aroma kayu dan kardus. Rumah ini tidak terlalu besar, tapi terasa nyaman.
Sesekali aku berhenti, melihat punggung ibu yang sedang menyapu ruang tengah. Dalam hati, aku berdoa agar waktu berhenti di sini saja agar kami selalu berdua tanpa kehilangan, tanpa luka baru.
Saat mengangkat koper kecil ke kamar, pikiranku melayang ke masa lalu. aku jadi teringat Bastian. Dulu, saat aku pindahan ke apartemen pertama kali, dia yang datang lebih awal, membawa dus dan mentertawakan betapa berantakannya kamarku. Kalau dia masih ada, mungkin dia akan datang lagi kali ini, cukup khas bagiku jika mendengar candaannya yang membuat suasana menjadi ringan. sekarang, hanya kenangan yang tersisa.
Dan aku benar-benar membereskan rumah. meja makan yang tersusun rapi, tirai yang sudah terpasang, bahkan taman di belakang sudah ku bersihkan. Malamnya aku dan ibu makan bersama di ruang makan baru kami. Tidak ada televisi menyala, hanya percakapan kecil dan tawa yang sederhana.
Aku berkata dalam hati : kalau bisa, ibu jangan ke mana-mana. Aku sudah cukup kehilangan satu demi satu. Ibu jangan.
2
Keesokan paginya, aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya. Bimbingan terakhir sebelum siding skripsi minggu depan. Aku membawa laptop, map tebal berisi lembaran skripsi yang sudah penuh coretan revisi. Setelah selesai bimbingan, aku langsung ke tempat fotokopi langgananku untuk mencetak hasil skripsi.
Siangnya, saat aku sudah selesai dari kampus dan fotokopi lalu pulang ke rumah, aku membantu ibu menata kamar tamu tapi tiba-tiba telepon berdering. dari panti asuhan. suara dari ibu Yayasan yang memberitahuku bahwa Chintya, anak yang paling dekat denganku, sedang sakit dan ia ingin aku menjenguknya. Tubuhku refleks menegang. Aku menatap ibu dan memohon izin untuk menjenguknya.
“Boleh,” kata ibu dengan lembut. “Tapi, ibu antar, ya.”
3
Perjalanan ke bogor memakan waktu yang cukup lama. Mobil melaju pelan menembus jalanan yang mulai padat. Di sepanjang jalan, ibu sempat berhenti di pinggir jalan membeli air kelapa muda. Katanya bagus untuk menurunkan panas.
Saat sampai di panti, suasana terasa sepi. Beberapa anak bermain di halaman, tapi tidak seceria biasanya. Aku masuk ke kamar Chintya ia meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal, wajahnya pucat tapi tetap tersenyum kecil melihatku datang.
“Kak Luna,” Suaranya pelan.
Aku menggenggam tangannya, hangat. ibu duduk di samping, memeriksa suhu tubuhnya dengan lembut. Kemudian ibu menyodorkan air kelapa yang tadi dibeli.
“Minum ini, sayang,” Kata ibu.
Chintya meneguk perlahan, lalu tersenyum. “Terima kasih, tante, kak Luna.”
Aku membalas senyumnya, meski dalam dada sesak. Anak sekecil ini, seindah ini hidupnya sudah kehilangan begitu banyak hal. Wajahnya cantik, kulitnya bersih, seperti anak-anak Turki yang sering aku lihat di majalah. Aku tidak tahu kenapa dunia begitu kejam padanya.
Dalam hati, aku berpikir, andai aku bisa membawanya pulang, menjadikannya seseorang yang layak untuk hidup damai, menjaganya seperti dulu aku dijaga ibu, tapi itu tak mungkin. Ibu pun sudah sempat bilang, “Kita bantu semampunya, tapi jangan buat janji yang tidak bisa kamu tepati.”
4