Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #15

PLAYLIST 14: BUKU KEDUA

WAKTU tidur yang cukup, bermimpi indah, secangkir kopi hitam, dan menunggu kiriman rendang: awal pagi yang sempurna. Rasanya aku begitu bersemangat untuk menaklukkan hari ini. Kuputar lagu-lagu yang mewakili perasaanku. Aku bernyanyi dan bersenandung pada bagian yang liriknya tidak kuhafal, mengetukkan jari di lingkar kemudi mengikuti alunan musik.

Cuaca di luar cerah. Perasaanku cerah. Sengaja tidak kunyalakan rokok di dalam mobil karena tidak ingin suara musik yang cukup keras sampai terdengar keluar. Kota ini seakan-akan sedang tersenyum kepadaku. Lihatlah awan-awan putih yang berarak di atas sana menutupi teriknya cahaya mentari. Lihatlah burung-burung yang terbang rendah mengitari kota dengan kicauan ceria. Lihatlah dedaunan yang ikut bergoyang karena semilir angin sejuk sedang berembus.

Kota ini seperti sengaja sedang mempertontonkan sisi baiknya.

Kota ini seperti ingin menjebak setiap pendatang baru untuk merasa nyaman tinggal di bawah langitnya.

Seperti biasa, setelah memarkirkan mobil, aku menyapa Intan di meja FO begitu masuk ke lobi utama. Dan seperti biasanya juga, Intan membalas sapaanku dengan senyuman ceria. Aku langsung duduk di sofa ruang tamu, menyalakan sebatang rokok, membuka ponsel dan memeriksa notifikasi yang masuk.

Belum ada pesan baru dari grup kantor. Aku membuka Instagram, melihat unggahan cuplikan film yang segera tayang di bioskop. Ah, sudah begitu lama aku kehilangan minat menonton di bioskop. Bahkan, segala hal yang berhubungan dengan bioskop masih sanggup menimbulkan sedikit rasa nyeri di dalam dadaku setelah bertahun-tahun.

Kubalas pesan-pesan Dearest yang menanyakan tentang acara beberapa bulan ke depan dengan “stay tuned terus supaya tetap update” karena aku sendiri belum tahu rangkaiannya. Aku sengaja tidak membuka linimasa karena tidak ingin melihat unggahan kejutan dari Eva seperti waktu itu. Kuletakkan ponsel di atas meja. Sekilas, pandanganku melirik ke arah Intan. Baru kusadari jika ia masih mengamatiku dari balik meja kerja dengan tatapan yang tidak biasa.

“Intan kenapa?” tanyaku penasaran.

Intan tampak kaget saat tatapan kami bertemu. Ia terlihat salah tingkah, tetapi masih bisa dikendalikannya. “Intan kira Timur berpakaian sedikit lebih rapi hari ini.”

“Emangnya kenapa kalau aku pakai kaus dan celana jins? Kan biasanya waktu siaran juga pakai baju santai.”

Intan menggeleng. “Nggak apa-apa, sih. Tapi itu celananya Timur ada yang sobek-sobek. Timur juga ikutan meeting pagi ini, kan?”

Aku tersenyum melirik celana jeans hitam yang kukenakan. “Modelnya memang begini, Intan. Yang lain juga nggak pakai baju formal, kan?”

Intan tertawa renyah. “Nanti malah dikira rombongan yang mau pergi kondangan.”

Aku ikut tertawa. “Tamunya udah datang semua?”

“Tadi Pak PD udah naik, Bu PR juga udah naik sama tamu-tamunya. Tapi Intan kurang tahu ada berapa orang yang ikut meeting. Nggak semuanya yang ngisi buku tamu.”

“Stella?”

Intan menggeleng. “Belum kelihatan.”

Aku memberi isyarat mengangkat tangan dengan jari menjepit rokok. “Aku di sini dulu, sekalian menunggu Stella.”

Intan mengangguk, lalu terdiam untuk sesaat. Wajahnya sempat tertunduk, membuka-buka lembaran buku tamu yang ada di meja sebelum kembali mendongak ke arahku sambil bertanya, “Timur belum ketemu tamunya, ya?”

“Belum, dong. Kan aku baru datang.”

“Oh, iya. Hehehe ….”

“Ada apa, sih?” Gerak-gerik Intan yang tidak biasa itu semakin membuatku curiga.

Baru saja aku hendak bangkit dari sofa untuk menghampirinya, tetapi telepon di meja Intan tiba-tiba berbunyi. Ia mengangkat tangannya ke arahku, mengisyaratkan bahwa aku harus menghentikan langkah karena ia akan segera menjawab panggilan telepon itu.

Kembali kusandarkan punggung ke sofa, mengisap rokok, lalu mengembuskan asapnya perlahan. Stella datang tidak lama kemudian. Ia menyapaku dan Intan ketika memasuki lobi utama. Anehnya, seketika Stella langsung memberiku tatapan yang sama.

Astaga! Ada apa dengan mereka?

Maksudku, kalau Stella takut aku membahas tentang kencan semalam, ia salah besar. Aku tidak mungkin membicarakan hal itu di kantor, bisa-bisa aku dikutuk dan menjadi musuh bebuyutan seluruh laki-laki di sini. Kurasa Stella juga tidak akan menceritakan hal itu kepada Intan karena mulutnya sepolos bayi.

Lalu, kenapa pagi ini mereka bertingkah aneh?

“Kamu baik-baik aja?” Pertanyaan itu justru datang dari mulut Stella.

Aku memilih diam karena tidak mengerti dengan maksud pertanyaanya. Stella mengerling ke arah Intan yang masih sibuk berbicara dengan orang di seberang telepon. Saat ia kembali menatap ke arahku, wajah Stella menyiratkan kalau ia sedang mencermati. Setelah tampak puas, barulah Stella kembali tersenyum seperti biasa.

“Terus, kenapa kamu masih di sini?” tanyanya lagi.

“Aku malas naik sendirian.”

“Ya udah. Ke atas, yuk?” Stella melanjutkan langkahnya, membuka pintu geser menuju ruang tengah sembil berlalu meninggalkanku.

Aku menancapkan sisa rokok ke dalam asbak dan segera bangkit menyusul Stella yang terlihat terburu-buru menaiki anak tangga.

“Eh, ada apa? Kalian kenapa, sih?” cecarku.

“Kalian?” Stella bertanya balik tanpa menghentikan langkahnya.

“Kamu dan Intan pagi ini bertingkah aneh.”

Stella tidak menjawab, derap langkahnya justru semakin cepat. Di lantai dua, Stella berjalan ke arah biliknya dan meraih beberapa map di atas meja, kemudian kembali melangkah untuk menaiki tangga menuju ruang meeting di lantai tiga. Aku mengikuti dari belakang tanpa banyak tanya.

Inilah wajah Stella yang biasa kulihat di kantor, wajah yang selalu tampak serius jika menyangkut soal kerjaan. Ia tidak seperti Stella yang memegang sendok dengan kelima jarinya ketika berbicara empat mata denganku semalam.

Langkah kaki kami terhenti di depan pintu ruang serbaguna. Sebelum masuk, Stella berbalik badan ke arahku sambil berkata, “Oke. Biar kujelaskan sesuatu ….”

“Oke?” Entah kenapa jawabanku terdengar seperti bertanya.

“Apa pun yang terjadi di dalam, biarkan aku yang bicara mewakili divisi on air. Kalau kamu mau menyampaikan sesuatu, bicarakan dulu denganku. Jangan asal langsung menyambar forum tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Yang akan kita bahas ini acara besar. Aku nggak mau pertemuan ini tersendat hanya karena hal nggak penting seperti pertanyaanmu barusan. Bisa, kan?”

Aku menelan ludah, mengangguk pelan meski tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba berkata seperti itu. Maksudku, aku adalah laki-laki dewasa. Aku juga cukup sering mengikuti rapat dengan berbagai agenda. Aku tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik kulakukan dalam sebuah rapat. Aku bukan anak kecil yang suka berlarian dan mengganggu orang yang sedang mendiskusikan hal penting.

Tenang saja. Itu hal yang mudah.

Stella meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Cahaya kuning keemasan dari lampu ruangan langsung menyambut mataku. Sebelum melangkah, sebuah aroma yang sangat familier menguar dari dalam ruangan dan menyelinap masuk ke hidungku. Tubuhku tersentak, seluruh persendianku langsung mati rasa. Meskipun wanginya terasa menenangkan, entah kenapa jantungku mendadak berdebar begitu kencang.

Pintu terbuka semakin lebar, Stella melangkah masuk lebih dulu dan langsung mengambil tempat duduk. Sementara kedua kakiku tiba-tiba terasa tak bisa digerakkan, seperti ada tekanan gravitasi yang sangat kuat mengisap kakiku di permukaan lantai.

Di antara orang-orang yang duduk menghadap meja besar berbentuk oval di tengah ruangan, tatapanku menangkap sesosok perempuan yang sudah tidak asing lagi dalam ingatanku. Ia tidak melihatku karena sedang bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak aku kenal.

Sialan, kenapa Eva ada di sana?

 

***

 

JANGANKAN ikut bersuara, bahkan untuk mempertahankan wajah tetap lurus ke depan selama 20 menit ini saja aku tidak bisa. Meski Stella berulang kali menendang kakiku sebagai isyarat supaya aku tidak terus-terusan menunduk, tetap saja aku kembali menekuri karpet Persia di bawah kakiku setiap kali berhasil mencoba menegakkan kepala. Eva yang duduk hanya berjarak sepuluh langkah dari tempatku membuat pikiranku seperti diamuk badai.

Aku berusaha keras untuk tidak menatapnya selama rapat ini berlangsung. Aku bahkan berusaha tidak menatapnya meski ia jelas-jelas berada sejajar lurus di hadapanku. Usahaku cukup berhasil, dan itu cukup bagus mengingat Stella terus mengawasiku setajam rajawali. Setidaknya, hari ini aku merasa Stella bersikap begitu sebelum ia membuka pintu.

Kakek dan Pambudi Setiawan memasuki ruangan tidak lama kemudian. Mereka berdua tersenyum ramah sebagai isyarat menyapa semua orang. Jika kedua pendiri Dear Radio sampai repot-repot mengikuti rapat pagi ini, sudah pasti acara kali ini benar-benar besar. Aku mengangguk penuh arti kepada Kakek ketika menyadari senyuman yang ia tujukan kepadaku sedikit berbeda setelah sekilas melirik ke arah Eva.

Monitor 43 inci di tengah ruangan menyala, terhubung ke laptop yang dioperasikan oleh salah seorang perwakilan EO yang sekarang mulai berbicara. Semua pandangan tertuju kepadanya, dan seketika itu kedua mataku mempunyai tujuannya yang baru untuk melihat dunia. Kupandangi layar itu seolah aku benar-benar tertarik padanya.

Layar monitor mulai menampilkan sederet gambar, tabel grafik, dan beberapa foto dokumentasi acara yang pernah mereka buat. Perwakilan EO bertubuh tambun itu mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan jika acara off air yang akan diadakan kurang lebih dalam dua bulan ke depan bertujuan untuk memperingati setengah abad berdirinya Dear Radio. Konsep acara nanti akan dibuat eksklusif dengan membawa program Dear Radio secara live on air untuk mengenang sejarah awal berdirinya. Karena itu adalah momen yang cukup penting, sponsor besar “mengawinkan” Dear Radio dengan EO Ibu Kota tempat Eva bekerja sekarang karena memlliki reputasi terbaik.

Oh, Tuhan. Kejutan apa lagi yang sedang Engkau rencanakan?

Pak Minta memasuki ruangan dengan nampan berisi minuman dan makanan ringan, meredakan suasana tegang yang kemungkinan besar hanya aku sendiri yang merasakannya. Pak Minta meletakkan suguhan sesuai dengan arahan. Setelah satu kali memutari meja, ia meninggalkan kami dengan begitu sopan.

Aku ingin langsung meraih cangkir kopi di depanku, tapi kedua tanganku terasa begitu berat untuk digerakkan. Hari ini seharusnya adalah hari yang indah, dan segala sesuatu yang menyenangkan seharusnya membuat waktu bergulir cepat. Namun, entah mengapa pertemuan ini justru terasa berjalan begitu lambat.

“Inti dari acara yang akan kita buat nanti adalah live on air di program Dear Radio,” laki-laki bertubuh tambun itu kembali melanjutkan. “Kami akan menyediakan booth khusus sebagai tempat pengganti studio siaran. Letaknya akan berdekatan dengan panggung utama supaya dapat spot terbaik. Saya belum bisa memastikan apakah di bagian depan atau di bagian samping panggung. Nanti akan ditinjau ulang setelah tim venue menyesuaikan akses dan alur keluar-masuk. Yang jelas, pengunjung akan langsung bisa melihat live studio siaran begitu mereka memasuki gerbang, atau bahkan langsung menitipkan surat yang mereka bawa untuk dibacakan langsung oleh penyiarnya seperti awal cerita di Pondok Bambu dulu.”

Ia bergantian menatap Kakek dan Pambudi Setiawan setelah mengatakan hal itu. Sesaat kemudian aku menyadari jika semua pandangan tertuju kepadaku. Aku bergeming, mencoba tetap bersikap tenang dengan menatap lurus sambil melempar sebuah senyuman. Kebodohanku bertambah satu.

Itu adalah arah yang tepat menuju Eva duduk!

Aku melihat sekilas bahwa Eva balas tersenyum sebelum aku mengalihkan wajah kembali ke monitor, dan kejadian itu membuat kedua kakiku semakin tidak bisa berhenti gemetar.

“Kita juga sudah mulai melakukan pendekatan dengan pihak penerbit. Sejak H-7 acara, kita akan mulai menampung surat-surat yang dikirimkan. Surat-surat terbaik yang sudah terkumpul akan dijadikan kompilasi ke dalam satu buku yang baru, Dear Radio jilid 2: Love Cinta. Untuk itu, nanti Mbak Eva di sini yang akan ikut mendampingi penyiar dan produsernya untuk memilah surat-surat yang pantas masuk ke tahap kurasi sampai hari H.”

Semua mata tertuju pada Eva yang tersenyum setelah dirinya diperkenalkan. Aku menatap Kakek, dan ia hanya balas menatapku dengan raut wajah penuh arti sambil mengedikkan bahu.

Napasku tertahan.

Duniaku gelap!

Duniaku gelap!

 

***

 

“KE toilet ya? Dasar!” Stella langsung mencecar saat menemukanku di balkon belakang. Ia sengeja menekan kata “toilet” yang diucapkannya. “Kenapa kamu nggak balik lagi ke ruang rapat?”

Lihat selengkapnya