IBARAT film, aku yakin jika kota tempat tinggalku sekarang bergenre drama-romantis. Selalu banyak kutemukan gairah tersembunyi di tiap sudut jalannya. Atmosfer yang menaungi kota ini seakan menyimpan daya magis yang dapat mengubah setiap emosi campur-aduk terasa lebih menyenangkan. Ia, kota ini, dapat membawa ingatanku melompat kembali ke masa lalu semudah mendengar suara kereta api yang melintas pada malam hari. Ia juga bisa membuat hatiku terenyuh hanya dengan mempertontonkan rintik hujan di sore hari.
Banyak yang bilang kalau kota ini begitu spesial karena suasananya melebihi kota istimewa. Setiap pendatang bisa dengan bebas meninggalkan kisahnya di sepanjang jalan yang mereka lewati, lalu membuka kenangan itu lagi ketika mereka kembali suatu saat nanti. Bagi pendatang sepertiku, sulit rasanya untuk tidak jatuh cinta dengan kota ini. Segala sesuatu yang terjadi di bawah langitnya selalu terasa lebih manis sehingga menjadi begitu sulit dilupakan.
Bahkan untuk urusan patah hati sekali pun.
Kilasan pertemuan dengan Eva terus membayangiku berminggu-minggu. Bentuknya jelas dan jernih, bukan jenis kilas balik yang abu-abu. Sepertinya Eva dan kota ini memang sengaja berkomplot untuk kembali mengacaukan perasaanku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadap kekacauan yang berkecamuk di kepalaku. Apa pun yang kulakukan terasa tidak nyaman. Pertemuan singkat itu seakan berhasil membuka kembali dimensi kenangan yang seharusnya kusembunyikan.
Bagiku, mesin waktu tidak selalu berbentuk seperangkat alat canggih dengan kabel warna-warni yang terhubung kepada partikel mesin mutakhir. Mesin waktu tidak serumit konsep perjalanan waktu yang dijabarkan oleh Albert Einsten dalam teori relativitas dan postulatnya, apalagi sefiktif mobil DeLorean metalik pada film Back to Futre yang melaju cepat dan lenyap di ujung jalan meninggalkan jejak ban yang terbakar.
Mesin waktu yang kutemukan jauh lebih sederhana.
Ia bisa berbentuk apa saja dan bersemayam di mana saja.
Setiap kali berkaca di kamar mandi, pikiranku seketika mengingat bagaimana cara Eva menggenggam gagang sikat dengan kelima jarinya saat menggosok gigi. Sewaktu kelaparan tengah malam dan ingin memasak mi instan, mendadak terlintas di pikiranku bagaimana makanan berkuah pedas dapat membuat Eva tersenyum lebih lebar. Ketika menonton film serial yang sedang banyak dibicarakan orang, aku kembali mengingat bagaimana Eva yang tidak pernah sadar selalu memiringkan kepala jika terlalu lama fokus menonton di depan layar. Namun, yang paling membuat dadaku sesak justru bagaimana rasa sakit yang Eva tinggalkan.
Eva hanya satu dari jutaan perempuan yang ada di kota ini.
Mengapa melupakannya terasa sulit setengah mati?
Ponselku berbunyi, dan nada deringnya masih terdengar sama seperti bunyi dering sebelumnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang membuat dadaku menjadi berdebar lebih kencang saat ponselku berbunyi.
Bagaimana kalau Eva menghubungiku?
Bagaimana kalau ia mengajakku bertemu kembali?
Apa yang harus kulakukan?
Jawaban apa yang harus kuberikan?
Apa lebih baik kubiarkan saja sampai nada dering itu mati dengan sendirinya?
Astaga! Aku hampir menerobos lampu merah karena memikirkan hal konyol!
Setelah menarik rem tangan, kucoba kembali mengendalikan diri dengan menghela napas panjang. Aku mengerling ke arah ponsel di jok penumpang dan merasa lega ketika melihat nama Ibu tertera di layarnya. Kumatikan rokok ke dalam asbak portabel di dekat persneling, menghalau sisa asap keluar dan menutup jendela mobil, lalu menyalakan mesin pendingin.
Kujawab panggilan telepon Ibu seolah-olah tak terjadi apa-apa. Maksudku, aku tidak ingin membuat Ibu khawatir karena tidak sengaja kembali bertemu dengan perempuan yang pernah membuatku jatuh cinta sekaligus jatuh sengsara.
“Loh, Mas? Tumben jam segini udah segar? Masih setengah tujuh pagi, loh?” Suara di seberang telepon langsung menyahut.
Aku tertawa renyah. “Iya, Bu. Ada jadwal menggantikan siaran pagi.”
“Tapi semalam tidur, nggak?”
Untuk satu pertanyaan itu, aku selalu menjawab, “Tidur, kok.”
“Udah mandi?
“Udah, dong.”
“Mandi di mana?”
“Ya di kontrakan, masa di kolam bola?”
“Nggak mandi di pom bensin lagi?”
Aku cekikikan karena Ibu masih mengingat kesialan yang pernah kualami beberapa hari setelah pindah dari rumah Kakek. “Kalau air di kontrakan habis, ya terpaksa,” jawabku. “Daripada nggak mandi sama sekali?”
“Gaya-gayaan mengontrak, sih.”
“Kan biar cepat mandiri.”
“Kamu itu ada-ada aja kelakuannya. Kenapa nggak mau tinggal di rumah Kakek lagi, sih? Aduh, kelakuannya minta ampun!”
“Aku segan kalau menumpang di rumah Kakek terus ….” Aku berbohong.
Selama ini Eva selalu mengajari bagaimana cara mencintainya secara bertahap dan terperinci, tetapi ia tidak pernah sekali pun memberitahuku bagaimana cara melupakannya. Berpisah dengan Eva mengubah banyak hal di dalam diriku, dan dampak terbesarnya adalah membuatku menjadi pengecut.
Aku takut merasakan sakit hati, aku takut merasakan kesepian dan terus-terusan terjebak depresi. Hal yang paling kuinginkan saat itu hanya lekas pulih dari patah hati dan melupakan Eva. Aku mengambil jalan pintas tercepat menghapus bayang-bayangnya dari pikiranku dengan terus-terusan meminum alkohol, berharap racunnya bisa membius luka di hatiku.
Hampir setiap malam, aku mendatangi bar dan meminta minuman terbaik yang mereka punya. Kalau beruntung, aku bisa dipulangkan kembali dalam keadaan utuh jika terkapar karena sudah menjadi pelanggan favorit mereka. Aku muntah-muntah sebelum merangkul kloset dan meringis dalam penyesalan, tetapi kembali kulakukan hal yang sama keesokan harinya. Setiap kali terbangun, kepalaku serasa hampir pecah. Aku menyesali kebodohanku, tetapi kulakukan lagi dan lagi berulang kali.
Aku baru menyadari jika perpisahan yang dilakukan seorang diri itu rasa sakitnya tak tertanggungkan. Ibu tidak boleh tahu kekacauan yang kulewati. Kakek tidak boleh melihatku dipulangkan dalam keadaan terkapar tak sadarkan diri. Mereka tidak boleh tahu kalau aku hancur. Saat itu aku memutuskan untuk pindah dari tempat Kakek dan mencari rumah kontrakanku sendiri.
“Udah sarapan?” Pertanyaan Ibu mengembalikan kesadaranku.
“Udah.”
“Kalau nggak siaran pagi, kamu pasti nggak sarapan.”
“Lagi diet juga.”
“Halah! Diet, diet. Tapi tiap malam makan nasi padang ….”
Aku tertawa. “Tumben Ibu telepon pagi-pagi?”
“Oh, iya. Kemarin ada teman kantor ibu yang ikut arisan bareng ibu-ibu kompleks. Dia bilang anaknya mau menikah, calonnya masih tetanggaan sama kita. Kalau bisa kamu juga datang, ya?”
“Oke?” Entah mengapa nada suaraku terdengar setengah bertanya. “Acaranya kapan?”
“Katanya baru dapat gedung sekitar tiga sampai empat bulan lagi. Atau bisa jadi lebih lama, tergantung kuota. Kira-kira kamu bisa pulang?”
“Belum tahu, Bu. Kakek bilang Dear Radio juga bikin acara besar sekitar empat atau lima bulan lagi. Nanti aku kabari, ya?”
“Lah? Kan masih lama?”
“Persiapannya aja bisa hampir tiga bulan lebih.”
“Oh, gitu ….”
“Iya.”
“Udah kayak mengurus pernikahan aja, ya?”
Aku menelan ludah.
Ada sedikit jeda sebelum Ibu melanjutkan percakapan. Dari suara ketel mendidih yang terdengar dari seberang telepon, bisa kutebak kalau Ibu sedang menyeduh teh panas sebelum bersiap-siap berangkat kerja. “Terus ... kamu kapan, dong?”
Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan itu. Kulirik tanda pengenal media yang menggantung di kaca spion tengah, kemudian membalas pertanyaan Ibu dengan balik bertanya “Apanya?” sambil cengengesan.