Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #6

PLAYLIST 05: INVASI MAKLHUK MARS

Pertemuan di taman


KUNYALAKAN sebatang rokok yang baru saja kuambil dari dalam bungkusnya. Perempuan itu menyalakan sebatang rokok miliknya. Aku menghela asap dalam-dalam, berharap lebih banyak jumlah nikotin yang masuk ke dalam tubuhku untuk menekan rasa gugup.

“Kamu udah banyak ketemu dengan perempuan lain, ya?” Perempuan itu kembali memecah kehingan, dan ia tersenyum tipis setelah mengisap rokoknya.

Tubuhku hampir tersentak karena tidak siap dengan serangan barusan. Namun, dengan wajah yang cukup tenang, aku balik bertanya, “Kenapa tiba-tiba nanya begitu?”

“Menggombalnya makin jago ….”

Aku terkekeh. “Belajar dari surat-surat pendengar.”

“Yaa, ya. Percaya, deh~” Perempuan itu melipat satu tangan ke dada. Tatapannya tertuju lurus pada kepulan asap rokok yang menyelip di antara kedua jari tangannya yang satu lagi.

Sekilas, kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya malam ini. Aku ingin menanyakan apa ada yang salah dengan harinya, tetapi aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan sebelum bertemu denganku, tetapi aku tidak ingin besar kepala. Aku ingin tahu apa yang ia rasakan setelah kami bertemu, tetapi aku merasa tidak pantas membicarakan hal itu.

Tapi aku benar-benar ingin tahu tentang semua hal yang tidak ingin ia ceritakan.

Tiba-tiba saja seberkas perasaan ingin melindunginya kembali muncul dari dalam diriku. Pasti banyak hal yang sudah terjadi kepadanya, seperti banyak hal yang terjadi denganku. Setelah selama ini, aku yakin ada banyak kesedihan dan kebahagiaan yang sudah ia lewati. Maksudku, tiga tahun itu adalah waktu yang cukup lama, dan ia pasti ….

Secara mengejutkan, perempuan itu tiba-tiba menoleh dan tersenyum ketika menatap ke arahku.

“Kenapa?” tanyaku, setengah mati mencoba menahan diri untuk tidak terkejut dan bersikap tenang.

Ia menyipitkan mata. “Kalau kuingat-ingat lagi, kamu itu memang udah niat menggoda sejak awal kita kertemu, ya?”

Ups, lagi-lagi sebuah serangan yang tak terduga.

Namun, bukannya aku enggan menjawab pertanyaan itu. Kurasa ia sudah tahu jawabanku. Jadi aku memilih untuk mengisap rokok sambil mengedikkan bahu untuk memberi kesan tidak tertarik dengan topik pembicaraannya.

Perempuan itu menjentikkan abu rokok, kemudian menyandarkan lengan kanannya pada sandaran bangku untuk menopang kepala sambil terus menatapku. Dan ia tersenyum kecil saat bertanya, “Memangnya apa yang paling kamu suka dariku saat itu?”

Untuk apa yang baru saja terjadi, aku menelan ludah.

Astaga. Barusan itu aku nyaris ingin merangkulnya!

Entah mengapa aku merasa ia akan mendaratkan kepalanya di bahuku!

Buru-buru kuambil sebotol bir dingin yang baru dari bawah kakiku untuk memberi jeda sekaligus menutupi rasa gugup yang kembali menggerogotiku. Kali ini kubuka tutup botolnya dengan benar, aku tidak ingin kesalahan ketumpahan karena bertingkah seperti idiot kikuk terulang kedua kalinya.

Aku menyukai wangi tubuhnya. Aku menyukai bagaimana cara ia tertawa. Aku menyukai tatapan matanya. Aku menyukai ritualnya menggoyangkan kaki sebelum tidur. Aku menyukai segala hal tentangnya. Aku bahkan sangat menyukainya sebelum mengetahui nama dan tanggal ulang tahunnya.

Namun, aku sadar tidak mungkin mengatakan hal itu. Kesan Timur Rubinsa tidak tertarik kepadanya masih kupertahankan mati-matian. Setelah menenggak botol dan menyeka bibir, aku menjawab, “Aku suka mata kamu, dan mata kamu yang di dalam lukisan.”

“Halah~ Buaya!”

Panggung di seberang jalan tiba-tiba kembali memperdengarkan seruan meriah. Grup musik asal ibu kota yang sedang naik daun baru saja menyudahi penampilannya. Kedua MC kembali naik ke atas panggung untuk mempersilakan mereka turun dan menyambut penampilan musisi selanjutnya.

“Aku suka cara kamu bicara,” ia memberitahu tanpa kutanya. Aku langsung mengerti jika lukisan adalah topik yang enggan ia bahas dan itu adalah caranya menggeser arah percakapan.

Boleh juga.

Tapi aku tidak akan menyerah. Sambil menunggu celah itu terbuka dengan sendirinya, aku memilih untuk berpura-pura mengikuti percakapan perempuan itu dengan bertanya, “Memangnya kenapa cara aku bicara?”

Perempuan itu mengembuskan asap rokok, kemudian mengubah posisi sandaran duduk sambil berkata, “Cara bicara kamu lembut. Kamu itu adalah laki-laki yang nada berbicaranya paling lembut yang pernah aku temui.”

Aku tertawa. “Nah, yang kayak gini baru suara buaya.”

Ia bergeming menatapku. “Aku serius.”

Tawaku lenyap, dahiku mengernyit.

Ia benar-benar serius!

“Masa, sih?” tanyaku lagi, setengah tidak percaya.

Perempuan itu mengangguk, dan entah kenapa senyumnya jadi terlihat manis sekali.

Sial, benar-benar sial!

Aku kembali meneguk minuman, dan kali ini cukup banyak bir yang kutenggak. Sebisa mungkin aku harus mengerahkan segenap upaya untuk menahan diriku tidak merangkum wajahnya dan menciumnya detik ini juga.

“Kirain, karena aku bisa menggambar?” sambungku, mencoba mencairkan suasana dan sedikit memancing topik lukisan.

Perempuan itu cekikikan. Aku ikut tersenyum karena ia masih mengingat potongan kalimat percakapan kami di masa lalu.

“Iya, iya. Kamu bisa menggambar,” tukasnya, setengah tersenyum. “Tapi kamu kayaknya memang udah paling cocok siaran daripada melukis.”

Aku tertawa mendengar ucapannya, tapi bukan karena ejekan itu terdengar lucu. Aku tertawa karena topik lukisan masih bertahan di percakapan ini. Aku bisa saja memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan lebih dalam kepadanya, tetapi aku tidak ingin terburu-buru menyerang.

Aku kembali bermain aman dengan berkata, “Kuanggap itu pujian.”

Suasana di seberang jalan kembali riuh. Terdengar suara sepasang MC laki-laki dan perempuan bersahutan membuka segmen kuis. Setelah sapaan basa-basi, mereka bergantian menyebutkan daftar sponsor pendukung acara yang akan memberikan hadiah. Diselingi senda gurau khas MC berjam terbang tinggi, aku yakin tidak hanya penonton yang akan terpikat oleh penampilan mereka berdua pada malam ini.

“Itu suara Moti dan Decil?” Perempuan itu bertanya, seperti ingin memastikan kalau kami mendengarkan hal yang sama.

Aku mengangguk. “Kamu masih ingat suara mereka?”

Ia tersenyum. “Kenapa bukan kamu yang jadi MC acaranya?”

Aku mengedikkan bahu, kemudian menjentikkan abu rokok. “Aku udah lama nggak ambil kerjaan off air. Lagian kalau aku jadi MC malam ini, kamu nggak mungkin ketemu aku di sini ….”

Perempuan itu tergelak. “Kenapa malah terkesan aku yang sengaja mencari kamu, ya?”

Celahku kembali terbuka. Sebelum kujawab pertanyaannya dengan balik bertanya, aku mengumpulkan keberanian dengan menyesap bir dingin di tanganku seperti orang yang tidak minum seharian.

“Memangnya kamu pernah sengaja mencari aku?” tanyaku. Sengaja kutekan kata “mencari” barusan untuk menegaskan arah percakapan.

Perempuan itu tertawa, tetapi lagi-lagi tidak langsung menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan justru mengisap rokok dalam-dalam dan mengembuskan asapnya perlahan untuk memberi jeda. Bir dingin yang barusan kutenggak membuatku semakin berani menatap ke dalam matanya, mengisyaratkan kalau aku menantikan sebuah jawaban.

“Di awal pertemuan kita, aku juga udah mencari kamu, kok ….”

Alisku naik sebelah. Aku menatapnya, tetapi pikiranku justru kembali menerawang jauh ke masa lalu. Memastikan kata mencari yang ia maksud.

“Kamu masih ingat awal perkenalan kita?” ia bertanya.

Aku mengangguk ragu. Maksudku, bagaimana mungkin aku bisa lupa?

Yang benar saja!

Dengan segera kutenggak lagi isi botol tanpa ingn melepaskan pandangan dari matanya. Namun, kebodohanku justru bertambah satu.

Astaga! Aku baru saja menenggak botol yang sudah kosong!

 

***

 

awal berkenalan

 

SINGKONG keju yang dipesan Eva rasanya tidak mengecewakan. Aku sudah menghabiskan tiga potong seukuran jari orang dewasa, sedangkan ia hampir menyelesaikan potongan kedua. Dari sekian banyak pilihan jajanan kaki lima di luar gedung pameran, entah mengapa Eva memilih singkong keju. Ia tidak menanyakan pendapatku tentang apa yang akan kami makan, dan untungnya aku tidak punya masalah soal pilihan makanan. Maksudku, selama wajahnya tidak terlihat murung dan suasana hatinya kembali menjadi lebih baik, kupikir singkong keju bukanlah ide yang buruk.

Sudah begitu lama sejak kali terakhir aku benar-benar menyukai perempuan. Seingatku, yang terakhir itu cinta monyetku dengan Wulan di tingkat SMA. Karin yang menjadi bahan olok-olok teman kampusku adalah pengecualian, tidak bisa kukatakan benar-benar menyukainya karena aku tidak bisa menggunakan perasaan. Yah, meski aku memang menyukainya dalam beberapa hal tertentu.

Namun, tidak seperti Karin yang mengharuskan makan di tempat bergaya pada pertemuan pertama, aku lebih suka Eva yang memilih makan di warung pinggir jalan. Aku suka Eva yang yang tidak keberatan sesekali menikmati hal sederhana.

Aku suka Eva yang sejak awal sudah menggerogoti pikiranku.

Setelah mencermatinya sesaat, kesimpulan yang kudapat adalah laki-laki yang menghampiri Eva di area lukisan itu bukan kekasihnya. Setidaknya, saat ini mereka tidak menjalin hubungan khusus. Kalau memang iya, Eva pasti sudah mengirimkan pesan pendek kepadanya dan memberitahukan keberadaan kami. Kemudian laki-laki itu pasti menyusul ke sini, lalu mengajakku berkelahi karena merasa diselingkuhi. Mungkin berkelahi bukan kata yang tepat untuk merangkum situasinya, aku hanya memperkirakan kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi.

Namun, Eva sama sekali belum menggunakan ponselnya. Ia bahkan tidak sekali pun menyentuh ponsel sejak kami keluar dari gedung pameran. Kalau saja ia mengeluarkan ponsel, setidaknya aku jadi punya alasan untuk menjurus ke arah bertukar kontak. Dengan begitu, jalan untuk mengetahui akun Facebook atau nomor ponselnya akan terbuka, dan aku bisa mencari tahu apakah ia belum punya pacar.

“Eh, kita belum resmi kenalan, ya?” Eva yang duduk di sebelahku membuka percakapan.

“Astaga! Aku minta maaf!” kataku, setengah tertawa untuk menyembunyikan rasa terkejut. Kuulurkan tangan dan menyebut nama. Ia menjabat tanganku seraya mengucap nama, dan pandangan kami bertemu kembali untuk kali kedua.

“Iya, nggak apa-apa,” ujarnya pelan. “Tapi nanti jangan minta maaf terus, ya?”

Dahiku mengernyit, mengisyaratkan bahwa aku tidak mengerti dengan maksud ucapannya.

“Nanti maafku habis kalau dimintain terus.”

Aku tergelak.

Astaga! Eva! Kenapa kamu sangat menggemaskan!

Sekilas, kuperhatikan warna lipstik yang melapisi bibirnya. Aku tidak tahu bagaimana cara kerja warna natural bisa menegaskan ia manis tanpa menambah kesan yang mencolok. Kukunya bersih tanpa polesan, dan hal itu membuatku semakin jatuh cinta. Karin bahkan tidak pernah mau pergi bersamaku jika kondisi kukunya tidak terlihat menyala.

Eva mencoba memalingkan wajah setelah menutupi mulutnya dengan punggung tangan, seolah-olah aku tidak tahu kalau ia baru saja memandangiku. Pipinya merona ketika menatap ke arahku lagi, sedetik kemudian bibirnya mengerut membentuk seringai salah tingkah. Eva tersenyum, lalu mencubit lengan kiriku sambil berkata “Apa, sih?” dengan begitu pelan untuk menutupi perubahan di wajahnya.

Cubitan itu sama sekali tidak terasa sakit. Tapi anehnya, seketika aku merasa tersengat aliran listrik yang langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Dan secara mendadak, senyuman itu membuatku merasa ingin tahu semua detail tentangnya.

“Aksen kamu lucu. Kamu bukan orang sini, ya?” Pertanyaan itu justru datang dari sebelahku.

Aku memilih mengangguk pelan dan tersenyum agar tidak terlihat salah tingkah. Aku bahkan tidak bisa berpikir dengan jelas apakah ia benar-benar ingin mengetahui asalku atau hanya berbasa-basi dengan bersikap baik. Karena sampai detik ini, aku masih mati-matian menahan diri untuk tidak melompat kegirangan karena baru saja dicubit olehnya.

Astaga! Aku dicubit pada pertemuan pertama!

Eva mengubah posisi duduk hingga wajahnya menghadapku. Setelah membenarkan posisi kacamata dengan jari dan menyilangkan kaki di atas bangku panjang yang kami duduki, ia bertanya,“Emang kamu dari mana?”

Aku meraih teh tawar yang sudah dingin di atas meja, kemudian meneguk isinya sampai habis untuk memberi jeda dan mengatur kembali pernapasanku. Entah mengapa napasku terasa sesak jika berada di dekatnya, padahal situasi yang kualami sekarang akibat dari ulahku sendiri. Kuminta kepada ibu penjaga warung untuk mengisi kembali gelasku dengan teh tawar hangat yang baru. Ia—ibu penjaga warung itu, dengan segera menuangkan teh tawar hangat ke dalam gelasku dan menuangkan sebagian ke dalam gelas Eva. Setelah kuucapkan terima kasih, ia kembali bercakap-cakap dengan penjual buah rambutan di depan warung.

Aku seorang perantau, kataku mulai menjelaskan. Aku pindah ke kota ini beberapa tahun yang lalu setelah lulus SMA dengan menumpang tinggal di rumah Kakek untuk menghemat biaya. Kuceritakan juga sedikit tentang bagaimana Kakek dan invasi makhluk Mars membawa pengaruh besar terhadap ketertarikanku pada radio sejak saat aku masih kecil, tentang Ibu di kampung halaman yang masih aktif bekerja sebagai tenaga kesehatan, tentang cutiku tahun ini, tentang keinginanku menjadi penyiar yang tidak sejalan dengan jurusan kuliah, hingga kedatanganku di pameran seni.

Eva adalah pendengar yang baik, ia dengan sabar dan tampak antusias mendengarkan penjelasanku. Sesekali ia menyela dengan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan kalau ia benar-benar tertarik dengan cerita yang kusampaikan.

Ia bahkan menceritakan sedikit tentang dirinya tanpa kuminta!

Eva lahir dan dibesarkan di kota ini, bersekolah dan melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris pada salah satu universitas swasta kota ini juga. Ia mengaku sedikit merasa iri denganku karena diperbolehkan pergi merantau. Eva tinggal bersama kedua orang tuanya yang bekerja di rumah, seorang adik perempuan yang masih SMA, dan seorang adik laki-laki yang cukup fasih berbahasa Inggris walau masih berumur enam tahun.

Selama mendengarnya berbicara, suasana di sekitarku terasa memudar. Suara-suara lain terdengar samar, hanya suara Eva yang terdengar jelas di telingaku. Setiap huruf dan kata yang terucap dari mulutnya adalah bahan bakar yang memompa debaran jantungku berdegup semakin cepat. Meski Eva baru menceritakan sedikit kisah tentang dirinya, entah mengapa aku merasa terhubung dengannya. Seolah-olah aku merasa sudah mengenalnya selama bertahun-tahun.

“Kapan-kapan kamu harus ketemu Desta,” ujarnya di sela-sela cerita, dan suara Eva terdengar begitu menggemaskan ketika mulai membicarakan adik kecilnya. “Dia itu memang agak susah dekat dengan orang baru. Tapi kalau kamu bisa ajak dia ngobrol bahasa Inggris, kalian pasti langsung akrab, sih.”

Lagi-lagi tubuhku tersengat. Aku benar-benar tidak mampu membedakan apakah itu sebuah isyarat lampu hijau atau sekadar basa-basi biasa awal perkenalan. Aku memang ingin tahu lebih banyak tentang Eva. Aku ingin tahu tentang mimpinya, tentang ketakutannya, dan tentang semua hal yang membuatnya menjadi dirinya. Namun, aku tidak ingin terlalu terburu-buru. Menghampirinya di pameran seni mungkin sudah membuatnya sedikit terganggu, dan aku tidak ingin mengacaukan suasana yang sudah terbangun cukup baik saat ini.

“Nanti kalau Desta jadi lebih suka aku daripada kamu, nggak apa-apa?” candaku, berusaha mengulur percakapan.

Eva tertawa. “Rasa percaya diri kamu boleh juga.”

Aku tersenyum.

“Lalu, gimana ayahmu?” Eva kembali bertanya. “Kamu tadi belum cerita, kan?”

Aku melempar pandangan ke arah lain untuk menutupi perubahan di wajahku. Kurogoh saku untuk mengeluarkan sebungkus rokok, kemudian mengambil sebatang dan kembali menatap Eva sambil menunjukkan bungkusnya. “Merokok?”

Eva menggeleng, sedikit menggeser jarak duduknya menjauhiku. “Aku nggak merokok. Silakan aja kalau kamu mau merokok ….”

Aku menggunakan korek yang baru saja kupinjam dari ibu penjaga warung untuk menyalakan rokok, kemudian dengan segera menghela asapnya dalam-dalam. “Ayahku sibuk bekerja,” kujawab sekenanya sambil mengembuskan asap secara perlahan. “Dia sering bepergian ke luar kota ….”

“Eh sebentar!” Eva menyela, seakan menangkap rasa enggan untuk membicarakan Ayah yang tersirat dari wajahku dan langsung membanting topik pembicaraan. “Coba nyalain lagi rokoknya.”

Kedua mataku menyipit mendengar permintaannya yang tidak biasa. Meski begitu, diam-diam aku tersenyum di dalam hati. Gerak-geriknya cukup sederhana, tapi bagiku cukup berarti. Kuselipkan rokok di antara jari tengah dan jari telunjuk sambil bertanya, “Maksud kamu bakar lagi rokok ini?”

Eva mengangguk cepat.

Kunyalakan api di ujung rokok.

“Kayak tadi, Timur. Waktu kamu bakar pertama kali.”

Aku menatapnya tanpa berkedip, kemudian mengedikkan bahu sambil menyelipkan rokok kembali di bibirku. Kuarahkan telapak tangan kiriku agar sejajar dengan wajah dan menutupi rokok dari sapuan angin, kemudian tangan kananku menjentikkan korek hingga menyala dan kuhela asapnya.

“Begitu?” tanyaku sembari mengarahkan pandangan kembali ke wajah Eva.

Untuk beberapa detik, Eva bergeming menatapku tanpa berkedip. Aku sempat melihat pergerakan di bagian lehernya, pertanda ia baru saja menelan ludah. Sedetik kemudian, Eva tampak sedikit salah tingkah dan berusaha menutupi hal itu dengan menyibak sebagian rambutnya ke belakang telinga.

Lihat selengkapnya