pertemuan di taman
“THERE you are?” Perempuan itu bertanya, mencoba menggeser arah percakapan. Mungkin kata kita bahagia yang tadi kuucapkan membuatnya merasa tidak nyaman.
Aku kembali menatapnya, kemudian menanggapi dengan “Hmm?” karena tidak mengerti maksud dari pertanyaannya.
“Namaku, di dalam daftar kontakmu ….”
“Oh ….” Aku tidak tahu untuk apa, tapi aku tersenyum ketika tatapan kami bertemu.
Astaga! Aku tidak mengira kalau ia akan memeriksa namanya sendiri di daftar kontak ponselku!
Perempuan itu menatapku dalam-dalam. Aku cengengesan, hampir saja dibuat salah tingkah dengan tatapannya yang seperti itu.
“Kenapa?” Ia bertanya lagi.
Untuk mengulur waktu dan mencari jawaban yang tepat, aku balik menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan dengan berkata, “Apanya?”
“Kamu tahu apa yang kumaksud ….”
“Tapi pertanyaanmu nggak jelas, aku nggak mau jadi salah mengartikan ….” Aku tersenyum setelah mengatakan hal itu, mencoba mencari tahu apakah ia masih mengingat jenis percakapan ini di masa lalu.
Perempuan itu hampir saja tertawa. Namun, ia berhasil mengendalikan dirinya lebih cepat dengan mengisap rokok dan mengembuskan asapnya.
Aku yakin ia masih mengingatnya.
“Kenapa namaku di daftar kontakmu There You Are?” Kembali ia mengajukan pertanyaan dengan kalimat yang lebih tegas. “Padahal Stella Wardhani masih ada. Karina Ekaputri juga ditulis seperti biasa ….”
Aku menelan ludah ketika ia menekan kedua nama itu. Kusesap lagi isi dalam botol untuk mengalihkan pandangan sambil berkata, “Kayaknya dulu memang sempat kuganti. Iseng, sih. Tapi udah lama juga, aku sampai lupa ….”
Aku mengembalikan pandangan ke arahnya, wajah perempuan itu tampak memaksakan sebuah senyuman.
“Bukannya itu memang tujuan kamu, ya?” ujarnya dengan begitu pelan.
“Apa?”
“Lupa ….”
Aku tersenyum kecut setelah kembali menelan ludah. Isi botol langsung kutenggak habis walau sejujurnya aku tidak merasa haus sedikit pun. Tenggorokanku tiba-tiba terasa panas saat ia mengucapkan kata “lupa” dengan penekanan.
“Jangan-jangan kamu lupa namaku?” ujarnya lagi. “Dari tadi kamu nggak nyebut namaku sekali pun, loh ….” Tatapan perempuan itu masih mengunci mataku. Dan ia tertawa mengejek setelah mengatakan hal itu.
Pertanyaan macam apa itu?
Bagaimana mungkin aku bisa lupa?
Namanya sudah lama terpahat dalam kepalaku sejak awal bertemu, terpatri dalam setiap sudut hatiku. Namun, lidahku selalu terasa kelu setiap kali ingin menyebut nama perempuan itu. Sudah terlalu lama aku kehilangan keberanian untuk merapal namanya dengan mulutku. Bahkan, setiap kali telingaku mendengar namanya disebut, entah mengapa seberkas rasa nyeri selalu menusuk dadaku. Aku memilih tersenyum untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“Pesan pendek terakhir dari Ibu?”
Aku merasa lega begitu ia menanyakan tentang hal itu. Maksudku, bukan karena ia bertanya tentang Ibu. Aku merasa lega karena ia kembali mengganti topik pembicaraan.
“Katanya kamu nggak lihat yang macam-macam?” Aku balik bertanya.
Perempuan itu tertawa. “Kalau Ibu bukan macam-macam. Kenapa nggak ada yang lain?”
Aku menaikkan sebelah alis karena tidak mengerti maksud ucapannya.
Perempuan itu membenarkan posisi duduk, seperti bersiap ingin menyerangku dengan posisi yang paling nyaman. “Sepuluh panggilan terakhirmu dari Ibu, Kakek, dan kantor. Lima pesan pendek teratas juga sama. Tumben? Kenapa nggak ada nama perempuan lain? Di galeri album kamu juga nggak ada foto perempuannya.”
“Mbak Yanti itu perempuan, loh,” kilahku, ketika menemukan nama Mbak Yanti di salah satu daftar panggilan keluar. Mbak Yanti adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah Ibu bahkan sebelum aku lahir. Aku memang pernah beberapa kali menghubunginya untuk menanyakan keadaan di rumah.
“Aku tahu siapa Mbak Yanti. Tapi Mbak Yanti bukan perempuan yang aku maksud. Nggak lanjut dengan Stella, kah? Kamu nggak ketemu dengan Kar—”
“Oke, cukup sampai di situ,” buru-buru kupotong kalimat perempuan itu sebelum kembali menjadi masalah. “Itu namanya macam-macam.”
“Halaaah~ Dasar, sok misterius!” Meski menggerutu, entah kenapa ia tersenyum. Cukup lama perempuan itu tersenyum, sedangkan aku masih berpikir keras bagaimana bisa ia melihat semua hal itu dalam waktu yang sangat singkat.
“Pesan dari Ibu terbaca satu, di kampung halamanmu berasap lagi?”
“Begitulah. Kamu tahu sendiri kalau itu bencana tahunan.”
Dan aku tahu, bukan terbaca namanya kalau memang sengaja dibuka!
“Tapi Ibu sehat-sehat aja, kan?”
Aku mengangguk. “Cuma agak tambah sibuk aja di situasi bencana seperti ini.”
“Terus, udah mulai berbicara dengan Ayah?”
“Yah, lumayan ….”
Perempuan itu mengangguk pelan. “Kalau Kakek gimana kabarnya?”
“Kakek sehat, kok ….”
Setelah menjawab barusan, suasana hening kembali menguasai. Semua pertanyaan dari perempuan itu sengaja kujawab singkat dan sengaja tidak kutanya balik tentang kehidupannya. Aku juga masih mempertahankan raut wajah yang—menurutku, cukup dingin, untuk menegaskan kalau ia tidak perlu banyak tahu tentangku. Kesan Timur Rubinsa tidak tertarik kepadanya masih kupertahankan mati-matian.
“Eh, iya. Semu apa kabar?” Perempuan itu memecah keheningan.
Entah mengapa aku tersenyum sendiri setelah ia menanyakan keadaan kucing itu. “Semu makin besar sekarang. Tambah gendut!”
Perempuan itu kembali tertawa. “Aku rindu ih, ngobrol sama Ibu. Dengan Kakek juga. Dan Semu! Astaga! Aku kangen Semuuu!”
Oh, Tuhan. Suara melengkingnya masih saja terdengar menggemaskan!
Senyumnya itu benar-benar tak bisa lagi kuhindari. Usaha untuk mempertahankan kesan Timur Rubinsa tidak tertarik kepadanya langsung berantakan.
Sial, sial!
Kubuka lagi sebotol bir yang baru dan langsung menenggak isinya sampai setengah. Entah karena pengaruh alkohol atau apa, untuk sesaat wajahku terasa panas. Tiba-tiba saja kurasakan setitik embun berkumpul di kedua sudut mataku. Lalu, seperti ada sesuatu yang berat dan tak kasatmata menghantam dadaku begitu keras. Aku tidak tahu apa, tapi sensasinya membuatku dadaku sesak.
“Emm …. Terus, kenapa sekarang kamu masih sendirian?” Perempuan itu kembali bertanya setelah mengisap rokoknya.
“Sendirian juga aku bahagia ….” Kujawab pertanyaannya dengan tetap menjaga raut wajahku agar semuanya tampak baik-baik saja.
Perempuan itu tertawa. “Eh, yang kutanyakan itu kenapa kamu masih sendirian. Kalau pertanyaan bahagianya kan udah lewat!”
Sialan.
“Tumben kamu datang ke acara off air?” tanyaku, mencoba merebut kembali kendali percakapan.
“Kebetulan aku ada perlu di dekat sini. Mumpung banyak teman-teman EO di grup kantor yang dulu mengurus acara malam ini, jadi sekalian mampir. Mau silaturahmi.”