hal-hal menyenangkan
HAL yang paling kusukai selama menjalin hubungan bersama Eva adalah rasa nyaman yang ia berikan. Kami dapat membicarakan apa saja, kapan saja, di mana saja. Aku sama sekali tidak terganggu meski itu adalah pembicaraan yang memalukan atau bersifat rahasia. Eva benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutku, dan sesekali ia menggoda dengan menatap gerakan bibirku. Kalau sudah begitu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya sepanjang waktu.
Eva mengubah duniaku, dan ia benar-benar mengubah caraku melihat dunia. Eva membuatku lebih memerhatikan penampilan, walau sejujurnya aku cenderung cuek dan tidak pernah sekali pun mempersoalkan hal itu. Sebelum mengenal Eva, aku tidak pernah peduli dengan mode yang sedang tren. Aku cukup merasa nyaman meski hanya menggunakan kaus berlapis flannel dan celana jins.
Namun, Eva selalu saja mengomentari kapan baiknya aku menggunakan kombinasi kaus dan celana jins, kapan seharusnya memadukan kemeja flanel dengan celana pendek, bahkan hal sesederhana memilih topi atau kupluk yang akan kukenakan saat mulai mengambil pekerjaan sebagai MC. Hasilnya, aku semakin merasa lebih percaya diri ketika berhadapan orang banyak.
Ia juga membuat aturan pembayaran setiap pergi bersamaku. Jika aku sudah mengisi bensin sepeda motorku, Eva akan membayar makanan. Jika ia membeli tiket bioskop, aku akan membeli minuman dan berondong. Hal itu menurutku cukup sederhana, tapi terasa begitu istimewa jika kulakukan bersamanya.
Pada kencan kedua, Eva memintaku menyimpan tiket film pertama yang kami tonton di bioskop karena ia yang membayar. Awalnya, aku menertawakan permintaannya yang tidak biasa itu. Namun, setelah satu tiket film Non-Stop itu, mengoleksi tiket-tiket film bioskop yang sudah kami tonton menjadi kebiasaan baru yang menyenangkan bagiku.
Eva tidak segan-segan mempersilakanku mengenal orang di lingkungan kerjanya. Dan tidak butuh waktu lama hingga mereka menyimpulkan kalau ada Timur, pasti selalu ada Eva. Ia juga dengan mudah mengambil hati Kakek dan ibuku, meski Ibu hanya sesekali datang dari luar kota. Kakek bahkan selalu mempersilakan Eva untuk datang ke rumahnya tanpa perlu merasa sungkan. Pintu rumah akan selalu terbuka kapan pun yang Eva inginkan.
Kurasa hal itu karena Eva sungguh bisa mengapresiasi segala sesuatu di sekitarnya dan tahu bagaimana cara menghargai diri sendiri dan orang lain. Untuk segala hal yang baik, ia akan selalu memberikan pujian atau hadiah. Kalau itu adalah hal yang buruk, ia akan menegur dan menutupinya.
Eva juga selalu membuatku merasa mampu melakukan apa saja. Aku sempat putus asa untuk menyelesaikan skripsi. Namun, ia selalu ada. Selalu bisa selagi ada Eva. Harus bisa kalau ada Eva. Segenap kemampuan terbaikku seperti ditarik keluar jika ia yang meminta. Aku bisa terjaga semalaman suntuk untuk menyelesaikan revisi skripsi di beberapa bab, dan Eva akan tetap berbicara di ujung telepon hingga terlelap. Jika tidak ada jadwal siaran, giliranku yang seharian penuh menemaninya mengurus rangkaian acara Djarum Super Adventure di luar kota. Ia bahkan memberiku sebuah tas ransel biru dongker dari sponsor acaranya sebagai hadiah.
Eva memberiku piala sebagai bentuk apresiasi hubungan kami di tahun pertama. Katanya, aku berhak mendapat piala itu karena sudah menjadi pasangan yang baik. Piala bertuliskan “#1 Boyfriend of the Year” itu kuterima setelah merampungkan sidang skripsi dan yudisium.
Di acara wisudaku, Eva memberi seikat bunga dan sebuah dompet kulit yang indah. Teman-temanku yang baru saja kembali dari gunung Slamet juga datang dengan kejutan tak terduga: foto permintaanku yang dicetak seukuran spanduk! Mereka bahkan menyetujui Eva setelah berkenalan dan sedikit bercakap-cakap dengannya, kemudian mereka dengan serentak mengatakan “Dia baik untukmu” lalu memberiku tos setelah aku berkata “Mbah Slamet memang mantep!”
Atas permintaan Eva, kami merayakan tahun kedua dengan cara yang berbeda. Eva membangunkanku lebih awal daripada biasanya. Ketika kutanyakan, ia hanya tersenyum dan berkata, “Cepat cuci muka, nggak usah mandi. Nanti kamu lihat sendiri.”
Sejurus kemudian, kami melaju di atas sepeda motorku mendaki jalanan curam yang diselimuti kabut pagi. Dinginnya udara menusuk sampai ke tulang, tetapi aku sedikit merasa hangat karena Eva terus memelukku erat dari belakang.
Pemandangan di puncak benar-benar membuatku terpana. Detik-detik pergantian warna langit gelap menjadi kuning-keemasan benar-benar mengagumkan. Saat matahari beranjak terbit, seluruh permukaan hutan yang dibasahi embun di bawahku tampak berkilau terpapar cahaya. Ekspresi berterima kasih di wajah Eva cukup untuk menyatakan hari itu salah satu hari favoritku.
Eva mengeluarkan bendera merah putih dari dalam tasnya, kami mengikatnya pada sebatang kayu dan mengibarkannya di puncak tebing tertinggi. Semilir angin dingin berembus, mengibarkan bendera yang diangkat Eva. Kami mengambil beberapa foto bersama, dan Eva mengunggahnya ke media sosial untuk meramaikan perayaan hari kemerdekaan. Senyum di wajahnya begitu tulus, dan aku bisa langsung tahu kalau hari itu sudah menjadi salah satu hari favoritnya juga.
Eva memberi jam tangan kayu yang sedang populer di kota ini pada hari ulang tahunku. Di dalam wadahnya yang juga berbentuk batangan kayu, Eva menyisipkan beberapa lembar kertas berisi harapan-harapan yang ditulis tangan. Beberapa bulan kemudian, di hari ulang tahunnya sekaligus merayakan hubungan kami yang memasuki tahun ketiga, aku memberi Eva sebuah pigura bergambar karikatur Pop-up yang kupesan dari Ibu Kota sejak jauh-jauh hari. Pigura kaca seukuran papan tulis kecil itu sedikit kumodifikasi dengan menambahkan lampu redup agar selalu bisa ia gunakan untuk menemaninya tidur.
Dugaanku tepat, menghabiskan waktu bersama Eva adalah hal paling membahagiakan di hidupku. Hubungan ini adalah hubungan terbaik yang pernah aku punya, dan aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung yang memiliki hatinya. Kehadiran sosok Eva benar-benar mampu mengubah perputaran duniaku terasa jauh lebih menyenangkan. Hidupku jauh terasa menjadi lebih hidup ketika bersamanya. Terlebih lagi, kami punya pemikiran yang sama ketika membicarakan konsep pernikahan dengan membaur bersama tamu undangan jika menikah suatu saat nanti.
Namun, hal yang tidak pernah kubayangkan terjadi saat hubungan kami menginjak tahun keempat. Sejak pesan pertama dari Stella yang masuk ke ponselku waktu itu, perubahan sikap Eva setiap kali mendengar nama Stella begitu kentara. Ia juga semakin mencurigai pesan-pesan yang masuk ke ponselku, meskipun itu berasal dari Dearest yang selalu menyemangatiku saat siaran. Berulang kali kuminta Eva untuk mengubah sikap buruknya, tetapi ia tidak pernah menggubris.
Pada tahun yang sama, karierku di dunia penyiaran semakin melejit. Tawaran menjadi pembawa acara pada stasiun televisi lokal datang silih berganti. Aku bahkan mendapat tawaran menjadi pembawa acara turnamen e-sport mobile game yang sedang populer dan sering diundang ke luar kota. Meski jumlah pendengar dan pengikut di media sosialku terus bertambah, aku tetap mempersilakan Eva jika ia ingin melihat isi ponselku. Tidak ada hal yang perlu aku cemaskan. Maksudku, aku sama sekali tidak menyembunyikan keanehan seperti yang ia maksud.
Karin memang pernah ketahuan sekali mengirimiku pesan, dan Eva langsung mencecarku dengan setumpuk pertanyaan. Aku berusaha menjelaskan situasinya, tetapi ia tetap tidak mau mengerti. Ia justru menjadi semakin sensitif setiap kali nama Karin disebut, bahkan jika itu hanya sebuah nama dari iklan produk kecantikan. Atas dasar kekuatan imajinasinya yang tak terbendung, ia memintaku mengunduh aplikasi Find my Phone setelah kejadian itu. Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa berkata tidak kalau ia yang meminta?
Entah mengapa, momen-momen seperti itu menarik kembali ucapan Akmal di studio siaran beberapa tahun lalu. Awalnya aku tidak mau percaya, bahkan aku sudah melupakan percakapan itu di tahun pertama bersama Eva. Namun, setiap kali Eva kambuh, pesan Akmal sebelum resign kembali terngiang di kepalaku. Hingga puncaknya, sebuah pesan baru dari nomor asing tiba-tiba masuk ke dalam ponselku dan Eva membacanya secara langsung:
“Timur, ada waktu luang? Jawab iya atau tidak.”
Aku bisa melihat tangan Eva yang gemetar hebat setelah membaca pesan itu. Ia tampak menahan rasa marah sekaligus menahan tangis ketika aku kembali menaikkan pandangan ke wajahnya. Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat. Jangankan untuk membicarakan siapa yang mengirimkan pesan itu, aku bahkan tidak sempat bereaksi apa-apa ketika Eva terlihat setengah mati menahan diri tidak mengumpat “Anjing!” dengan begitu keras dan pergi meninggalkanku begitu saja.
***
hal-hal menyedihkan
BERHARI-hari setelah kejadian itu, Eva tetap tidak pernah membalas pesan atau menjawab panggilan telepon dariku. Selama itu juga hari-hari yang kujalani terasa berat. Kakek bahkan mencurigai aku bisa tidak makan selama belasan jam setiap hari dan terus-terusan mengurung diri di dalam kamar karena kecanduan obat. Aku tertawa, dan Kakek segera mengerti ketika kujelaskan hubunganku dengan Eva sedang tidak baik-baik saja. Ia menyarankan jika masalahku harus diselesaikan dengan cara bertatap muka.
Pernah suatu waktu kuberanikan diri mendatangi Eva langsung ke rumahnya, tetapi adik perempuannya berkata jika Eva masih tidak mau menemuiku. Ia—adiknya itu, menatapku sinis selama berbicara. Niat untuk meminta bantuannya membujuk Eva kuurungkan. Seketika aku menyadari bahwa narasi Timur Rubinsa melakukan hal yang sama seperti mantan kekasih Eva yang selingkuh sudah terbentuk di lingkungan sekitarnya.
Aku tidak pernah berniat untuk membangkitkan rasa trauma Eva akan masa lalu buruknya. Maksudku, jika mengira aku selingkuh, Eva salah besar! Kesalahpahaman ini harus segera dibereskan. Aku tidak mau kebahagiaan selama empat tahun ini direnggut oleh hal konyol. Namun, monolog yang terbangun di dalam kepalaku sama sekali tidak berhasil menghalau rasa bersalah, ia justru selalu membawaku pada pilihan dengan akhir yang tidak menyenangkan.
Eva akhirnya hanya membalas “Ya” setelah seminggu penuh kucecar dengan pesan pendek untuk mengajak bertemu. Ia tampak belum ingin menerima kenyataan, tetapi Eva sepertinya mulai menyesuaikan diri dengan menjawab kembali pesanku. Atau ia hanya merasa kesal dan tidak ingin terus-terusan terganggu oleh rentetan pesan dariku.
Sebodoh amat.
Namun, selama tidak menanggapi pesan pendek atau panggilan telepon dariku, Eva tetap rutin memperbarui status media sosialnya seakan-akan tak terjadi apa-apa. Berhari-hari kuperhatikan kalau belakangan ia mendengarkan grup musik Artic Monkey, dan Eva selalu mengunggah hal itu seakan menunjukkan kalau ia menyukai grup musik itu sebesar ia menyukai grup musik Temper Trap yang dulu pernah diceritakannya kepadaku. Bedanya—selama empat tahun bersama Eva, aku tidak pernah sekali pun melihat lagu dari Artic Monkeys masuk ke dalam salah satu daftar lagunya.
Aku mencoba menghubungi ponsel Eva kembali, berharap kali ini ia akan menjawab untuk memastikan pertemuan kami. Namun, ponsel Eva tetap tidak bisa kuhubungi. Aku tidak tahu nomor ponselku diblokir atau apa, tapi kubuka aplikasi Find my Phone untuk melacak posisi ponselnya untuk pertama kalinya seumur hidupku. Dan aku berhasil menemukan lokasi Eva di salah satu pusat perbelanjaan di tengah kota.
Keringat dingin membasahi seluruh telapak tanganku saat menyalakan sepeda motor. Perjalananku menuju ke lokasi Eva di Find my Phone sekarang sama menakutkannya dengan perjalanan pikiranku yang mencoba menebak siapa yang sudah masuk ke dalam pikirannya. Atau yang lebih buruk, siapa yang sudah masuk ke dalam hatinya.
Apakah semua kejadian ini ada hubungannya dengan perubahan selera musik Eva?
Hujan deras yang tiba-tiba turun di tengah jalan seakan ingin mendramatisasi situasiku. Aku terus-terusan mengutuk kesialanku ketika menepi dan mengenakan jas hujan. Entah mengapa hujan yang turun dari langit kota ini selalu menambah kesan sentimental terhadap situasi apa pun. Dan sialnya, situasi yang kuhadapi sekarang sangat jauh dari kata baik.
Di sepanjang sisa perjalanan menuju lokasi Eva, tanganku tidak bisa berhenti gemetar selama memegang setang motor. Namun, bukan perubahan cuaca secara drastis yang membuat sekujur tubuhku gemetar. Perjalanan yang biasanya hanya membutuhkan waktu 15 menit terasa seperti berjam-jam, dan setiap tikungan yang kulewati terasa seperti ancaman. Semakin aku mendekat, aku semakin tidak yakin apakah aku siap bertemu dengan Eva untuk membicarakan hubungan kami.
Seumur hidup, belum pernah aku merasa setakut ini.
Aku segera melipat jas hujan ke dalam bagasi jok motor begitu tiba di area parkiran dan bergegas melangkah ke pintu masuk mal. Kubuka lagi aplikasi Find my Phone untuk mencari tahu posisi Eva dan berhenti tidak jauh dari titik lokasinya.
Ketemu.
Sekujur tubuhku kembali gemetar. Namun, kali ini bukan mesin pendingin gedung mal yang menjadi penyebabnya. Aku tahu betul di mana lokasi Eva karena—seharusnya—mengoleksi tiket film yang kami tonton di bioskop menjadi kebiasaan menyenangkan bagiku.
Kudatangi tempat kopi terdekat, lalu mengambil tempat di meja kosong dekat jendela. Kutarik salah satu kursi dan duduk menghadap lorong untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik. Kunyalakan sebatang rokok supaya diriku merasa sedikit tenang.
Kopi pesananku datang tak lama kemudian, pramusaji perempuan itu tersenyum ketika ia mengenaliku dan berkata cukup sering mendengar siaranku. Namun, aku sedang tidak benar-benar ingin meminum kopi, dan aku tidak sanggup membalas senyumnya hingga pramusaji itu pergi meninggalkanku dengan wajah ketus.
Mataku masih terus mengintai ke arah lorong, kopi di atas meja kubiarkan tak tersentuh selama satu setengah jam lebih. Yang kulakukan hanya duduk dan menunggu Eva keluar dari salah satu studio bioskop. Pikiranku benar-benar kacau. Isi kepalaku terlampau berisik memikirkan jenis percakapan seperti apa yang mungkin akan terjadi jika aku dan Eva bertemu.
Aku begitu ketakutan dengan isi kepalaku sendiri.
Kulihat Eva melintas di kejauhan tak lama kemudian. Buru-buru kutancapkan puntung rokok kesembilanku ke dalam asbak tanpa sedikit pun melepaskan pandangan. Dengan langkah kecil dan tergesa, aku menjadi sangat berhati-hati mengikutinya dari belakang. Aku adalah penguntit andal, bahkan sejak awal bertemu dengan Eva. Mungkin aku terlihat seperti orang yang bersikap tidak peduli etika karena alasan tertentu. Namun, entah mengapa kali ini menguntit perempuan yang kucintai selama empat tahun belakangan membuatku merasa begitu hina.
Aku tak melepaskan pandangan hingga Eva berjalan menuruni eskalator. Suara-suara berisik di kepalaku semakin terasa mengganggu, dengungan yang semula samar terdengar melengking. Aku tidak ingin menduga-duga kalau Eva tidak menonton seorang diri. Namun, ketika sudah mendapatkan pandangan dari sudut yang lebih baik, bisa kupastikan jika memang benar-benar ada orang lain berjalan di sebelahnya.
Kenapa wajah laki-laki itu tampak tidak begitu asing?
Suara bising di kepalaku terdengar semakin nyaring bersamaan dengan kecepatan detak jantungku yang bertambah berkali lipat. Suara-suara itu perlahan menciptakan kabut tebal di sekitar pelupuk mataku, dan aku kehilangan kendali untuk menghalaunya. Aku tidak ingin membuang-buang waktu karena aku hampir tidak mampu merasakan kedua kakiku melangkah. Semakin lama aku mengikutinya, semakin sedikit udara yang bisa kuhela karena dadaku terasa semakin sesak.
Aku bisa saja memutuskan pergi meninggalkan mereka, lalu meminta penjelasan dari Eva ketika situasi sudah membaik. Namun, hatiku tidak mau menunggu, dan kepalaku enggan diajak berkompromi. Sebelum sempat membujuk diriku untuk tidak memperkeruh masalah, kakiku sudah melangkah lebih dulu dengan sendirinya menghampiri mereka.
Mendekati mereka.
Tuhan yang Mahabaik, aku merasa begitu marah.
“Bukannya minggu lalu kita udah nonton Logan, ya?” sapaku, sekaligus mengadang langkah mereka di area parkir rubanah.
Namun, seketika kepalaku serasa berputar. Kulempar pandangan ke sekitar tanpa ingin menatap apa pun, aku hanya bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Aku bahkan tidak punya petunjuk apa pun tentang apa yang ingin kulakukan setelah ini. Apakah aku harus meninju laki-laki itu sampai terjatuh, kemudian menekan dadanya dengan lututku dan menghajarnya sampai sampai ia tidak sadarkan diri? Ataukah aku harus menarik tubuh Eva menjauhi laki-laki itu?
Tapi untuk apa?
Ia bahkan tidak membahayakan siapa pun.
Laki-laki itu tidak sedang mengancam Eva.
Laki-laki itu mengancamku.
Wajah Eva tampak sama terkejutnya dengan wajah laki-laki itu ketika melihat kedatanganku. Tatapan Eva sempat bergeser ke arah laki-laki di sebelahnya sebelum kembali menatap mataku. Mereka saling tatap untuk beberapa saat, ekspresi kebingungan yang mereka perlihatkan sama besarnya dengan rasa bingung yang sekarang aku tunjukkan.
Kepalaku semakin dipenuhi pertanyaan.
Hatiku semakin dipenuhi kebingungan.
Perutku terasa melilit.
Pandanganku beralih, kutatap mata lelaki itu lekat-lekat. “Wajahmu nggak asing, Bung ….” sambungku, aku sama sekali tidak mempedulikan bagaimana suaraku yang terdengar bergetar saat berbicara. Dan aku bersumpah seumur hidup tidak akan pernah mau mengenakan jaket kulit lagi hanya karena lelaki itu sedang mengenakannya. “Kita pernah ketemu di suatu tempat?” tanyaku lagi.
Aku bahkan tidak sadar sudah sejak kapan tanganku mengepal.
Laki-laki itu tidak menanggapi. Eva juga tidak membantu menjawabkan pertanyaan itu untuknya. Aku tidak tahu apakah membisu adalah protokol yang tepat untuk menyikapi situasiku sekarang. Situasi di mana rasa malu, marah, terluka, sakit hati, dan cemburu bercampur aduk menjadi satu.
Aku akan memukulnya.
Jika laki-laki itu tidak angkat kaki sekarang juga, aku akan memukul rahang bagian bawahnya.
Laki-laki itu terus memandangi Eva dengan konsentrasi waspada. Dan aku masih menunggu salah satu dari mereka menunjukkan reaksi, supaya aku tahu aku bisa bernapas kembali atau tidak.
“Aku akan memberikan waktu untuk kalian berdua ….” Laki-laki-yang-berwajah-tampak-tidak-asing itu memecah keheningan. Ia meninggalkanku, meninggalkan kami berdua.
Aku menghela napas panjang. Situasiku sekarang benar-benar terasa seperti dejavu dari kejadian beberapa tahun lalu. Namun, kali ini tidak ada lukisan perempuan yang dapat kujadikan senjata untuk mengalihkan perhatian seperti di pameran seni dulu.
Kali ini hanya ada Eva dan aku.
Egoisnya, aku ingin Eva segera meminta maaf dan menjelaskan semua kepadaku, atau setidak-tidaknya aku ingin ia mengatakan sesuatu. Aku butuh sesuatu untuk mengembalikan kewarasanku. Namun kalau kupikir lagi, Eva harus meminta maaf untuk apa? Ia tidak berbohong karena memang tidak pernah berkata apa pun kepadaku. Maksudku, Eva sudah menyiratkan kejujuran yang jauh lebih menyakitkan melalui sikapnya yang selama ini tidak mengacuhkanku. Dan seharusnya aku bisa menyadari hal itu.
Ketika kuberanikan diri menatapnya, Eva justru mempersilakanku mengasumsikan perasaan yang kulihat dari sinar matanya yang meredup. Percikan itu tidak lagi terlihat di sana, kedua bola mata indah itu justru lebih banyak memberi penjelasan melebihi kata-kata manis mana pun yang pernah kudengar. Rasanya begitu menyakitkan. Hati manusia mana yang sanggup menanggung beban paling berat sedunia?
Tubuh Eva kelihatan mulai bereaksi. Ia menegakkan posisi tubuh, napasnya bertambah berat. Wajahnya tampak sedikit memerah, tapi bukan dalam pengertian yang bagus. Aku bisa melihat kemarahan di sinar matanya. Aku tidak tahu apa yang membuat Eva merasa berhak marah, padahal semua hal ini terjadi karena ia yang mengacaukan pikiranku.
“Kamu itu apa-apaan, sih?” pertanyaan itu justru keluar dari mulutnya.
Loh? Aku?
“Harusnya itu pertanyaanku, Evadilla Oktaviani,” Aku menggeleng kecewa. Rasanya, kekecewaanku hampir meleleh ke lantai beton di bawah kakiku. “Kamu itu apa-apaan, sih??”
“Kenapa kamu sampai buka Find my Phone, hah??” Eva tampak begitu kesal hingga ia tidak sadar baru saja mengeluarkan nada tinggi pada padaku. “Seniat itu???”