Jangan kemana-mana,ya!

Meidiana Shavira
Chapter #24

Tak ingin selesai

Hari itu akhirnya datang. hari yang biasanya aku bayangkan ketika sedang begadang di depan laptop, dikelilingi buku-buku teori psikologi dan secangkir kopi yang dingin sebelum sempat diminum. Hari sidang yang menegangkan.

Aku duduk di depan ruangan. Jantungku berdegup cepat, hampir tak berirama. Namaku dipanggil, aku masuk.

Segalanya begitu cepat. Pertanyaan dosen, presentasi singkatku tentang kehidupan. Di tengah rasa gugup itu, aku masih bisa melihat diriku yang dulu, anak perempuan yang sering takut, sering ragu, tapi selalu memaksa diri untuk maju.

2

Ketika sidang selesai, aku tersenyum lega. Teman-temanku memelukku satu persatu. Ada Nuri yang memotret dari jauh, Elsa menjerit kegirangan sambil berkata, “Akhirnya kita lulus, ya!”

Aku tertawa. tapi entah kenapa, di antara semua tawa itu, hatiku terasa sepi.

ada ruang kosong di sudut pikiranku. Ruang yang dulu diisi oleh seseorang bernama Bastian. Aku menatap ruang studio tempat kami dulu sering membicarakan tentang kehidupan, masa depan, pekerjaan, masa lalu, kesukaan, hobi. Dulu, setiap selesai simulasi atau presentasi, Bastian akan menepuk pundakku, berkata santai dan menawariku tumpangan. Kalimat itu tak pernah aku dengar lagi. dunia menegaskan bahwa beberapa kehadiran hanya singgah untuk memberi pelajaran lalu pergi.

3

Malamnya aku pulang ke rumah, lelah tapi bahagia. Di ruang tamu, ibu sudah menungguku dengan bunga dan kue kecil.

“Selamat sudah kuat sejauh ini,” katanya sambil tersenyum.

Aku tertawa, lalu menangis. Rasanya seperti menutup satu bab panjang penuh luka, tapi juga penuh cinta.

Beberapa minggu kemudian, hari wisuda pun tiba. Aula kampus ramai dengan toga hitam, lampu-lampu besar dan tumpukan bunga. Aku mengenakan toga dengan tangan gemetar, bukan karena gugup, tapi karena sadar perjalanan panjangku sudah sampai titik ini.

Arga dan Tyas datang bersama bayi kecil mereka. Tyas memeluk sambil tertawa, “Akhirnya kamu sudah sampai sini,”

Aku hanya tersenyum, tapi dalam hati aku tahu, ada satu wajah yang tidak muncul hari itu yang tidak tahu kabarnya sampai hari ini.

4

Beberapa hari setelah wisuda, ibu mengajakku ke Bandung. “Kita ke rumah lama, ya. Ibu sekalian mau silaturahmi,” katanya.

Aku mengangguk, menyiapkan barang-barang kecil. sepanjang jalan ke Bandung, pemandangan kota dan pepohonan membuatku bernostalgia. Tapi setibanya disana, kenyataan terasa getir.

Ayah ada di rumah itu, rumah yang menjadi saksi masa kecilku. Ia keluar dengan wajah yang tampak sedikit menua, tapi senyum yang sama masih melekat. Di sampingnya, berdiri seorang perempuan yang mungkin seumuran dengan ibuku, pasangan barunya.

Aku menunduk sopan, mencoba ramah, tapi suasana canggung. Ibu tetap tenang, bahkan tersenyum tipis. ia tidak menyinggung masa lalu, tidak mengungkit apapun. Ia hanya berbicara tentang kabar, tentang pekerjaan, lalu berpamitan baik-baik.

Dalam perjalanan menuju hotel tempat kami menginap, aku menatap wajah ibu sekilas, ia tampak tenang.

“Ibu nggak apa-apa?” tanyaku.

Ia menoleh sebentar dan tersenyum. “nggak. kadang kita harus damai dengan masa lalu.”

Kata-katanya menancap di hatiku.

5

Sore itu setelah sampai ke hotel, aku meminta izin untuk pergi sendiri ke palasari. Tempat itu masih sama, tapi juga berbeda. Jalanan yang dulu basah oleh hujan kini berdebu, toko-toko buku yang dulu ramai kini banyak yang tutup. Aku berjalan menyusuri gang kecil tempat aku dulu pertama kali bertemu Niskala.

Tidak ada dirinya disana, tidak ada sisa tawa, tidak ada aroma hujan yang dulu bersama kami.

Hanya sunyi.

Aku berdiri depan toko buku tua, menatap papan nama yang hampir pudar. Dalam hati aku berbisik, “kalau kau masih disini, aku hanya ingin bilang, aku sudah lulus, aku sudah sampai sejauh ini meski tanpa kamu.”

Lalu aku melangkah pergi.

 

6

Besoknya, kami makan pagi di hotel, mengobrol soal masa depan, soal profesi bahkan soal pernikahan. Walaupun sebenarnya ibu tidak terlalu ingin aku cepat menikah tapi juga tidak tahu dengan siapa. ibu juga tidak banyak bicara soal itu. ibu hanya bisa menyenangkan ku tapi. Hari itu cukup santai tapi tidak dengan ibu yang harus pergi bersama teman-temannya yang kebetulan karena kami sedang di Bandung.

Aku kembali meminta izin keluar.

“Ke mana?” tanyanya sambil menata rambut.

“Gramedia,” jawabku.

Ia tersenyum kecil. “Jangan lama-lama nanti ibu mau nyusul,”

“Oke.” Kataku sambil menciumnya lalu keluar.

Aku berjalan sendiri ke Gramedia. Udara Bandung masih sama seperti dulu. dingin tapi lembut, seperti menyimpan memori yang tidak ingin pudar. Saat memasuki toko, aroma kertas dan tinta menyambutku. Entah kenapa, di tempat seperti ini, bayangan Niskala selalu terasa dekat.

Aku menaiki tangga menuju lantai dua dengan langkah pelan, hingga tiba-tiba sesuatu menghentikan nafasku sejenak. Siluet seseorang di atas tangga. Tinggi dengan jaket abu dan parfum yang menyerbak. Aku mengenalinya. Hatiku berdegup begitu cepat hingga rasanya seluruh dunia berhenti berputar. Aku hampir tidak berpikir ketika mulai mempercepat langkahku yang mencoba mengikuti bayangan itu.

Ia melangkah cepat, menuju lift di ujung lorong.

“Niskala?” panggilku setengah berbisik, tapi suaraku tenggelam dengan bunyi lift yang menutup. Aku menatap layar kecil di atasnya, angka naik ke lantai 3. Aku tahu dia sedang di lantai 3.

Tanganku sedikit gemetar ketika menekan tombol lift. Nafasku tersengal, bukan karena lelah, tapi karena gugup dan harapan yang tiba-tiba tumbuh liar tanpa kendali.

Sesampainya di lantai 3, aku menelusuri lorong demi lorong. Tidak ada dia. haynya beberapa pengunjung sibuk memilih buku.

Aku berhenti.

Mungkin hanya perasaanku yang terlalu dalam hingga menciptakan wajahnya di mana-mana. Aku menarik napas pajang, menenangkan diri. Lalu melanjutkan mencari buku. di rak bagian “buku novel”, mataku berhenti pada satu nama yang begitu kukenal.

Bandung bersama Dewita” buku karya Niskala.

Masih dicetak ulang, dengan sampul baru. aku tersenyum kecil “kamu masih menulis, ya,” gumamku lirih.

Tanganku menelusuri rak bawahnya. Ada buku lagi.

Sampulnya putih dengan gambar bintang-bintang kecil dan seorang perempuan bergaun biru. Judulnya : Aluna peri dongeng sejuta mimpi.

Dunia seolah berhenti detik itu.

Tanganku gemetar memegang buku itu. namaku di judul buku. aku membuka halaman pertama pada buku yang memang tidak dipakaikan plastik. Membaca kalimat pembuka yang membuat dadaku sesak.

“untuk Aluna, peri dongeng yang mengajarkan arti bertahan.”

Lihat selengkapnya