Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #12

PLAYLIST 11: FORGET JAKARTA

tiga tahun lalu

 

SERATUS dua puluh hari berlalu sejak kali terakhir kuantar Eva pulang ke rumahnya. Kontak kami terputus dan aku tidak pernah mendapatkan kabar darinya lagi. Sejak saat itu, hitungan maju hari-hari patah hatiku dimulai. Eva mulai menghapusku dari media sosialnya. Sedangkan aku tidak melakukan apa-apa, foto-foto kami masih teronggok di akunku dan aku tidak tahu apakah harus melakukan hal yang sama dengannya atau tidak. Untuk mengurai rasa sakit atas pertanyaan itu, aku bahkan harus mengungsi ke Ibu Kota setiap akhir pekan.

Ingar-bingar Ibu Kota seakan dibiarkan kembali bernapas di akhir pekan, mengundang siapa saja untuk sejenak berjarak dengan kesibukan dan menawarkan sedikit ruang untuk menemukan momen ketenangan dan keindahan hal-hal sederhana yang sering luput dari perhatian di malam hari.

Aku melihat pasar-pasar yang biasanya dipenuhi sesak menjadi arena bagi para seniman jalanan yang melantunkan nada-nada indah. Aku menyusuri taman-taman kota yang sering dibiarkan terbengkalai menjadi tempat paling aman dari kebisingan yang tak kunjung usai. Aku menemukan kafe-kafe tersembunyi di sudut kota yang membuka ruang untuk merenung seluas-luasnya bagi para pencinta kopi dan literatur.

Kuletakkan buku yang sudah selesai kubaca berulang kali di atas meja, kemudian menyesap kopi dingin dan mematikan rokok. Malam di luar semakin tinggi, menandakan belasan jam yang kuhabiskan di kafe ini hampir mencapai batasnya. Aku mengembalikan buku ke dalam rak, lalu menyelesaikan pembayaran kepada kasir yang mulai menghafal kebiasaanku duduk di meja pojok dari pagi hingga tempatnya tutup.

Setelah melangkahkan kaki ke luar, aku kembali berjalan-jalan menyusuri malam. Kulewati pasar-pasar seperti biasa, menyusuri taman-taman seperti yang selalu kulakukan pada malam sebelumnya, hingga akhirnya aku tiba kembali di penginapan. Dan meskipun aku berharap selama ini bisa pergi sendirian, tetapi ternyata itu tidak pernah terjadi.

Pikiranku masih menyukai segala hal tentang Eva.

Aku masih merasakan kehadirannya di sebelahku selama berkendara di Ibu Kota. Saat aku masuk dan membuka pintu depan, aku masih merasakan Eva berjalan di belakangku. Ia bahkan muncul di langit-langit kamar begitu aku merebahkan badan di kasur. Eva ada di mana-mana. Eva masih bersemayam di kepalaku, menempati satu tempat spesial dalam relung hatiku.

Eva masih segalanya, satu-satunya segalanya bagiku.

Aku masih terus menanti hingga Eva tidak lagi menjadi segalanya, hingga aku bisa menggapai kehidupan normal seperti miliknya. Aku terus menunggu hari ketika kepedihan ini berkurang, ketika aku tidak lagi merindukan Eva sebesar aku merindukannya sekarang. Ingin kukatakan kalau hatiku hancur, tetapi hatiku tidak hancur. Sebenarnya, aku tidak tahu apakah hatiku hancur atau tidak karena Eva hanya meninggalkannya begitu saja di depan gerbang rumah paling menyedihkan yang pernah kututup.

Sejak saat itu, aku selalu menyuruh diriku untuk terbiasa melewati sehari demi sehari. Tapi memang jauh lebih mudah merencanakan daripada melakukannya. Terutama ketika malam tiba dan aku berbaring sendirian di ranjang seperti sekarang.

Aku mulai menyadari kekecewaanku bukan karena Eva berkencan dengan laki-laki lain. Yang paling membuatku kecewa adalah perubahan tatapannya ketika berbicara dengan laki-laki itu. Aku benar-benar membencinya karena begitulah selama ini cara Eva menatapku. Jadi, siapa pun laki-laki itu, aku tahu mereka memiliki hubungan yang tidak biasa.

Kuraih sebotol anggur yang sengaja kusimpan sejak semalam dalam lemari pendingin kecil di bawah cermin. Kutuangkan satu gelas penuh, kemudian langsung kutenggak habis seakan-akan tidak ada air lagi di dunia ini. Kutuangkan isinya lagi dan lagi, berulang kali kutegak habis minumanku sampai kepalaku menjadi terasa sedikit ringan saat merebahkan diri kembali di atas kasur.

Dering ponselku memecah keheningan. Aku sempat berpikir jika Stella menghubungiku untuk mengingatkan agar besok aku tidak datang siaran terlambat. Atau mungkin Kakek ingin memastikan kalau aku baik-baik saja dan tidak ada masalah dengan mobil yang kubawa. Yah, energiku masih tersisa untuk menjawab satu panggilan telepon semacam itu.

Sesaat setelah memiringkan badan dan meraih ponsel di atas meja nakas, sekujur tubuhku mendadak kaku begitu melihat nama pemanggilnya.

Oh Tuhan.

Evadrilla Oktaviani juga masih ada di layar ponselku.

Aku mematung beberapa detik sebelum akhirnya mengetuk tombol hijau bergambar gagang telepon dan menggesernya ke arah kanan. Ada keheningan yang terdengar jelas begitu kutempelkan ponsel di telinga. Meskipun ragu-ragu, aku mencoba mengatakan “Halo” untuk pertama kalinya.

Dari seberang tidak ada suara, tetapi samar bisa kudengar sebuah tarikan napas yang berat dan lembut. Seperti seseorang yang sedang menenangkan diri atau merasa lega. Aku tidak tahu untuk apa, tapi aku memindahkan ponsel ke telinga sebelah ketika aku bangkit dari pembaringan.

“Halo?” kataku lagi. Aku berusaha mempertahankan suara agar tetap terdengar tenang di tengah debaran jantungku yang tidak keruan.

Aku melangkah ke meja dinding di sebelah televisi untuk meraih sebungkus rokok, membuka pintu samping jendela menuju balkon, lalu duduk di kursi dan menyalakan sebatang rokok. Malam ini terasa begitu sunyi, bahkan tidak terdengar suara nyanyian serangga seperti yang selalu kudengar pada malam-malam sebelumnya. Kualihkan pandangan ke arah langit yang kelabu seperti dibekap oleh cuaca murung. Semilir angin pengap perlahan berembus, pertanda hujan akan segera turun.

“Belum tidur?” Suara di seberang telepon memecah keheningan, menanyakan basa-basi yang cukup biasa. Namun, ada nada sedih dalam suaranya barusan.

Apakah ia baru saja menangis dan menanyakan kalau aku belum tidur?

Haruskah aku memberitahunya kalau beberapa bulan belakangan ini aku juga selalu kacau setiap malam menjelang tidur?

Tidak, tidak. Kurasa ia tidak perlu tahu hal itu.

Aku mengisap rokok dalam-dalam, kemudian menghela asapnya perlahan. Kulirik jam tangan kayu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Meski aku tahu kalau ia tidak melihatku, entah mengapa aku tersenyum. “Kalau udah tidur, aku nggak akan bisa jawab telepon, dong?”

Terdengar suara desah dari seberang telepon, pertanda ia baru saja menyunggingkan sebuah senyuman. “Kamu gimana kabarnya?”

Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku jengkel, tapi aku tidak tahu alasannya.

Apa mungkin karena aku membencinya?

Tapi apakah benar seperti itu?

Kalau membencinya, mengapa aku sering merasa kesepian? Kalau benci, mengapa banyak momen-momen bersamanya yang aku rindukan? Kalau benar-benar benci, mengapa aku sering memimpikannya, dan aku selalu saja senyum-senyum sendiri ketika terbangun? Ah, tidak.

Sepertinya aku lebih banyak menangis.

“Yah, begitulah ….” jawabku, kutenggak lagi gelas anggurku.

“Timur ….” Eva menyebut namaku begitu pelan seolah tidak ingin aku mendengarnya menyebut namaku, dan suaranya barusan terdengar sedikit bergetar.

Perutku serasa dipilin mendengarnya.

Kemudian ia menangis tersedu-sedu sebelum melanjutkan kalimatnya dengan lebih tegas dan berkata, “Aku kangen banget sama kamu ….”

Aku.

Kangen.

Banget.

Sama.

Kamu.

Sebenarnya lima kata itu cukup biasa ia ucapkan saat kami masih bersama. Namun pada malam ini, itu adalah lima kata paling berpengaruh kuat yang pernah kudengar. Kelima kata cukup biasa itu menjelma mantra berkekuatan magis yang menyihirku hingga tubuhku tersentak. Dadaku tiba-tiba berdetak begitu keras, bergema hingga tenggorokan sampai ubun-ubun di kepalaku dan membuat napasku tersengal.

Sesuatu yang ganjil kemudian melanda dadaku dengan begitu cepat, seperti ada yang berkepak-kepak. Aku tidak menyukainya, karena aku mengerti artinya.

Tubuhku juga masih menyukai segala hal tentang Eva.

“Aku tahu aku salah karena bersikap bodoh di masa lalu,” Eva terbata-bata melanjutkan kalimatnya. Ia mulai sesenggukan, seperti ingin menahan diri untuk tidak menangis sekaligus tidak menahan diri untuk menumpahkan semuanya. “Waktu itu aku merasa lelah. Aku merasa ada banyak hal yang mengusik rasa traumaku. Tapi aku lebih merasa bersalah lagi karena berharap bisa bertemu dengan orang yang lebih baik ….”

Pelan-pelan kucerna kalimat yang diucapkannya. Kubiarkan ia berbicara tanpa berniat memotong satu kalimat pun. Bukannya karena aku tidak ingin memotong, lebih tepatnya aku tidak bisa berkata-kata. Pengakuannya barusan menyesakkan dada dan membuatku semakin sulit bernapas. Tiba-tiba saja aku diserang badai haru luar biasa, dan kedua mataku membasah dengan sendirinya.

“Aku tahu kemudian ternyata dia nggak lebih baik, dan semuanya berjalan seperti mimpi buruk setelah itu. Terkadang aku juga berharap kalau apa yang pernah terjadi dalam hubungan kita cuma mimpi, dan kamu tetap ada di sampingku ketika aku terbangun ….”

Aku kembali menuangkan botol ke dalam satu gelas penuh dan langsung menenggak habis isinya. Aku mengisap rokok dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri. Setelah menemukan kalimat balasan yang tepat, aku berusaha menjaga suaraku agar tidak terdengar bergetar saat berkata, “Aku, ya, aku. Eva. Dia, ya, dia. Kamu nggak mungkin ketemu aku di dalam diri orang lain.”

 Gigil tangis kembali terdengar. Suara tarikan napas Eva terdengar semakin berat dari seberang telepon. Aku bisa membayangkan jika sekarang ia menyekakan tisu pada kedua matanya yang sembap dan hidungnya yang basah, seolah-olah hidungnya baru saja ikut menangis.

Tanpa kusadari, kedua kakiku mulai dibasahi tempias rintik hujan yang turun sedikit demi sedikit. Kualihkan lagi pandangan ke atas, mengamati langit yang semula kelabu kini menjadi pekat hitam yang membawa hujan sesaat: sejenis hujan yang dapat membuat ingatan melompat kembali ke masa lalu.

Tangis Eva memecah. Ia terisak, berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sedihnya. Aku terdiam, mendengarkan gigil tangis Eva dari seberang telepon, merasakan sakitnya, dan membiarkan hujan yang sesaat membasahi pipiku.

“Kamu mau ketemu aku?” Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

“Tidak,” ia menjawab dengan suara parau.

Tidak mau? Atau tidak bisa?

“Kita nggak mungkin ketemu sekarang. Aku lagi karantina selama sebulan, jadi nggak bisa ke mana-mana.”

“Karantina? Kamu sakit?”

Terdengar suara tertawa dari seberang.

Aku membuatnya kembali tertawa?

“Aku ikut kontes Abang None di Ibu Kota.” Eva memberitahu. “Karena harus ikut karantina, aku nebeng sementara di kamar kos Gita. Kamu ingat, Gita kan? Temanku di EO yang dulu, kamu kenal dia, kok. Kita dulu juga sering main ke kosannya.”

Aku tersenyum.

Tidak perlu repot-repot menjelaskan padaku, Eva.

Tentu saja aku masih mengingat semuanya.

“Kebetulan, Gita sekalian titip kamar kosnya karena ada perlu ke luar kota. Aku jadi lumayan menghemat biaya tempat tinggal sebulan, deh.” Ia tertawa setelah mengatakan hal itu.

Lihat selengkapnya