Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #13

PLAYLIST 12: RASA SAKIT ADALAH PENGHUBUNG

STELLA memintaku menunggu. Ia mendadak dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk membahas evaluasi acara off air beberapa waktu lalu sebelum berbicara denganku. Aku mengiakan. Begitu menutup siaran, aku beralih ke ruang tamu utama di lobi. Kusapa Intan yang selalu setia tersenyum manis di meja FO, ekor rambutnya ikut mengayun ketika memberi isyarat sedang dalam panggilan telepon penting.

Aku menduduki sofa yang menghadap ke jendela kaca. Langit sore mempertontonkan warna jingga keemasan. Semilir angin dingin kembali berembus meski curah hujan perlahan berkurang, membawa aroma khas hujan yang sempat turun beberapa jam sebelumnya.

Kunyalakan sebatang rokok, kemudian merebahkan punggung sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Aku kembali membuka Instagram karena jumlah notifikasi masuk terus bertambah. Biasanya, pesan-pesan itu enggan kutanggapi di luar jam siaran. Namun, karena Stella berulang kali selalu mengingatkan kalau pendengar juga perlu dimanjakan, kutanggapi pesan itu satu per satu.

Merasa cukup, aku beralih ke tampilan profil. Satu tahun lebih aku tidak pernah lagi membuat unggahan baru. Aku hanya sesekali membagikan kegiatan saat siaran atau kegiatan MC pada InstaStory karena tuntutan pekerjaan. Gairahku untuk memperbarui feed sudah lama menghilang sejak berpisah dengan Eva. Dan itu bukan perkara baik bagi orang dengan jenis pekerjaan sepertiku.

Jariku mengetuk layar mengarahkan kembali ke beranda aplikasi Aku melihat-lihat beberapa unggahan teman dan rekan kerja, memberi like hampir di setiap foto dan video menarik yang kutemukan. Gerakan jariku terhenti pada foto Eva yang diunggah beberapa menit lalu. Sekujur tubuhku hampir tersentak saat menyadari lokasi dan latar belakang fotonya berada di sebuah restoran yang tampak tidak asing dalam ingatanku.

Pertemuan dengan Eva di indekos Gita saat itu membuatku memutuskan tinggal lebih lama di Ibu Kota. Aku memberikan alasan cukup logis kepada Stella agar siaranku dapat digantikan sementara oleh penyiar lain karena memiliki urusan mendadak. Aku tidak berniat membohonginya. Maksudku, aku tidak benar-benar berbohong. Pertemuan kembali dengan Eva setelah sekian lama memang menjadi urusan mendadak.

Eva memperkenalkanku kepada peserta Abnon lain yang ia kenal cukup dekat. Mereka tampak tidak terlalu terkejut ketika bertemu denganku. Katanya, Eva cukup sering membahas hubungan kami sebelum ini di waktu senggang. Aku selalu mengantarkan Eva ke tempat karantina setiap pagi, kemudian menjemputnya kembali di malam hari. Rutinitas baru itu membuatku semakin akrab dengan teman-teman barunya. Mereka bahkan selalu mengajakku makan malam di salah satu penjaja sate taichan pinggir jalan yang searah dengan jalan pulang.

Sehari sebelum malam acara puncak tahapan empat besar, Eva dan teman-temannya mengundangku ikut perayaan kecil-kecilan pada salah satu restoran Meksiko yang terletak di pusat kota. Tempat bernama Amigos itu cukup unik karena memiliki ruang lebih banyak untuk area berdansa ketimbang tempat makan yang berada di lantai dua. Hal itu membuat kami lebih banyak menghabiskan malam dengan bernyanyi dan bergoyang mengikuti alunan musik khas Latin daripada menghabiskan nachos.

Ketika malam semakin tinggi dan pengaruh alkohol mulai menunjukkan reaksi, teman-teman Eva justru tidak sengaja memberitahuku sesuatu yang tak seharusnya mereka ceritakan. Aku tidak tahu alasan mereka berpikir mengatakan itu kepadaku sebuah langkah bagus, tapi setidaknya aku dapat memahami sebuah sudut pandang baru. Cerita lain lagi yang Eva sampaikan kepada mereka cukup membuatku ingin meninggalkan Ibu Kota secepat yang aku bisa. Dan aku tidak pernah mengira jika malam di Amigos merupakan tempat pertemuan terakhirku bersama Eva. Karena ketika memasuki malam puncak acara, yang berdiri di sebelah Eva adalah lelaki itu.

Bukan aku.

Aku melangkah ke belakang panggung begitu sambutan penutup selesai dibacakan. Eva tampak terkejut melihat kedatanganku, dan laki-laki yang berdiri di sebelahnya memberikan tatapan wajah sama terkejutnya dengan Eva. Seharusnya keputusanku ini dapat membuatku menyesali banyak hal, tetapi aku justru merasa lega. Terutama setelah kebersamaan kami selama di Ibu Kota sempat membuatku mengharapkan banyak hal untuk masa depan. Aku bangga dengan diriku karena mau memberanikan diri. Dan bagian terbaiknya, aku akan menyudahi hubungan-entahlah-apa ini yang aku jalani secara langsung di depan laki-laki itu.

Kuucapkan selamat, lalu mengeluarkan senyum terbaikku saat berkata, “Bilang ke aku kalau kita udah nggak ada hubungan apa-apa, Eva. Jadi aku nggak perlu repot-repot lagi membagi waktu dan perasaanku buat kamu.”

Eva tidak langsung menaggapi. Pandanganku mengunci tatapan Eva yang begitu ingin menghindari kontak mata denganku. Setelah pandangan kami bertemu, aku kembali melanjutkan, “Aku mau mendengarnya sekarang, Eva. Supaya laki-laki ini juga mendengarnya.”

Meskipun pada awalnya terlihat ragu-ragu, tetapi ia benar-benar melakukannya. Eva mengabulkan permintaanku dengan mengulangi kata-kataku persis di hadapan laki-laki itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi suaraku tertahan di tenggorokan dan tidak mau keluar. Aku memilih tersenyum kepadanya sebagai isyarat dari banyak hal yang tak mampu kuucapkan. Sejak malam itu, aku terus-terusan mengutuki ketololanku dan benar-benar berusaha melupakan Eva dari hidupku.

Cukup lama kupandangi foto Eva yang tersenyum manis sebelum akhirnya pandanganku beralih pada takarir di bawah gambarnya bertuliskan:

I'm wearing glasses, white sweater, beanie hat,and also

the smile you gave me that night.”

Untuk sesaat, aku lupa bagaimana caranya untuk bernapas.

Apa maksudnya Eva menuliskan hal seperti itu?

Maksudku, aku benar-benar lupa jika Eva membuat Instagram kami kembali berteman di pertemuan malam itu. Namun, apa Eva sengaja mengunggah foto dan takarir itu sebagai pesan tersirat?

Maksudku, apakah aku harus ….

Lesgow!” Suara Stella dari arah pintu geser membuyarkan kesadaranku.

Kulirik abu rokok yang sudah terbakar hingga separuh. Cepat-cepat kutancapkan ujungnya ke dalam asbak, menghalau sisa asapnya, kemudian kembali menatap Stella yang sudah duduk di sampingku.

“Nggak perlu repot-repot,” ia tersenyum, bibir merahnya merekah.

Sejak kapan lipstik merah itu menempel di bibirnya?

Bukankah tadi di ruang siaran Stella tidak menggunakanannya?

“Semuanya beres?” Kucoba mengalihkan percakapan.

“Yah, tadi cuma membahas perpanjangan kontrak dengan sponsor acara off air kita yang waktu itu. Karena masih harus menunggu konfirmasi dari pusat untuk kelanjutan kerja sama berikutnya, aku bisa cabut duluan. Eh, tapi tunggu ….” Stella melipat kedua tangannya di dada sembari mengetuk dagu dengan jari telunjuknya. Ada adlibs atau spot[1] yang harus diisi, nggak?”

Aku menggeleng pelan. “Kemarin aku udah tapping[2] empat iklan. Dari Kang Maulana juga nggak ada info soal iklan baru lagi. Harusnya kamu yang lebih tahu.”

“Bagus! Barusan itu aku cuma mengetes. Aku kira pikiranmu hilang lagi.” Stella tertawa setelah mengatakan hal itu.

Sialan.

Belum semenit aku berbicara dengan Stella, dua orang yang mengurus OB Van mulai berkeliaran di sekitarku. Mereka mondar-mandir dari pintu masuk ke ruang tamu tengah, lalu kembali dan berhenti di ruang tamu depan. Mereka pikir aku tidak bisa menyadari trik pura-pura melihat brosur iklan sambil mencuri-curi pandang ke arah Stella dari mejanya Intan itu?

Dasar pemula.

“Udah, cuekin aja,” bisik Stella sambil tersenyum kepada mereka. Anehnya, kedua orang itu justru mengangguk dan langsung meninggalkan kami dengan tenang.

Astaga! Semua perilaku konyol itu hanya untuk sebuah senyuman?

Aku tertawa. “Aku lupa, kamu itu pujaan satu kantor, ya?”

Stella menampar lenganku. “Jangan lebay!”

Aku pura-pura meringis.

“Terus. Kamu tadi kenapa di ruang siaran?”

“Memangnya aku kenapa?”

Stella menatap mataku dalam-dalam, dan tatapannya hampir saja membuatku salah tingkah. Kuakui kalau Stella memiliki pandangan yang mampu menembus pikiran. Tatapannya seolah-olah menegaskan bahwa aku akan menyesal jika sampai membohonginya.

Namun, aku tidak berniat membohonginya untuk kali kedua. Maksudku, aku tidak benar-benar ingin berbohong. Ah, tidak. Maksudku, pertemuan dengan Eva malam itu membuat hari-hariku kembali berantakan. Luka dari patah hati terbesarku kembali menganga setelah melihat satu senyumannya itu.

Ah, lagi-lagi kutemukan orang yang bertingkah bodoh karena sebuah senyuman.

Ada keheningan yang datang di tengah-tengah percakapan ini. Ada orang-orang OB Van yang kembali mondar-mandir di sekitar kami.

“Mmm ... kita makan di luar aja, yuk?” Perkataan itu justru keluar dari sebelahku.

Aku tertawa lagi. “Kamu terganggu?”

Stella mendecak. “Udah biasa ….”

“Benar-benar laku, ya?”

“Jangan meledek!”

“Mimpi apa, ya, aku semalam? Seorang Stella Wardhani sampai mengajakku makan di luar!”

Ia tertawa. “Apa, sih? Kamu itu punya utang cerita yang harus aku tagih!”

“Nanti boleh aku upload di Instagram?”

“Ih, nyebelin!” Tamparan lembut itu melayang lagi ke lenganku.

Stella beranjak dari sofa, lalu melangkah keluar setelah mengisi absen pulang. Aku melakukan hal yang sama sambil berjalan mengikutinya dari belakang. Saat berjalan ke area parkiran, aku masih saja cengengesan karena pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit.

 

***

 

KAMI tiba saat matahari baru saja terbenam dan gerimis berangsur reda. Aku duduk di salah satu kursi, Stella langsung mengambil tempat duduk di depanku. Kupesan segelas kopi dingin, sedangkan Stella ingin semangkuk salad dan es buah. Ia juga meminta sebuah asbak dan mengizinkanku merokok di dekatnya. Katanya tidak masalah kalau aku ingin merokok di dekatnya.

“Kopi lagi?” Stella bertanya tanpa basa-basi setelah pramusaji laki-laki itu membawa pergi catatan pesanan kami.

“Maksudnya?”

“Kamu tadi udah minum kopi di kantor, kan?”

“Aku suka kopi ….” Aku ingin menepuk jidatku sendiri atas celetukan tolol yang kuucapkan.

“Kamu benaran nggak apa-apa, nih?” Ia bertanya lagi.

“Harusnya itu pertanyaanku. Kamu nggak apa-apa?” Kucoba mengambil alih pembicaraan, menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan sekali lagi.

Dahi Stella mengernyit. “Maksudnya?”

Aku mengeluarkan sebungkus rokok yang baru saja kubeli saat perjalanan ke sini.

“Oh. Santai aja. Tadi aku juga udah minta asbak, kan?”

Aku menyunggingkan senyuman sebagai ungkapan terima kasih. Sambil membuka plastik pembungkus rokok, kuamati tempat yang baru pertama kali kudatangi ini.

Restoran bernama Volcano ini mengusung tema eksotis khas kafe tropis. Tempatnya terpencil dan tersembunyi di sudut jalan yang pasti luput jika tidak benar-benar diperhatikan. Permukaan dinding bata yang tidak disemen dan remang-remang nyala lampu menghadirkan nuansa pedesaan yang estetis. Bagian depannya ditutupi atap rumbia yang memberikan sentuhan tropis menyegarkan. Sebuah meja bar panjang khas Amerika Latin terlihat mencolok di dekat pintu masuk, seolah mengundang pengunjung untuk langsung duduk dan menikmati minuman dari berbagai botol yang dipajang pada rak bata di belakangnya.

Semilir angin malam yang dingin berembus, mengantarkan aroma parfum Stella yang terasa lebih wangi daripada sebelumnya. Selain itu, ada sesuatu yang sedikit mengganggu pikiranku pada detik pertama kami duduk berdua di meja ini. Tidak seperti sikapnya yang selalu dingin ketika berada di tempat umum, malam ini Stella terlihat sedikit berbeda.

Selama mengenal Stella beberapa tahun belakangan, aku tidak pernah melihatnya meminum alkohol atau merokok. Hal yang jarang dilakukan perempuan seusianya meskipun itu adalah sesuatu yang baik. Tapi mungkin karena itu juga ia menjadi begitu sulit didekati laki-laki. Rumor di kantor mengatakan Stella belum menikah, bahkan belum pernah memiliki pacar sekali pun. Aku tidak tahu pasti siapa yang pertama kali mengatakan hal itu dan sejauh apa kebenarannya, tapi melihat sikapnya yang selalu menjaga jarak, aku tidak heran.

Namun, sikap dingin yang seperti itu justru membuatnya semakin terlihat menarik. Ia seolah-olah diselubungi aura misterius dan membuat setiap laki-laki merasa tertantang untuk menyingkapnya. Dalam imajinasiku, aku selalu menyamakan Stella dengan matahari sebagai titik pusat di galaksi. Karena di mana pun ia berada, akan selalu ada laki-laki yang mengorbit di sekitarnya.

Kesadaranku tersentak ketika Stella tiba-tiba mengikat rambutnya ke belakang. Aku sedikit kaget melihatnya, tetapi sebisa mungkin tidak kutunjukkan di depannya sekarang. Sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan gerakannya itu. Namun, baru kali ini kulihat bagian leher Stella yang selama ini selalu tertutupi rambut. Dan ternyata, bentuk leher jenjang yang selalu diagung-agungkan seluruh lelaki di kantorku sungguh mengagumkan.

“Kamu lagi banyak pikiran?” Stella bertanya lagi, membuyarkan lamunanku.

Astaga! Hampir saja aku tertangkap basah!

Untuk menyembunyikan kegugupanku, kunyalakan sebatang rokok sambil berkata, “Nggak juga.”

Ia menggeleng pelan, ekor rambutnya mengayun berlawanan dengan arah kepalanya bergoyang. Stella tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahku, lalu berkata, “Jangan bohong. Seperti yang aku bilang sebelumnya, kamu itu pembohong yang buruk!”

Untuk yang barusan terjadi, aku menelan ludah. Dan aku hampir saja terbatuk karena serangan itu.

Sejak kapan Stella menaruh perhatian kepadaku?

Maksudku, Stella yang kukenal tidak akan bersimpati dengan urusan orang lain. Aku sudah terbiasa melihat sikap cuek Stella dan tidak pernah menggubris laki-laki di sekitarnya. Bahkan ketika Akmal menjadikanku kambing hitam untuk mendapatkan nomer ponselnya, ia justru langsung menanyakan nomor ponselku. Stella juga jarang mengikuti acara di luar kantor dan lebih sering menghilang setelah jam kerja selesai. Aku hanya akan bertemu Stella di program Dear Radio sebagai produser, dan pembicaraan yang kami lakukan tidak pernah jauh dari pekerjaan. Kalau beruntung, aku akan bertemu kembali dengannya di saat mengisi absen pulang.

Lihat selengkapnya