Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #4

PLAYLIST 03: PAMERAN SENI

PEMOTONGAN pita peresmian baru saja dimulai saat kami tiba. Aku melirik beberapa tamu undangan penting yang sedang berfoto, seketika Kakek langsung berbaur di tengah kerumunan dan bercakap-cakap dengan pria berjas rapi. Aku mengikutinya sambil menggelengkan kepala. Tidak jauh dari tempatku berdiri, seorang panitia berkaus putih berjaga di dekat pintu masuk. Ketika aku menghampiri dan bertanya, ia memberitahu bahwa area pameran berada di lantai sembilan. Kakek memintaku naik duluan ke atas, sementara ia akan mencari Pambudi Setiawan untuk mengatur semua yang dibutuhkan. Aku mengangguk dan bergegas menuju lift di pelataran lobi utama.

“Kepalamu pernah dihantam benda keras?” Suara itu datang dari sebelahku.

Aku masih tidak menyadari jika pertanyaan itu ditujukan padaku setelah beberapa detik. Ketika benar-benar memastikan tidak ada orang lain lagi di sekitarku, dengan perlahan aku berbalik arah ke pemilik suara.

Seorang laki-laki paruh baya berdiri di sebelahku. Warna kulit dan kumis tebal yang menutupi hampir seluruh bagian mulutnya mengingatkanku pada sosok Pak Raden yang sering kulihat di televisi semasa kecil. Aku tidak menyangka kalau ia salah satu karyawan di tempat ini ketika melihat seragam tidak biasa yang ia kenakan dan topi pelaut lusuh yang menempel di kepalanya.

Laki-laki itu menekan tombol naik di antara dua pintu lift. Sambil berbalik badan, ia menunjuk ke arah dahiku. “Tanda lahirmu,” katanya lagi. “Kau mau naik ke lantai sembilan?”

Jemariku bergerak naik dengan sendirinya, meraba tanda lahir seukuran satu ruas jari yang ia maksud. Mataku juga sedikit menyipit karena entah bagaimana ia bisa langsung menyimpulkan tujuanku mendatangi pameran seni.

“Letak tanda lahir itu selalu punya kisah yang unik,” bisiknya lagi, tanpa menghiraukan aku yang mungkin saja tidak tertarik dengan topik percakapannya. Bisa kusadari bahwa kumis tebal laki-laki selalu bergerak mengikuti otot bibirnya. “Setiap bentuk tanda lahir bisa menunjukkan tentang bagaimana keadaan terakhir yang kita alami sebelum meninggalkan dunia pada kehidupan sebelumnya. Untuk kasusmu, kau di masa lalu pasti terkena pukulan keras di bagian kepala dengan cukup telak.”

Aku tidak yakin bagaimana harus menanggapi kalimat pembuka percakapannya yang unik. Sejujurnya, aku hampir memasang sikap siaga dan meningkatkan kewaspadaanku di awal pertemuan. Aku bahkan sedikit menjaga jarak agar laki-laki ini tidak sampai menyentuh dan menghipnotisku. Tapi, kurasa ia tidak punya maksud buruk. Jadi kuputuskan untuk mengikuti percakapannya, hitung-hitung mengisi waktu sampai pintu lift di depanku terbuka.

“Bukan tanda lahir, Pak,” kujawab sambil mengulas senyum. “Tiga jahitan ini kudapat saat masih kecil, sewaktu makhluk Mars menyerang kampung halamanku.”

Laki-laki itu membelalak, mempertegas warna cokelat muda pada kedua matanya. “Hah? Makhluk Mars pernah menginvasi Bumi? ia tertawa. “Astaga! Kenapa nggak ada satu orang pun yang ngasih tau hal luar biasa begitu?”

Aku ikut tertawa mendengar ucapannya, dan entah mengapa aku juga refleks menepuk jidat mengikuti gerakan tangan yang ia lakukan. Laki-laki itu kemudian melangkah pelan ke arah lift, lalu menjatuhkan tubuhnya ke salah satu dari dua kursi lengan beledu yang bersebelahan dengan tanaman monstera seukuran orang dewasa.

Sekilas, kuarahkan pandangan ke area lobi dan mengagumi permukaan lantai pualam mengilap tampak berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjulang. Pilar-pilar besar yang berdiri kokoh di antara sofa-sofa panjang berwarna merah marun memberi kesan mewah dan elegan begitu kental. Membuat bangunan ini lebih terlihat seperti museum bersejarah ketimbang bangunan apartemen mewah.

Lelaki di dekatku kembali menaikkan tatapan ke arah lift. Aku mengembalikan pandangan dan ikut melirik ke angka-angka menyala di atas kepalaku.

“Kerja di sini, Pak?” tanyaku, melanjutkan basa-basi karena masih ada sepuluh lantai lagi sebelum pintu lift terbuka.

 Ia menatapku. “Ya, tugasku mengoperasikan lift ini. Kalau ada tamu yang minta tolong, mereka aku antar ke atas. Sekalian membawakan barang-barangnya ke lantai yang mereka tuju. Terkadang, mereka juga ngasih uang tip sebagai ungkapan terima kasih. Tapi kalau mereka menyangka aku ini bellboy atau pramutamu, mereka salah besar. Aku lebih suka dikenal sebagai pilot.”

Alisku naik sebelah, tidak mengerti dengan perkataannya.

“Reaksi yang bagus!” ia tertawa. “Kerjaku mengantar orang yang naik-turun hingga tiga puluh empat lantai. Pilot juga gitu, kan? Membawa penumpang ke langit yang tinggi.”

Aku ikut tertawa mendengar penjelasannya. “Tapi, Pak. Yang sekarang Bapak gunakan itu topi pelaut, bukan pilot.”

Wajahnya tampak terkejut, ia buru-buru melepaskan topi di kepalanya dan langsung melakukan pengamatan dengan saksama. Tatapanku seketika beralih ke arah rambut putih yang tumbuh pada bagian samping kepalanya.

“Masa ini topi pelaut?” ia memastikan.

Aku benar-benar tidak ingin membuatnya merasa kecewa, tapi aku harus mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu. “Setahuku, kalau gambarnya jangkar besar yang dililit tali tambang, itu topi pelaut, Pak.”

“Astaga!” Laki-laki itu menepuk keningnya lagi dengan frustrasi, kemudian menggumamkan sesuatu yang tidak aku mengerti. “Sepupuku benar-benar keterlaluan!” serunya lagi. “Percuma kuliah jauh-jauh, memilih topi pilot untukku saja tidak becus!”

Karena sedikit merasa bersalah, aku mencoba menenangkan dan mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya, “Bapak udah lama bekerja di sini?” kepadanya, sekaligus mengulur waktu karena lift yang kutunggu-tunggu jalannya lama sekali.

Laki-laki itu menghela napas dan mengenakan topinya kembali. “Yah, udah lima tahun sejak bangunan ini diubah jadi hotel dan apartemen. Ah, bukan. Udah dua puluh tahun lebih aku bekerja di sini sebelum menjadi pilot. Dulunya, kawasan ini masih berupa lahan bercocok tanam. Saat itu pemilik hotel ngasih pekerjaan ini sebagai bentuk kompensasi karena dibangun di atas tanah warga, termasuk rumah petakku.”

Setelah mengatakan hal itu, kurasa, ia tersenyum.

Meskipun mulutnya ditutupi kumis tebal, aku yakin kalau laki-laki itu baru saja tersenyum. Sempat terlintas di pikiranku kalau garis yang melengkung di wajahnya itu bukan jenis senyuman bahagia, melainkan senyum getir. Ia seperti tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri.

“Bapak punya tanda lahir?” tanyaku lagi, mencoba mencairkan suasana.

Laki-laki itu menggeleng sambil menghela napas panjang. “Sayangnya, aku nggak punya. Sekuat apa pun aku menginginkannya, tapi hidup nggak bisa diulang kembali sesuai dengan kemauan kita. Mungkin karena kehidupanku di masa lalu terlalu membosankan, mungkin juga sama membosankannya seperti kehidupanku yang sekarang. Perkiraan terburuk, aku di masa lalu ditinggal mati oleh pasanganku, kemudian mati perlahan karena depresi berat.”

Lihat selengkapnya