Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #5

PLAYLIST 04: AWAL PERTEMUAN

DENTING pintu mengembalikan kesadaranku. Untungnya, aku tetap sendirian saat lift berhenti di setiap lantai hingga mencapai lantai sembilan. Pintu lift terbuka perlahan, menyingkap lorong luas yang dipadati pengunjung. Aku segera melangkah keluar dari lift, berjalan di atas karpet beludru merah yang melapisi lantai pualam menuju pintu masuk pameran.

Aula utama dipenuhi gema suara bisikan, decak kagum, dan aroma lavender dari mesin pengharum otomatis di sudut ruangan. Aku mengedarkan pandangan, kemudian berbaur di tengah kerumunan orang yang berpakaian nyentrik. Seumur hidup, baru kali ini kutemukan orang-orang yang mengamati barang rongsok dengan tatapan antusias, seperti kurator museum meneliti artefak kuno yang baru saja ditemukan di situs penggalian. Kupikir, barang-barang yang mereka amati di bawah lampu sorot merupakan sampah elektronik bekas biasa. Namun, ketika aku melanjutkan langkah dan melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, secara mengejutkan setumpuk rongsokan itu justru membentuk wajah Nikola Tesla.

Pandanganku beralih pada lorong panjang di seberang aula. Rasa penasaran mendorong langkahku lebih dekat pada diorama hutan hujan tropis dalam wadah kaca. Susunan ranting, lumut, dan batuan kerikil pada diorama itu terlihat begitu realistis saat kuamati di bawah lampu sorot. Orang-orang di sekitarku tampak terpukau, membulak-balik pamflet di tangan mereka, lalu sesekali mengangguk pada detail rumit sambil menggumamkan sesuatu yang tidak aku pahami.

Kulanjutkan langkah menuju area lain dan berpapasan dengan wanita paruh baya yang sibuk mendokumentasikan momen rombongan peserta karyawisata dengan ponsel pintar. Ia memotret setiap patung pahat di lorong tengah, kemudian kembali bergabung kembali dengan rombongan lain untuk berswafoto bersama penulis buku stensilan independen di depan stan bukunya. Tiba di ujung aula, aku berbelok melintasi serambi tempat menunggu yang mengarah ke aula berukuran lebih besar. Berbeda dengan atmosfer redup pada ruangan sebelumnya, aula ini memiliki penerangan yang lebih baik dan memiliki aroma vanili bercampur cat minyak.

Aku bergerak ke area lukisan, dan mataku langsung tertuju pada sederet nama-nama pelukis yang tertera di bawah pigura: Affandi, Jean Le Meyeur, Walter Spies, Lee Man Fong, Sindudarsono Sudjono, Hendra Gunawan, dan Raden Saleh. Di sisi lain dinding ruangan ini juga terdapat lukisan-lukisan realisme dari pelukis lokal bertemakan alegori riwayat kemanusiaan berdasarkan kisah dari kitab suci.

Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah miniatur permukiman kota pinggiran dengan posisi berdiri di atas kapal steampunk[1] raksasa. Badan kapal itu terbuat dari tembaga campuran yang berkilau. Detail bangunan, tanaman, dan tata kotanya terbuat dari kulit kayu berpelitur warna-warni. Ketika kuamati lebih dekat, keterangan di bagian bawah kapal menyebutkan bahwa seniman—yang sengaja tidak mencantumkan namanya—ingin menyentil pihak yang bertanggung jawab atas bobroknya peralihan fungsi kota pinggiran. Terutama peralihan lahan pertanian akibat dominasi kawasan pemukiman, prasarana jalan, dan kawasan industri.

Namun, dari sekian banyak karya seni yang ada di dalam ruangan ini, perhatianku justru tertuju pada sesosok perempuan yang berdiri tidak jauh dariku. Ia mengenakan kaus putih longgar dengan lengan digulung di atas siku. Rambutnya dikucir ke belakang dan berponi tipis, paduan itu membuat wajahnya terlihat ceria sekaligus lucu berpuluh kali lipat. Perempuan itu memiliki sepasang mata tampak begitu teduh, tersembunyi di balik kacamata oval “bolong” yang bertengger di hidung lurusnya. Dari penampilan dan gesturnya di sekitar pengunjung, aku bisa menebak kalau ia adalah salah satu panitia acara.

Kedua mata perempuan itu kembali menjelajah ke sekeliling ruangan, mengamati setiap sudut dengan tatapan penuh harap. Entah karena tidak menemukan yang ia cari atau apa, perempuan itu menghampiri satpam di dekat pintu penghubung. Disela-sela percakapan mereka, ia sempat meneguk botol air mineral di tangannya. Setelah satpam itu mengatakan sesuatu sambil menggeleng, perempuan itu kembali ke tempat semula.

Pandangan perempuan itu kemudian tertuju pada potret lukisan seorang wanita yang—kurasa, begitu mirip dengan wajahnya. Sekilas, wanita di dalam lukisan itu terlihat memiliki garis wajah tegas yang sama dengannya, bahkan potongan poni mereka identik seakan-akan lukisan itu baru saja selesai dibuat beberapa saat yang lalu. Yang paling menarik perhatianku adalah kedua bola mata wanita dalam lukisan tampak begitu indah. Aku bisa membayangkan ratusan jam yang dilewati sang pelukis di depan kanvas demi menampilkan karya yang begitu nyata.

Aku sedikit bergeser untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik ke arah mata perempuan berbaju putih itu. Dan tanpa sadar, aku sudah tidak bisa mengalihkan pandangan ke mana pun. Bukannya aku bermaksud ingin menguntit orang lain atau apa, tetapi melihat perempuan itu berdiri tanpa melakukan apa-apa justru menjadi hal paling menarik di antara seluruh objek pameran di ruangan ini.

Perempuan itu mulai memainkan ujung ekor rambutnya, sesekali ia memutar botol minum di tangannya secara perlahan ketika melakukan hal itu. Tindakan-tindakan kecil yang ia lakukan menurutku terkesan janggal. Tapi anehnya, rasa ingin tahuku justru semakin membuncah. Bahkan membuatku semakin bertanya-tanya. Apakah ia sosok wanita di dalam lukisan itu? Atau jangan-jangan perempuan itu yang melukis dirinya sendiri?

Belum sempat kuputuskan salah satu di antara kedua hal itu, perempuan itu tiba-tiba melepas kucirnya. Rambut hitamnya yang tebal dengan cepat tergerai jatuh di kedua bahu. Ia membenarkan posisi kacamata dengan jari telunjuk, sedangkan jemari tangannya yang satu lagi menyusuri kulit kepalanya hingga ke belakang.

Untuk apa yang baru saja kulihat, aku menelan ludah.

Ia kemudian mengibaskan rambut sebagai adegan penutup. Perempuan itu lalu mendekatkan wajah ke kanvas, mengusap-usap permukaan kanvas dengan ibu jari, lalu menarik wajahnya kembali ke tempat semula sambil menelengkan kepala.

Astaga. Seumur hidup, baru kali ini setengah mati aku ingin menjadi kanvas.

Aku baru sadar sudah mengawasinya selama beberapa menit ketika seorang laki-laki mendatangi perempuan itu. Jantungku tiba-tiba serasa naik ke tenggorokan.

“Pacarnya?” bisikku.

Apa aku berbisik terlalu keras? Aku tidak ingin citraku rusak karena dituduh menguntit oleh orang di sekitarku. Meski kenyataannya, aku memang sedang menguntit. Semoga saja aku tidak berbisik terlalu keras. Dan semoga saja laki-laki itu bukan kekasihnya.

Atau suaminya.

Lelaki itu tampak seumuran denganku. Tubuhnya kurus tinggi, berambut ikal hitam, mengenakan kemeja yang sewarna dengan daun talas dan celana jeans hitam. Namun, ia bergerak membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Pandanganku semakin tertutup ketika mereka berdua berbalik arah dan membelakangiku sepenuhnya.

Sejujurnya, perempuan itu tampak masih begitu muda, mungkin sekitar awal dua puluhan. Menurutku usia itu terlalu dini bagi seseorang yang sudah menikah. Yah, meskipun aku tahu jika saat ini cukup banyak pasangan yang memilih menikah pada usia muda karena alasan tertentu. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya, tapi aku mengembuskan napas lega ketika mengetahui tidak ada cincin yang melingkar di jari manisnya.

Mengapa aku tiba-tiba bersikap optimis?

Seharusnya perhatianku saat ini tidak boleh terpecah. Ada pameran yang masih harus kuikuti sampai ke aula terakhir. Paling tidak, aku harus bisa menemukan sebuah karya seni untuk dijadikan topik pembicaraan dengan orang yang bernama Pambudi Setiawan.

Tapi perempuan itu adalah karya terindah Tuhan yang pernah kutemukan.

Benar-benar sial.

Sebelum sempat membujuk diriku untuk tidak ikut campur lebih dalam, kakiku sudah melangkah lebih dulu dengan sendirinya. Aku berjalan sedikit memutar ke sisi kanan miniatur permukiman kota pinggiran, membelah kerumunan manusia yang tersihir oleh keajaiban karya pelukis masyhur Indonesia tanpa melepaskan tatapan dari perempuan itu.

Posisiku sudah cukup dekat ketika mereka tampak berbincang mengenai sesuatu yang membuat perempuan itu tertawa. Lelaki itu tidak terlihat canggung selama berada di dekatnya, dan perempuan itu tidak menahan diri ketika tertawa. Meskipun keduanya kelihatan akrab, tapi tak ada kontak fisik berarti yang terjadi setelah mereka berjabat tangan. Syukurlah.

Lihat selengkapnya