Delapan tahun lalu
KUBUBUHKAN tanda tangan terakhir pada kertas dua rangkap yang diberi cap, lalu menyerahkan lembaran asli kepada staf administrasi. Lembar kopian dan berkas lainnya kusimpan kembali ke dalam map. Wanita paruh baya yang sudah menghabiskan waktu sepuluh menit duduk di hadapanku akhirnya dapat tersenyum tipis setelah memberiku tanda terima arsip fakultas. Aku meraih ransel di dekat kakiku, mencangklongnya di bahu kanan sambil bangkit dari tempat duduk, lalu mengucapkan terima kasih sebelum berpamitan.
Kakiku terasa begitu ringan saat melangkah keluar dari ruang tata usaha. Udara pagi yang kuhela di pelataran kampus juga terasa lebih ringan. Semilir angin sejuk khas kota ini perlahan berembus, seakan turut membisikkan kabar gembira pada daun-daun pohon flamboyan yang bergoyang di sekitarku.
Aku merogoh ponsel dari saku celana. Meskipun pagi ini hatiku merasa senang, entah mengapa aku selalu meringis dan mengasihani diriku sendiri setiap kali menatap retakan di layar ponselku. Bukannya aku tidak berniat untuk memperbaiki ponsel Blackberry ini atau apa, tetapi kondisinya yang seperti sekarang menjadi saksi bisu perjuanganku melewati kuliah selama tiga tahun. Kuarahkan tombol navigasi, membuka daftar pesan dan mencari nama Ibu dengan pandangan layar yang terbatas. Sambil berjalan ke arah parkiran, aku mengetikkan:
“Urusan di kampus udah selesai semua, Bu. Tapi tahun ini aku tetap di rumah Kakek dulu, ya? Mungkin baru pulang ke rumah lebaran nanti. Ibu sehat-sehat di sana.”
Kirim.
Ibu pasti bangga mendengar itu, walaupun mungkin ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya terhadapku. Keputusanku untuk menunda waktu wisuda menjadi topik hangat yang selalu dibicarakannya selama berbulan-bulan. Setiap kali Ibu meneleponku, ia selalu menemukan cara untuk menggoyahkan keinginanku jika ada kesempatan. Atau ia akan selalu menelepon sekadar untuk mencecarku dengan pertanyaan kapan pulang.
Di awal semester, Ibu pernah membujukku pulang dengan mengirimkan foto plat nomor mobil baru menggunakan kombinasi angka dan huruf “713 UR” setelah dua huruf awal kode plat kendaraan. Ibu berkata bahwa kombinasi itu bisa dibaca menjadi “TIMUR”. Aku tahu Ibu melakukan itu hanya karena ia begitu sayang kepadaku, dan mungkin ia mengira aku akan langsung tergoda dan ingin cepat-cepat pulang ke rumah untuk menggunakan mobil itu.
Saat itu aku menjelaskan, jika seseorang yang melihat plat nomor itu dan tidak punya daya imajinasi seperti Ibu—terlebih lagi jika orang itu berasal dari tanah Sunda, tulisan “713 UR” itu seratus persen akan terbaca sebagai LIEUR yang berarti “pusing”. Ibu justru terbahak-bahak ketika baru menyadari hal itu.
Pernah lagi suatu waktu Ibu meneleponku, memberi tahu bahwa pengerjaan taman dan kolam ikan di belakang rumah hampir selesai. Ibu mengatakan jika aku bisa wisuda dalam waktu dekat, ia berencana mengadakan acara selamatan kelulusanku bersamaan dengan meresmikan kolam di taman belakang.
Aku mengerti niat baik Ibu, tetapi tetap saja aku mengatakan belum ingin pulang ke kampung halaman karena masih ada beberapa hal yang harus kulakukan. Aku ingin mengejar cita-citaku menjadi seorang penyiar, dan hal itu tidak bisa ditunda hanya karena adanya kolam dan taman. Sejak saat itu, panggilan telepon dari Ibu mulai berkurang.
Kukantongi ponsel kembali, dan sinar hangat mentari menyapu wajahku saat aku menaikkan pandangan. Berjalan-jalan sebentar di sekitar kampus menikmati udara segar dan rimbun pepohonan yang teduh kurasa bukan ide yang buruk, mengingat tempat ini akan kutinggalkan kurang lebih selama setahun.
Langkah kakiku membawaku mendekati area gedung serbaguna, bersebelahan dengan bangunan bertingkat yang menjadi ruang kelasku beberapa tahun terakhir. Ketika mengalihkan pandangan ke arah berlawanan, aku melihat beberapa orang teman kampusku duduk di bangku area pendopo. Salah satu dari teman kampusku tampak terkejut melihat kedatanganku, lalu bertanya apa yang kulakukan di kampus sepagi ini.
Aku menjelaskan baru saja menyelesaikan proses pengajuan cuti. Wajahnya justru semakin penasaran, ia bertanya lagi tentang beasiswa yang kudapatkan. Kujawab bahwa jatah beasiswa terakhir akan tetap kuterima di tahun keempat karena aku baru saja mengurus semuanya.
“Kenapa nggak langsung cabut aja, sih? Sekalian lulus, gitu?” sahut salah seorang laki-laki di meja tengah. Ia terkekeh sebelum melanjutkan, “Kan, lumayan buat mengurangi jatah senior idola adik tingkat.”
Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya, meraih bungkusan rokok di atas meja. Kunyalakan sebatang rokok yang menyelip di bibirku, lalu mengembuskan asapnya perlahan. “Eh, masuk universitas negeri itu susahnya minta ampun,” jawabku, setengah tertawa. “Saat itu, kampus kita tercinta ini cuma menyediakan dua ratus kursi kosong. Sedangkan pesaingku ada ribuan orang, itu juga termasuk kalian berenam. Sayang banget kalau kalian bersenang-senang sampai akhir sendirian.”
“Lagian, aneh banget, sih?” sambungnya. “Kenapa semua mata kuliah langsung kau habiskan di semester awal?”
Aku tertawa. “Kalau kalian masuk ke sini cuma buat ikut mapala dan eksplorasi gunung sana-sini, aku juga punya targetku sendiri, dong?”
“Bukannya sayang ninggalin dia, ya?” celetuk Abdul, seorang laki-laki berambut gimbal. Kata “sayang” dan “dia” yang ia ucapkan terdengar sengaja diberi penekanan.
Aku terkekeh, kemudian meletakkan kembali korek yang tadi kugunakan ke atas meja, sekaligus memberi jeda mencerna perkataannya. “Maksudnya Karin?” tanyaku, memastikan dia yang ia maksud.
Abdul mengangguk dan mencibir.
“Waktu itu aku cuma beberapa kali menemani dia minum, Dul. Nggak lebih. Kau tahu sendiri kalau dia masih belum bisa move on dari mantannya.”
Abdul tertawa, lalu menyalakan rokoknya sambil berkata, “Yah, kalau waktu itu ada kejadian lebih juga nggak masalah, sih. Kami paham situasinya. Selagi sama-sama mau, ya sikat, lah!”
Aku menggeleng pelan, tapi aku tidak tahu pasti untuk apa aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar kehabisan akal menjelaskan pada mereka bahwa selama ini aku dan Karin memang tidak punya hubungan apa-apa.
Setidaknya, menurutku.
Kuraih kopi dalam gelas plastik bening di atas meja bundar, kemudian menyesapnya. “Kesalahan itu cuma sekali, ya,” sahutku sembari meletakkan kembali gelas kopi. “Nggak mungkin terulang lagi.”
“Cuma sekali?” Kembali ia memberi penekanan pada kata “sekali” barusan, dan tawa Abdul semakin terdengar renyah setelah ia mengatakan hal itu. “Kau yakin?”
Aku tergelak, bahkan tawaku nyaris membuatku tersedak asap rokok yang mengendap di rongga hidung. “Dua! Eh, tiga kali! Lagian, Karin itu baru ngabarin kalau dia galau. Kalau nggak galau, ya udah ….”
“Yah, sekali nggak lebih. Tapi cuma kau, Karin, dan Tuhan yang tahu gimana dengan minum-minum bareng yang kedua dan ketiga kalinya.” Wajah Abdul semakin terlihat menyebalkan saat mengatakan hal itu.
Aku tertawa, tetapi tidak menanggapi ucapannya. Lebih tepatnya, aku bingung harus memberikan tanggapan apa supaya mereka berhenti berpikiran macam-macam. Yah, meskipun apa yang mereka pikirkan itu tidak sepenuhnya salah. Hubunganku dengan Karin memang sedikit rumit. Kami bukan sepasang kekasih, tapi terkadang bukan juga sebatas teman biasa.