Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #16

PLAYLIST 15: AYAH DARI IBU

SAAT membuka pagar, Bi Neng langsung menyambutku di halaman depan. Basa-basi, aku mengatakan padanya bahwa rajin sekali sudah berkebun sepagi ini. Bi Neng justru membalas bahwa sekarang sudah cukup siang, sedangkan ia sudah jauh lebih pagi lagi ketika memulai ritual bersih-bersih. Aku cengengesan mendengar tanggapannya, lalu menanyakan keberadaan Kakek. Bi Neng menjawab sambil menawariku ingin dibuatkan minum apa. Kubilang ingin kopi hitam, lalu melangkah mengikuti Bi Neng masuk ke dalam rumah.

Bentuk rumah Kakek cukup unik jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Bangunannya masih mempertahankan gaya Belanda dengan genting tanah liat yang menjadi ciri khas, dan wangi fermentasi kecap yang berbaur dengan udara di sekitarnya membuat rumah ini terlihat begitu mencolok jika dilihat dari luar. Langkah kakiku membawaku ke ruang tamu paling bersejarah di hidupku. Begitu masuk, aroma perabot klasik dan lantai kayu yang menguar langsung menyambut. Tidak banyak perubahan yang terlihat sejak kali terakhir kutinggalkan rumah ini.

Aku melanjutkan langkah menuju lantai dua, menaiki anak tangga kayu di sudut ruangan, melewati lorong dan masuk ke dalam kamar yang dulu pernah kutempati. Tidak ada yang berubah. Ah, rindu sekali rasanya. Wangi ruangan ini masih sama seperti dulu, wangi khas pohon cemara.

Aku duduk di atas kasur dan mengintip ke luar jendela. Halaman rumah Kakek begitu luas dan dipenuhi tanaman-tanaman indah. Jika Ibu datang ke kota ini, ia pasti akan meluangkan waktu untuk mengurus tanaman bersama Bi Neng. Kalau ada tanaman yang bagus, Ibu juga akan membawanya pulang untuk ditanam kembali di rumahnya seperti waktu itu.

Tak beberapa lama setelah kejadian invasi makhluk Mars saat itu, keadaan di kampung halamanku berangsur membaik. Ibu membawaku pulang untuk kembali bekerja, dan aku kembali bersekolah seperti biasa. Namun, aku selalu saja merengek dan meminta Ibu untuk cepat-cepat kembali ke rumah Kakek. Aku rindu Kakek, kataku. Aku rindu jajanan kota itu, kataku lagi. Aku ingin pindah sekolah di kota Kakek saja, dan alasan terakhirku itu semakin tidak bisa diterima.

Ibu menyerah, lalu mengadu pada Ayah. Ayah hanya mengatakan bahwa kita bisa mengunjungi Kakek setiap libur lebaran. Aku tidak puas dengan jawaban itu dan merajuk. Supaya menjadi pengungsi sekali lagi, aku berpikiran untuk membakar rumah.

Bercanda.

Aku memberi ultimatum tidak ingin pergi sekolah.

Sebagai gantinya, berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar dan baru keluar jika hanya merasa lapar, ingin buang air, atau mandi. Ibu menyampaikan kepada ayah kalau aku ingin punya pemutar radio seperti di rumah Kakek. Ayah tidak mengabulkan. Katanya aku masih terlalu kecil dan radio bisa membuatku malas. Aku tidak terima alasan itu, dan aku putuskan akan benar-benar mogok sekolah.

Namun, kabut asap kembali muncul saat aku naik kelas lima SD. Sekolahku kembali diliburkan, semua kegiatan di luar rumah ditiadakan. Situasi mencekam lagi-lagi menghantui. Bayang-bayang roket yang memelesatkan gas beracun kembali menyerang. Aku bertanya kepada Ibu, memastikan kalau invasi makhluk Mars yang pernah kudengarkan di rumah Kakek benar-benar hanya cerita rekaan.

Kata Ibu, kabut asap di kampung halamanku adalah akibat pembakaran hutan yang dilakukan orang-orang serakah dan tak bertanggung jawab. Demi keuntungan sesaat, mereka mengabaikan kelestarian alam dan kesehatan manusia dengan membuka lahan secara instan untuk menghemat biaya.

Seperti tidak pernah belajar dari kesalahannya, keputusan bodoh itu lagi-lagi mendatangkan bencana besar. Ratusan ribu hektar lahan yang sengaja dibakar menjadi semakin tak terkendali, bahkan apinya terus menyebar sampai ke daerah lain. Dampaknya bahkan bisa dirasakan sampai ke Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Filipina, sebagian Australia.

Bandara domestik dan internasional di beberapa provinsi sampai-sampai ditutup karena landasan pacu diselimuti kabut tebal berwarna hitam pekat. Keadaan itu terus berlangsung selama tujuh bulan. Puncaknya, pesawat terbang Airbus 300 GA 152 jatuh di ladang warga. Seluruh penumpang dan kru pesawat yang berjumlah 234 orang tidak selamat. Dan itu menjadi kebakaran hutan dan lahan terparah sepanjang sejarah.

Oke, aku benar-benar bercanda saat berpikiran untuk membakar rumah.

Saat itu keluargaku kembali mengungsi ke tempat Kakek. Meskipun di tengah suasana bencana, tapi aku merasa senang bukan main. Ayah juga ikut karena Ibu yang meminta. Dan itu adalah kali pertama aku akan melihat tiga generasi keluarga Rubinsa berkumpul bersama.

Aku tidak sempat memerhatikan kecemasan yang tidak biasa muncul pada wajah Ayah di sepanjang perjalanan. Pikiranku sudah lebih dulu menerawang jauh ke ruangan pribadi Kakek yang membuatku semakin tidak sabar ingin cepat-cepat tiba di sana. Sampai akhirnya kejadian mengejutkan itu terjadi di depan mataku, dan semuanya terjadi begitu cepat.

Kakek meninju Ayah tepat di wajahnya sesaat setelah mereka bertemu, bahkan hal itu terjadi sebelum kami menginjakkan kaki di halaman depan rumah. Itu pukulan yang sangat keras, Ayah sempat mengerang kesakitan sebelum akhirnya tersungkur ke tanah. Aku tidak mengingat bagaimana reaksi Ibu setelah ia menjerit histeris, sementara aku ikut-ikutan menangis karena isi bungkusan permen Yupi yang kupegang berceceran ke tanah.

 

***

 

PINTU kamar diketuk dan membuyarkan perjalanan waktuku. Kakek masuk sambil berkata kopi di atas meja makan sudah dingin karena sejak tadi dibiarkan. Kebiasaan, jadi sekalian saja dibawakan ke kamar. Aku segera beranjak dari kasur untuk memeluk Kakek. Ia tertawa, mengusap dan menepuk punggungku, lalu sedikit mengomel karena kopi yang ia pegang hampir saja tumpah karena perbuatanku.

“Kapan terakhir kau ke rumah?” Kakek bertanya setelah kami duduk di atas kasur.

Aku mengedikkan bahu. “Beberapa tahun lalu, mungkin? Kangen juga main ke sini.”

Kakek tertawa. “Dulu, saat Eva masih sering ke sini dan bermain dengan Semu, suasana di rumah terasa lebih ceria.”

Aku menghela napas. “Yah, keadaan sudah berubah ….”

“Kau sempat berbicara dengannya?”

“Kami sempat ngobrol banyak di acara off air Dear Radio.”

“Oh ya? Bagaimana kabarnya sekarang?”

Sudah pasti Kakek menanyakan kabarnya. Biar bagaimanapun, Eva pernah menjadi orang yang begitu dekat dengan Kakek. Bahkan Eva sudah dianggapnya sebagai cucu perempuan kedua setelahku.

“Berulang kali Eva bilang kalau dia bahagia ….” Kucoba menjawab sewajarnya,

Tiba-tiba Kakek tersenyum, wajahnya terlihat seperti ingin menggodaku. “Aku mencurigai pernyataan bahagia yang ditekan berulang kali.”

“Aku juga bilang hal yang sama ke dia.”

“Menurutmu, dia benar-benar bahagia?”

Aku mengedikkan bahu. “Aku nggak tahu, Kek. Aku juga nggak mau tahu.”

Wajah Kakek tampak semakin tertarik untuk menggodaku. “Benarkah?”

“Aku serius ….” Kujawab sambil memalingkan wajah ke arah jendela.

Kakek tersenyum tipis setelah menepuk punggungku. “Yah, Kakek juga pernah muda sepertimu. Meski cara sekarang berbeda dengan zaman dulu, tapi sedikit banyak aku mengerti. Lagi pula, wajahmu sekarang ini terlihat sama persis dengan wajah yang kulihat saat kau diam-diam menyembunyikan masalah dengan Eva waktu itu.”

Tadinya aku ingin menggeleng. Namun, setelah menyesap kopi, kepalaku justru mengangguk pelan dengan sendirinya. “Yang Kakek mengira aku kecanduan obat?”

Ia mengiakan dan tertawa. “Lalu, saat itu obrolan kalian berjalan baik?”

Aku ingin mengangguk, tetapi aku sendiri ragu apakah saat itu berjalan baik atau buruk.

Lihat selengkapnya