PERASAAN ini lagi-lagi menghampiri, sensasi sama yang kurasakan setelah Eva pergi. Entah mengapa aku kembali merasa menjadi orang paling menyedihkan sedunia. Pagi ini aku merasa lelah karena tidak bisa tidur semalaman suntuk. Beberapa kali kucoba mengganti posisi berbaring, menyalakan musik instrumental, mematikan lampu, menyetel suara hujan, tetapi tetap saja senyum Eva selalu terlintas setiap kali aku memejamkan mata dan membuat badai di kepalaku justru semakin hebat. Kupaksakan diri untuk bangkit dan pergi ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi.
Aku beranjak ke dapur untuk merebus air dan menyeduh secangkir kopi. Sengaja tidak kunyalakan lampu di kontrakan karena mataku terasa sepet. Aku pindah ke meja belajar ruang tengah untuk menyiram beberapa tanaman hias pemberian Kakek, menyalakan sebatang rokok, lalu menyeruput kopi. Kubiarkan laptop di depanku menyala memutarkan lagu-lagu sendu. Suara speaker kusetel kencang agar perasaan sentimentalku pagi ini menajam.
Sekilas, kulirik layar monitor yang menyala redup. Kutarik tubuhku mendekati meja, dan roda di kursiku meluncur seketika. Aku meraih tetikus, memutar lagu sendu lainnya dan mengarahkan kursor untuk membuka-buka folder lama. Penunjuk kursor terhenti pada satu folder keramat, sebuah kotak pandora yang sejak dulu tak pernah berani kubuka. Jariku mendadak kaku, jantungku berdebar hebat, kepalaku terasa berputar lagi, lagu sendu yang mengalun terasa menusuk sampai ke ulu hati. Kuperbaiki posisi duduk, menyesap kopi, lalu mengisap rokok dalam-dalam.
Segala hal tentang Eva masih tersimpan rapi di dalam folder itu. Foto, video, riwayat pesan pendek, kumpulan lagu kenangan, semuanya. Aku tak pernah benar-benar bisa menghapus kenangan yang ditinggalkan Eva. Aku tidak pernah berniat untuk melupakan kehadiran Eva di dalam hidupku. Biar bagaimanapun, aku dan Eva pernah tumbuh bersama dalam waktu yang cukup lama.
Jariku sudah begitu gatal ingin menekan tetikus dan membuka folder-nya, tetapi semesta berkata lain. Listrik di kontrakanku tiba-tiba padam. Laptopku yang sudah cukup usang mati seketika karena kehilangan daya. Aku ingin berteriak kesal, tetapi urung karena tidak tahu juga untuk apa.
Suasana senyap tiba-tiba menyeruak. Ah, kenapa setelah satu pertemuan itu jiwaku bisa langsung terusik? Kenapa ada perasaan gelisah yang mendadak datang merundungiku? Apa aku akan kacau lagi dalam jangka waktu yang tak kuketahui? Padahal pertemuan malam itu hanya berlangsung sekejap, sedangkan aku yang mati-matian memulihkan diri dari sakitnya patah hati setidaknya membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Adilkah? Tentu tidak.
Namun, lihatlah, yang perlu ia lakukan hanya duduk tersenyum di sebelahku dan hancurlah semua benteng yang selama ini sudah kubangun.
Apanya yang waktu akan menyembuhkan luka?
Apanya yang cari kesibukan baru supaya tidak lagi memikirkan dia?
Apanya yang kalau sudah ketemu orang baru, pasti lebih mudah melupakannya?
Omong kosong.
Sejak saat itu, hari-hariku selalu dimulai setelah terbangun dari mimpi buruk. Belasan jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu menyibukkan diri ternyata masih belum cukup. Keberadaan Eva tetap berpijar di kepalaku meskipun redup.
Pernah beberapa kali aku mencoba membuka hati untuk perempuan lain, tetapi tak satu pun yang berjalan dengan baik. Atau malah tidak berjalan sama sekali. Teman-teman di kampusku dulu bahkan mengatakan kalau aku tidak boleh jadi terlalu pemilih kalau ingin lekas sembuh. Dan mereka terus saja mengingatkan kalau tidak mungkin ada perempuan yang seperti Eva, jadi berhentilah mencari yang sepertinya. Aku benar-benar setuju dan sama sekali tidak membantah hal itu. Namun tetap saja, manusia mana yang sanggup membohongi perasaan nyaman?
Kutancapkan rokok ke dalam asbak, menghela napas panjang, lalu beringsut menuju kasur. Kugulung tubuhku ke dalam selimut. Rasa haru menyelinap karena tiba-tiba aku merindukan suasana rumah. Aku rindu masakan Ibu. Aku begitu ingin memeluk Ibu sekarang. Kuraih ponsel di sisi bantal, lalu menuliskan pesan:
“Ibu, kapan kirim rendang lagi?”
Kirim.
Tidak sampai sedetik, notifikasi pesan masuk ponselku berbunyi dan langsung kubuka dengan penuh semangat:
“Pelanggan yth, penggunaan kuota internet Anda telah berakhir. Pemakaian data selanjutnya akan dikenakan tarif normal.”
Lagi-lagi aku ingin berteriak kesal, tetapi urung karena tidak tahu juga untuk apa.
***
SESOSOK perempuan berjalan mendekatiku. Ia berdiri membelakangi mentari yang hampir tenggelam, membentuk siluet yang berbalut warna oranye-keemasan ciri khas langit senja. Perempuan itu kemudian bertanya di mana kusembunyikan sandal yang tadi ia kenakan. Aku menggeleng kepada sosok siluet itu, tidak tahu. Ia malah tertawa dan mendekat selangkah lagi kepadaku.
“Berhenti bercanda,” katanya dengan suara yang begitu lembut. “Cepat kembalikan atau kamu harus menggendongku pulang!”
Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Suaranya terdengar asing di telingaku, begitu pula dengan wajahnya yang tak bisa kulihat dengan jelas. Namun, satu hal yang aku tahu, jantungku tengah berdegup kencang.
Apa aku sedang jatuh cinta?
Sekilas kulihat ombak memecah, tetapi tak kudengar suara gemuruhnya. Kuperhatikan daun-daun pohon kelapa yang melambai, tetapi tak kudengar suara gemeresiknya. Keadaan di sekelilingku benar-benar hening, hanya suara perempuan itu yang terdengar di sekitarku, dan ia benar-benar terlihat bahagia. Samar-samar, di wajahnya bisa kulihat senyum yang begitu teduh. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Ia mengenakan gaun pantai selutut yang berkibar ditiup angin. Dan wangi tubuhnya itu ….
Perempuan itu kemudian meninggalkanku untuk berlari mengejar ombak, melarikan diri saat ombak balik mengejarnya, dan terjungkal di atas permukaan pasir yang basah. Ia bahkan menertawai dirinya sendiri saat ombak datang dan menyapu sebagian tubuhnya. Tanda tanya besar muncul di kepalaku.
Mengapa kami berada di pinggir pantai?
Mengapa sore ini langitnya begitu merah menyala?
Namun, yang lebih penting, perempuan itu siapa?
Aku memerhatikan sekitar, tidak ada orang lain lagi selain kami berdua. Ada sebuah saung tak jauh dari tempatku berdiri. Isinya dipenuhi dengan barang-barang ala orang berlibur. Ada sepasang sandal laki-laki di bawahnya.
Apa itu punyaku?
Ke mana sandal yang tadi dicarinya?
Namun, pantai ini terasa asing, begitu pun suasananya. Kuberanikan diri menghampiri perempuan itu untuk menanyakan siapa dirinya, tetapi pandanganku justru beralih pada sesuatu yang aneh di atas gulungan ombak dan sedang mendekati kami.
Pertama, itu adalah seekor kucing yang sedang berselancar.
Kedua, ia—kucing itu, mengenakan kaus oblong putih bertuliskan:
“ANJING SOPAN, KUCING SEGAN. ANJY.”
Ketiga, ia mengenakan ransel di punggungnya.
Keempat, tubuhnya gemuk sekali.
Kucing itu kemudian berdiri dengan dua kakinya, lalu melompat di atas papan saat menangkap gelombang ombak yang datang dengan penuh gaya. Dan hal itu ia lakukan dengan baik tanpa menghiraukan air yang menciprat ke tubuhnya. Kucing itu tidak takut jatuh dan hanyut walau kenyataannya ia adalah seekor kucing. Setelah satu kali mengeong, kucing itu menarik tali pada ranselnya. Parasut selebar payung kecil terbuka, menerbangkan kucing itu hingga tidak jauh di atas kepalaku.