pertemuan di taman
“GIMANA rasanya minum angin?” Perempuan itu cekikikan dan memberiku tatapan penuh arti. Wajahnya semakin menyiratkan kalau ia begitu mengusai keadaan pada pertemuan malam kali ini.
Aku tidak menjawab. Lebih tepatnya, aku tidak ingin menjawab jenis pertanyaan yang sengaja ingin mengejekku. Aku lebih ingin menonjok diriku sendiri karena sudah melakukan hal paling bodoh yang seharusnya tidak kulakukan. Aku membungkukkan badan, meletakkan kembali botol kosong sialan itu di sebelah kotak pendingin untuk menutupi rasa malu di wajahku. Kuambil satu botol yang baru dan langsung membukanya.
“Kamu haus? Awas, loh. Nanti mabuk~” ia tersenyum, sengaja ingin menggodaku.
Memang itu tujuanku.
Tapi tentu saja tidak kukatakan seperti itu. Aku justru menjawab, “Udara dingin bikin cepat haus,” setelah menenggak lagi botol yang baru. Kalau aku tidak salah hitung, ini adalah botol bir yang kelima yang kubuka malam ini.
Perempuan itu mematikan rokok, melempar pandangan ke arah panggung di seberang jalan, mengambil sebatang yang baru dan menyulutnya. Gerak-geriknya yang tampak begitu gelisah tidak bisa disembunyikan, seperti ingin menghindari pertanyaan susulan dariku. Tetapi tentu saja aku tidak akan membiarkan ia menguasai keadaan lebih lama lagi. Situasi ini harus cepat-cepat kukembalikan seperti semula.
“Apa hubungannya mencariku dengan awal kita ketemu?” tanyaku, kembali mengejar perkataan yang sebelumnya ia ucapkan.
“Ah, enggak. Kayaknya aku salah ingat. Lupain aja ….”
Kutenggak lagi bir di tanganku. Kalau sudah bilang begitu, ia benar-benar tidak akan mengatakan apa-apa kepadaku. Aku masih menatap ke arah matanya, tetapi ingatanku kembali membelah masa lalu. Sedikit demi sedikit, kucoba untuk menemukan mencari yang ia maksud.
“Boleh pinjam hape kamu, nggak?” Pertanyaan itu justru keluar dari mulutnya.
Aku tidak tahu apakah ia sengaja ingin menggeser arah percakapan, atau justru bersiap melancarkan serangan untuk mempertahankan keadaan. Aku memberinya tatapan yang seolah berkata “kejutan apa lagi yang kamu rencanakan?” sambil menaikkan sebelah alis mataku.
Perempuan itu tersenyum. Seakan berhasil membaca isi kepalaku, ia berkata, “Udah, santai aja. Aku nggak akan buka yang macam-macam, kok.”
Bagaimana aku bisa berkata tidak kalau ia yang meminta?
Kuturuti permintaannya walau terasa agak canggung. Namun, kali ini tidak ada yang perlu kucemaskan, tidak ada lagi nomor asing yang akan memicu kesalahpahaman. Dan ini kesempatan yang bagus untuk membalikkan keadaan. Ia tidak mungkin bisa membuka ponsel itu karena kata sandinya sudah lama kuganti.
TRING!
Suara tanda kata sandi terbuka pada ponselku berbunyi, dan hal itu baru saja kupastikan dari pantulan cahaya layar yang terpapar di wajahnya. Sesaat kemudian, kedua ibu jari perempuan itu terlihat bergerak cepat mengetuk dan mengusap-usap permukaan ponselku ke berbagai arah.
“Kamu masih mengatur susunan aplikasi berdasarkan urutan warna, ya?” ia bertanya tanpa mengalihkan pandangan ke arahku. Perempuan itu terus mengusap layar ponselku dengan wajah tersenyum-senyum.
Loh? Bagaimana bisa?
“Kenapa, sih?” Pertanyaan itu justru keluar dari mulutnya.
“Harusnya itu pertanyaanku! Kenapa kamu bisa buka hapenya?”
Ia tertawa. “Kok, ngegas?”
Gawat! Hampir saja aku terjebak oleh serangannya barusan. Kucoba untuk kembali mengatur pernapasanku, lalu mengulang pertanyaanku dengan lebih tenang.
“Apa sih yang nggak aku tahu tentang kamu?” ia menyunggingkan seulas senyuman tanpa beban.
Membalikkan keadaan gagal total.
“Yang benar, dong ….” ucapku lirih.
Ia tertawa lagi. “Yang benar ya Tuhan.”
Aku cekikikan
Ternyata ia masih mengingat cara kami bercanda di masa lalu.
Perempuan itu menggeleng pelan sambil berdecak kecil. Gerakan kepalanya barusan persis seperti sedang memaklumi anak kecil yang ketahuan buang air di celana. Ia mengambil ancang-ancang, memegangi ponselku setinggi dadanya, dan mulai menjelaskan bagai memperagakan tutorial lifehack sederhana. Perempuan itu mengunci ponselku, jarinya kembali membuka tampilan menu pada layar untuk memasukkan kata sandi. Ia menempelkan sidik ibu jari kanannya secara perlahan pada tombol berbentuk lingkaran di bagian bawah layar.
Dan, voila! Ponselku langsung terbuka. Hal itu sengaja ia lakukan berulang kali, seperti ingin mengejekku sambil tersenyum penuh arti. Aku hanya menanggapi dengan “ooh” setenang mungkin walau sejujurnya ingin menghilang saja dari tempat ini.
“Barusan aku sekalian follow Instagram, ya,” ujarnya lagi. “Sekarang Instagram kita udah berteman lagi.”
Alisku naik satu. “Kenapa mendadak?”
Perempuan itu tidak menjawab. Ia justru tersenyum sambil mengedikkan bahu. Aku balas tersenyum sekaligus mengutuk di dalam hati.
Sialan. Padahal selama ini aku sudah terbiasa tidak lagi mengikuti aktivitasnya di media sosial. Aku juga tidak pernah mencari tahu di mana ia berada karena memang dibuat tidak bisa menemukan akunnya. Hal itu sempat membuatku berhenti peduli dengan apa yang ia lakukan. Bahkan sampai detik pertemuan ini berlangsung, aku tidak tahu apa-apa tentang perputaran dunianya yang sekarang. Kalau sekarang Instagram kami berteman kembali, aku pasti ….
“Boleh, kan?” jawabnya kemudian. “Dulu itu malah kayak bocil kalau saling memblokir ….”
“Maksudnya, kamu yang memblokir Instagramku?”
“Ini masih hape sama yang dulu kita beli, kan?” ia cengengesan. Sengaja balik bertanya untuk menggeser arah pembicaraan.
“Iya, masih yang lama.”
“Kamu yang sekarang udah banyak uang. Nggak mau ganti hape model terbaru?”
“Semua fiturnya masih bagus. Lagian, percuma punya hape canggih tapi komunikasinya buruk.” Aku tertawa di ujung kalimatku barusan.
Perempuan itu tidak menjawab, dan suasana hening tiba-tiba menyelinap. Matanya berhenti bergerak, seperti sedang membuka-buka lembaran ingatan di kepalanya dan mencoba untuk menarik satu kenangan masa lalu ke tengah percakapan ini.
Dan benar saja, tak lama kemudian ia tersenyum dan berkata, “Dulu, kenapa kita niat banget pakai hape yang modelnya sama begini, ya?”
Menanyakan hal yang tidak dewasa seperti “memangnya hape kamu yang lama sudah diganti?” kurasa tidak pantas. Aku justru mengedikkan bahu sambil berkata, “Namanya juga waktu itu masih anak-anak, masih labil.”
“Tapi sidik jariku masih ada di situ. Kenapa nggak dihapus? Kamu nggak labil, kan?” Perempuan itu mengedipkan mata dan kembali tersenyum penuh arti ketika mengembalikan ponselku.
Astaga. Aku tidak pernah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan itu!
Aku mengalihkan pandangan, mencoba mencari tanggapan jitu untuk mengubah topik percakapan. Isi botol kelima kutenggak sampai setengahnya. Setelah menemukan pengalihan yang tepat, aku berkata, “Aku boleh minta sesuatu?”
Perempuan itu meluruskan punggung dan segera mengubah posisi duduknya. Pertanyaanku barusan tampak begitu menarik perhatiannya.
“Apa?” ia bertanya dengan suara pelan.
Aku tidak langsung menjawab untuk memberi jeda. Aku sendiri tidak tahu mengapa malah menanyakan hal itu tanpa tahu apa kalimat berikutnya yang ingin kuucapkan. Buru-buru kuputar otak untuk mencari sesuatu yang mungkin terdengar normal jika kutanyakan. Tatapanku beralih ke arah pakaian yang ia kenakan.
Setelah menemukan kata yang tepat, aku berkata, “Jangan pakai pakai sweter itu lagi.”
Perempuan itu sekilas melirik ke arah tubuhnya, kemudian kembali menatapku sambil tersenyum bingung. “Loh? Memangnya kenapa? Aku suka sweter ini.”
“Kamu memakainya di hari kencan pertama kita,” aku menyesap isi dalam botol. “Semakin sering kamu gunakan, sweternya jadi cepat lusuh.”
Ia terdiam menatap mataku. Perempuan itu sedikit memajukan tubuhnya, menumpu kedua tangan di atas pahanya sambil berkata, “Apa lagi yang kamu ingat tentang hari itu?”
Aku menyunggingkan senyum. “Kita bahagia.”
***
menjadi penyiar yang disukai
SUDAH dua minggu berlalu sejak kali terakhir aku menghabiskan waktu di warung singkong keju bersama Eva, tetapi baru dua detik berlalu sejak aku membalas pesan terakhirnya. Aku dan Eva mulai sering berhubungan melalui chat Facebook setelah aku berhasil menemukan profilnya. Ia membalas pesanku melalui laptop, atau kadang-kadang melalui komputer di kampusnya. Sedangkan aku masih menggunakan ponsel dengan kondisi layar yang semakin parah.
Aku sempat menceritakan kepada Eva tentang pertemuanku dengan Pambudi Setiawan setelah kami kembali ke gedung pameran seni. Dan aku hampir tidak sependapat dengannya mengenai tokoh masyarakat penuh wibawa yang pernah Eva bicarakan karena Kakek beberapa kali menoyor Pambudi Setiawan sambil tertawa di depan mataku.
Eva tertawa menanggapi hal itu, kemudian ia menanyakan bagaimana minggu keduaku menjadi penyiar pemula. Jawabanku masih seperti hari-hari sebelumnya, aku masih berkutat dengan pemahaman program Dear Radio. Pemahaman yang kumaksud adalah menggantikan tugas produser untuk menyortir surat kiriman dari pendengar dan menjadikannya materi siaran. Selain itu, aku juga diharuskan mendampingi penyiar senior selama siaran di studio untuk mempelajari segala macam tehnik yang ia gunakan.
Setelah membalas pesan yang terakhir, aku memasukkan ponsel kembali ke dalam saku, meraih beberapa lembar kertas materi siaran yang baru kuambil dari mesin pencetak, kemudian keluar dari ruang serbaguna. Sebelum berbalik badan dan melangkah kembali ke arah studio siaran, Kang Maulana yang menjadi PD[1] Dear Radio menghentikan langkahku.
“Loh? Kau masih mencetak surat-surat itu sendiri?” ia bertanya.
“Yap,” Aku menyahut pertanyaan dari Kang Maulana. “Kang Maul ada titipan materi dari sponsor lagi?”
Ia menggeleng. “Untuk sekarang, nggak ada. Justru aku mau ngabarin kalau hari ini kita kedatangan produser baru untuk progam Dear Radio. Belum datangkah?”
Aku mengedikkan bahu. “Belum kelihatan.”
Ponsel Kang Maulana berdering. Ia merogoh saku depan seragam Dear Radio yang ia kenakan dan dengan segera menjawab panggilan telepon. Kang Maulana menutupi permukaan ponsel dengan telapak tangannya sambil berkata kepadaku, “Nanti kukabari lagi kalau anaknya udah datang.” Ia memberiku isyarat dengan gerakan kepala, kemudian meninggalkanku dengan berjalan ke arah tangga menuju ruangannya di lantai dua.
Aku melanjutkan langkah dan masuk ke dalam studio, lalu meletakkan lembaran kertas yang tadi kubawa di atas meja siaran. Penyiar senior itu mengangguk kepadaku sebagai ucapan terima kasih. Sejurus kemudian, ia menurunkan tuas audio mixer[2] dan berbicara di atas outro to intro[3] ketika tulisan on air di langit-langit ruangan menyala.
Selama dua minggu mengamati siarannya, kuakui jika cara ia membawakan program Dear Radio benar-benar memikat. Tekniknya berbicara di depan mikrofon benar-benar mengagumkan, bahkan sempat membuatku terhanyut dalam simpati saat ia mulai membacakan surat. Namun, meski begitu, entah mengapa ia justru memilih untuk resign pada akhir bulan dan meninggalkan jarak yang terlampau jauh untuk kukejar.
Notifikasi pesan pendek masuk pada ponselku berbunyi. Ketika melihat nama pengirimnya, pesan dari Ibu langsung kubuka:
“Ibu lagi banyak kerjaan ke luar kota, sinyalnya awur-awuran. Ini juga baru sampai di rumah. Kamu jangan ngerepotin kakek ya di sana. Kalau bisa kamu juga bantu-bantu bebersih rumah, jangan ngandelin Bi Neng terus. Makannya dijaga, jangan suka telat.”
Aku tersenyum ketika mengetikkan “Iya Bu,” sebagai pesan balasan. Sekilas, kualihkan pandangan ke arah penyiar senior di depanku. Dan ia tetap terlihat mengesankan selama membacakan pesan-pesan dari pendengar yang terus mengalir di layar monitor kedua meski tanpa pendampinganku. Sejujurnya, aku merasa hanya akan menjadi penghambat jika ikut campur terlalu banyak. Jadi kuputuskan untuk membuka aplikasi Facebook dan membalas pesan baru masuk dari Eva:
“Hari ini kita jadi keluar?”
“Aku jemput kamu di rumah setelah siaran.”
Kirim.
“Maksudmu, setelah Akmal selesai siaran? Hahah.”
Aku tertawa kecil ketika menuliskan:
“Ya, setelah menemani Akmal siaran.”
Kirim.
“Hahaha. Okay. Semangat mendampinginya! Semoga kamu nantinya juga bisa jadi penyiar yang banyak disukai orang!
“Amin! Terima kasih!” ^.^
Kirim.
“Oh ya! Kamu udah ditungguin nih, sama Desta.”
“Adiknya aja, nungguin. Masa kakaknya enggak? 😊”
Kirim.
“Hahaha! Akuuu tungguuuuuu!”
Sudah kuduga aku bisa bekerja di radio.
Yang tidak bisa aku duga adalah jatuh cinta pada Eva!
Aku tidak sadar masih tersenyum seperti orang bodoh saat memasukkan kembali ponselku ke dalam saku. Dan di saat bersamaan, Akmal memandangiku seolah aku idiot dengan tatapan yang hampir membuatku salah tingkah. Buru-buru kuraih lembaran kertas di atas meja dan pura-pura mengamati isinya untuk mengalihkan pandangan.
“Belum siaran tapi udah punya penggemar? Awal yang cukup bagus.” Akmal masih tersenyum ketika tatapanku kembali mengarah kepadanya.
Aku tertawa. “Justru sebaliknya. Aku penggemarnya.”
Akmal melepaskan headphone dari kepalanya sambil tertawa sinis. Ia mengalungkan benda itu melalui bagian belakang lehernya sambil berkata, “Oh, ya. Selama kau ada di sini, kita belum pernah ngobrolin hal yang—sebenarnya, udah jadi rahasia umum kalau duduk di kursi siaran. Sedikit bocoran kalau kau udah mulai mengudara di program ini ….”
Tubuhku bergerak untuk menegakkan posisi duduk dengan sendirinya. Minggu lalu, Akmal menekankan satu hal penting ketika duduk di kursi siaran: penyiar bukan robot yang hanya membacakan teks. Aku harus menggunakan suara sesuai kepribadian dan jangan pernah takut membuat kesalahan. Kesalahan adalah hal yang wajar, pendengar akan memakluminya. Justru kesalahan itu yang membuat penyiar terdengar manusiawi dan masuk akal. Dan dalam dua minggu terakhir, aku yakin kali ini Akmal akan menyampaikan hal pemungkas yang bisa aku pelajari sebagai penyiar pemula.
“Seperti namanya, program Dear Radio adalah program berkirim surat eksklusif,” ia memberitahu. “Program ini cuma dimiliki oleh Dear Radio dan nggak ada di stasiun radio mana pun di kota ini atau di kota-kota lain. Dear Radio selalu jadi program dengan jumlah pendengar paling banyak dibandingkan program yang lain. Para Dearest—pendengar setia Dear Radio—senang banget kalau surat mereka dibacakan, mau itu si pengirim atau si penerima. Yah, meski terkadang isi suratnya nggak sesuai harapan, tapi setidaknya cukup membuat pendengar lain bersimpati. Kalau sampai di titik itu kau berhasil, semoga kau nggak kewalahan menghadapi mereka.”
“Kewalahan bagaimana?” tanyaku, tanpa berkedip.