Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #10

PLAYLIST 09: KAMU MENCINTAI DIA?

pertemuan di taman

 

“PERTANYAANKU tadi kok nggak dijawab?” Perempuan itu tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

Kesadaranku belum kembali sepenuhnya. Ah, tidak. Kesadaranku memang mulai sedikit berkurang akibat pengaruh alkohol yang kuminum mulai terasa. Ah, tidak. Entahlah, perasaan ini begitu sulit kujelaskan. Suasana hatiku mendadak terasa tidak enak, seperti ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul dan melukai seluruh sarafku. Sejujurnya, aku merasa tidak baik-baik saja setelah ia tidak sengaja mengucapkan kata “menikah” barusan.

“Pertanyaan yang mana?” tanyaku balik.

“Kamu sekarang pacarnya siapa?” Perempuan itu bertanya sambil mengedipkan mata. Bisa kupastikan kali ini ia ingin menggodaku, dan lagi-lagi ia tahu betul bagaimana cara untuk memperbaiki suasana hatiku.

“Ada ….” jawabku.

Ia mengedikkan bahu, melirik sekitar dengan tatapan meledek. “Mana? Bukan makhluk halus, kan?”

Aku hampir tersenyum mendengar hal itu, tapi tidak jadi kulakukan.

“Tumben nggak ada perempuan lain setelah aku?” ia bertanya lagi.

“Aku nggak mau buru-buru.”

Perempuan itu tertawa. “Halah~ Alasaaan. Makanya, lain kali kalau ada perempuan yang chat basa-basi, jangan semuanya ditanggapi. Pilih-pilih, dong!” Terdengar nada marah pada kalimatnya barusan.

Loh? Pipinya memerah?

“Aku ini juga perempuan, jadi aku tahu mana yang benaran nanya dan mana yang modus.” 

Wajahnya tampak menggemaskan! Aku jadi semakin ingin menggodanya!

“Kalau yang mengirim chat itu mantan teman sekantor kamu yang mendengarkan siaranku, boleh ditanggapi?”

Lagi-lagi perempuan itu tertawa. “Bodo amat!”

“Loh? Pilihanku jadi nambah, kan?”

Pokoknya, jangan pernah ngasih harapan kalau kamu itu nggak niat serius!”

Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya barusan. Satu lagi kebiasaan lama yang ia tunjukkan dalam situasi tersudut. “Pokoknya” adalah senjata yang perempuan itu gunakan ketika berada dalam percakapan yang membuatnya tidak nyaman. Apakah ini hanya perasaanku saja? Atau perempuan itu benar-benar merasa cemburu? Entah mengapa aku malah tersenyum menatapnya sekarang.

“Kenapa?” Ia menyadari senyuman penuh arti di wajahku.

“Kamu cemburu, ya?”

“Nggak!”

“Kamu yakin?”

“Iya!”

“Padahal, dulu aku berniat serius sama kamu.”

“Jangan bahas yang lalu ....”

“Kalau suatu saat nanti aku kasih undangan nikah, kamu mau datang?”

“Nggak mau!”

“Loh? Kenapa? Cemburu, ya?”

“Kenapa aku harus cemburu?”

“Jangan bohong~”

“Kamu sendiri kenapa nggak datang ke acara pernikahanku?”

“Kamu kenapa nggak kasih undangan?”

“Aku udah kirim undangan ke rumah Ibu.”

“Kenapa nggak ke rumah Kakek? Kamu kan tahu kalau aku nggak serumah sama Ibu.”

“Yang penting aku udah kirim undangan.”

“Kamu takut batal nikah, ya, kalau waktu itu aku datang?”

“Enggaaak! Enak aja! Aku bahagia dengan pernikahanku!”

“Eh, yang aku tanya itu kamu takut batal nikah kalau aku datang. Bukan kamu bahagia. Pertanyaan bahagianya udah lewat!” Giliranku yang tersenyum mengejeknya sekarang.

Kena kamu sekarang!

Perempuan itu lagi-lagi tertawa. Keras sekali ia tertawa. “Kamu tuh, ya! Kebiasaan banget masih suka iseng mengulang omongan aku!”

“Kamu masih ingat kebiasaanku, ya?” Aku ikut tertawa menggodanya. Dan astaga, ia bertambah cantik kalau tertawa seperti itu!

“Tapi, serius! Aku itu cukup bahagia dengan kehidupanku yang sekarang.”

Lihat selengkapnya