“FARUQ, kalau kamu pikir mau membuat aku terkesan dengan cara seperti ini, kamu salah besar. Aku lebih menyukai laki-laki yang punya lebih banyak sopan santun daripada harta dan jabatan. Punya lebih sedikit istri juga kalau bisa.”
Langkahku terhenti ketika tidak sengaja mendengar ucapan itu keluar dari mulut Stella. Aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk menampakkan diri dan menghampirinya. Haruskah aku membiarkan mereka untuk dapat menggunakan waktu bercakap-cakap lebih lama? Atau sebaiknya kuteruskan niatku pergi berbelanja dan meninggalkan mereka? Aku terperangkap dalam situasi yang benar-benar canggung. Terutama karena tubuhku sudah kelihatan separuh dari balik dinding ketika pandangan Stella menangkap gerakanku.
Ini tidak bagus.
Sekilas, kuarahkan pandangan ke sekitar. Tempat ini sudah mengalami begitu banyak perubahan sejak terakhir kali kudatangi. Meski begitu, bangunannya tetap mempertahankan konsep setengah terbuka, membuat udara dingin di luar pada sore kali ini bebas menyelinap masuk sebanyak apa pun yang ia butuhkan.
Namun, aku tidak menyangka jika area parkiran rubanah tempatku dan Eva bertengkar hebat kini menjadi tempat bagi toko-toko baru. Bahkan sekarang terdapat eskalator naik tak jauh dari pintu masuk, sehingga pengunjung tidak perlu repot-repot mengambil jalan memutar untuk menuju ke lantai atas. Aku jadi bertanya-tanya, apakah pusat perbelanjaan yang ingin kutuju masih berada di tempat biasa?
“Maaf aku terlambat, tadi agak macet di bawah jalan layang,” aku tersenyum ramah.
Tentu saja aku langsung menghampirinya.
“Hai!” Stella menyambutku, nada suaranya berubah nyaring dan terdengar ceria. Ia menepuk-nepukan kursi di sebelahnya sambil menatapku. “Sini, duduk!”
Aku belum melakukan pergerakan ketika laki-laki bernama Faruq itu mendesah kesal, seakan-akan sesuatu baru saja merusak momennya.
“Faruq jauh-jauh datang ke kota ini buat ketemu Stella,” laki-laki itu memberi tahu. “Stella gabung dengan Faruq di meja VIP, yuk? Faruq punya beberapa botol anggur dingin yang bisa kita minum sambil ngobrol-ngobrol.” Lelaki bernama Faruq itu menatapku, meski kata-kata itu ditujukannya kepada Stella.
Stella tersenyum tipis. “Sana, balik ke meja VIP kamu,” ucapnya, dan itu bukan sebuah permintaan. Itu kalimat perintah. “Aku lebih menyukai suasana yang lebih banyak terbuka daripada nanti dituduh jadi pelakor.”
Beberapa detik berikutnya menjadi beberapa detik paling canggung yang pernah kulihat terjadi antara dua orang. Faruq mengulurkan tangan untuk bersalaman, sementara Stella bergerak mundur, menghindarinya.
“Nanti Faruq telepon Stella, ya.” Laki-laki itu menegakkan tubuh dan menegapkan posisi bahu sebelum berbalik badan untuk kembali ke tempatnya semula. Dan ia sama sekali tidak melihat ke arahku.
Sesuatu yang merusak momennya adalah aku?
Meski begitu, aku tetap melemparkan senyum kepadanya sampai punggung laki-laki itu menjauh.
“Apa-apaan Faruq-Stella barusan?” tanyaku, setengah tertawa mengejekknya begitu mengambil tempat duduk.
Stella geleng-geleng kepala menutupi rasa malu. Ia langsung mengerti jika pertanyaan yang kumaksud bukan hanya sekadar nama, tetapi juga mencoba mengurai kejadian barusan dengan percakapan yang tidak sengaja kudengar sebelumnya.
“Dia mantan yang pernah aku ceritain ….”
Kepalaku mengangguk, mengisyaratkan masih mengingat percakapan kami malam itu. “Waktu Faruq masih jadi pacar Stella, ya?” sambungku, sengaja memberi penekanan untuk menggodanya ketika mengucapkan kedua nama itu. Aku tertawa geli membayangkan cara mereka berkomunikasi di masa lalu.
“Udah, ih!” Stella menampar lenganku. “Kalau dingat-ingat lagi, rasanya menjijikkan! Astaga! Hubunganku di masa lalu ternyata sesuram itu!”
Aku kembali mengakak. Sekilas, kuperhatikan rambut baru Stella dengan model long layer berwarna hitam dan dibiarkan jatuh di atas dadanya. Rambut yang terlihat begitu lembut. Rambut yang mengeluarkan wangi khas minyak esensial beraroma apel hijau di sekitarku.
Rambut yang membuatku menelan ludah sejak pertama kali melihatnya.
“Padahal dia udah nikah,” Stela memberi tahu lagi, membuat kesadaranku kembali ke tempat yang seharusnya. “Tapi masih centil sana-sini. Aku jadi kasihan sama istrinya.”
Sambil memasang sikap waspada terhadap tamparan susulan, aku berkata, “Mungkin rambut baru kamu bikin dia klepek-klepek.”
Siku Stella bergerak ke atas meja, kemudian ia menopang dagunya dan tersenyum begitu lebar kepadaku. “Menurut kamu, rambut aku yang sekarang bagus?”
Aku menelan ludah, kemudian mengangguk pelan.
Ia menyipitkan mata, dan senyumnya bertambah lebar bersamaan dengan suara “Hmm” bernada menggoda keluar dari mulutnya yang tertutup rapat.
Seorang pramusaji mendatangi mejaku, menyelamatkanku dari situasi yang hampir saja terasa canggung. Kuminta segelas kopi hitam kepadanya, sedangkan Stella memberinya satu gerakan tangan pertanda tidak ingin menambah pesanan.
“Dia itu selalu menemuiku kalau ada maunya.” Stella kembali berkata begitu pramusaji itu meninggalkan kami. Suaranya terdengar kembali seperti biasa.
Stella tahu masa laluku bersama Eva. Ia tahu semua yang kami alami, termasuk penyebab masalahku putus dengannya. Tetapi aku tidak pernah menceritakan hubunganku dengan Karin di masa lalu. Ingin kukatakan bahwa aku juga mengerti dengan apa yang ia rasakan karena pernah berada di posisi yang sama. Aku memilih diam, kurasa menambahkan fakta yang tidak perlu dihadirkan adalah langkah yang tepat.
“Sebelum kamu datang, kami sempat mengobrol,” ia justru memberitahu. Aku tidak yakin mengapa Stella merasa harus menjelaskan hal itu terlebih dahulu padaku. Menambahkan fakta yang tidak perlu dihadirkan ternayata tidak dapat dilakukan semua orang. “Tahun ini dia mau mencalonkan diri jadi anggota legislatif di kotanya dan butuh bantuanku.”
Alisku naik satu. Dan pertanyaan “Kenapa seorang caleg butuh bantuan dari produser siaran?” meluncur begitu saja dari mulutku.
Stella menatap mataku, kemudian tertawa. Aku pura-pura ikut tertawa mengikutinya, meskipun caranya tertawa yang begitu manis itu tidak menjelaskan apa-apa.
“Ya ampun, aku lupa!” serunya lagi. “Aku belum cerita sebanyak itu, ya?”
Aku mengedikkan bahu. “Dia minta kamu bikin materi kampanye offline?”
Lagi-lagi Stella terbahak-bahak mendengar pertanyaanku.
Sialan! Itu sama sekali tidak membantuku memahami situasi!
“Tapi, serius. Aku jadi penasaran, deh,” cecarku.
Stella merebahkan punggung pada sandaran kursi sambil memutar bola mata untuk memberi jeda. Ia kemudian berkata, “Kamu mau tahu apa?”
Kuhela napas dalam-dalam untuk mencerna reaksinya barusan. Kepalaku dengan cepat memikirkan kata-kata yang mungkin jika kutanyakan tidak akan memberi kesan terlalu ingin mencari tahu. Apabila sekelas seorang calon anggota legislatif meminta bantuannya, kurasa Stella bisa mendapatkan jenis pekerjaan dengan jabatan lebih baik ketimbang sekadar menjadi seorang produser siaran.
Aku mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam saku untuk mengisi keheningan, kemudian menyalakan sebatang sebelum berkata, “Karena kamu kebetulan membahas belum cerita banyak, aku jadi kepikiran alasan kamu memilih bekerja di radio.”
Stella tidak langsung menjawab, dan kembali tersenyum mendengar pertanyaanku. Keheningan sesaat ini membuat alunan musik yang mengalun dari pengeras suara di langit-langit semakin jelas terdengar.
“Aku suka musik.”
Aku mengisap rokok, lalu mengembuskan asapnya dengan perlahan. “Jawaban itu terlalu umum. Kenapa kamu nggak jadi musisi? Atau jadi road manager[1] artis?”
“Aku nggak bisa nyanyi atau main alat musik, Timur. Aku cuma suka mendengarkan musik.”
“Kamu bisa mendengarkan musik di mana aja, nggak harus menjadi produser siaran.”
“Emangnya kenapa, sih? Kamu nggak suka kalau aku jadi produsernya kamu?”
Aku tertawa. “Maksudku bukan begitu ….”
“Oke, aku ralat. Aku suka kekuatan di dalam musik.”
“Kekuatan musik?”
Stella mengangguk. “Musik bisa membawa aku ke satu momen tertentu. Entah itu menyenangkan, menyedihkan, atau sekadar hal konyol yang aku lakukan di masa lalu.”
Aku hampir tersenyum ketika mendengar hal itu, tetapi tidak jadi kulakukan. Mengetahui Stella juga memiliki pemikiran yang sama soal konsep mesin waktu dari hal-hal sederhana menimbulkan sensasi hangat di dalam dadaku. Perasaan menyenangkan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Aku justru semakin ingin menggodanya. “Seperti momen adegan Faruq-Stella yang sialnya harus aku lihat barusan?”
Dan lagi-lagi ia tertawa.
“Udah, ah! Kamu nyebelin!” Stella mencoba menyatukan diri meski napasnya masih tersengal menahan sisa tawa. “Skip aja. Dia juga nggak sepenting itu, nggak usah dibahas lagi. Aku sampai lupa mau kasih tahu kamu hal yang lebih penting.”
Kopi pesananku datang tidak lama kemudian. Sistem orbit semesta Stella kembali bekerja secara naluriah ketika pramusaji itu kembali menanyakan apakah ada pesanan tambahan dan mengulur waktu selama mungkin untuk bisa berada di dekatnya. Stella yang menyadari hal itu menjawab “tidak” dengan sopan dan tersenyum. Seketika, pramusaji itu meninggalkan kami kembali dengan tenang.
Aku langsung meraih gelas kopi dinginku dan menyesap isinya.
“Tadi aku dihubungi perwakilan penerbit di Ibu Kota,” Stella menyuap potongan salad buah terakhirnya, kemudian berkata, “Dalam minggu ini, mereka akan mengirimkan salah satu orang dari tim redaksi untuk mendampingi kita mengumpulkan surat. Atau bisa jadi malah aku yang berangkat ke sana buat tektokan.”
“Bukannya buku pertama nggak perlu sampai repot-repot begitu, ya?”
“Katanya kali ini mau membuat sesuatu yang berbeda. Peringatan setengah abad harus meninggalkan kesan lebih daripada buku sebelumnya.”
“Hal lebih apa yang bisa dibuat dari kumpulan surat?”
Stella mengedikkan bahu, kemudian menghabiskan sisa teh lemonnya. “Mereka nggak bilang. Kita akan segera tahu kalau udah ketemu dengan orangnya dalam waktu dekat.”
Aku mengangguk pelan, kembali menyesap kopi hitam.
Ia merogoh bungkusan rokok dari dalam tas jinjing di pangkuannya, lalu menyambar korek yang kuletakkan di atas meja untuk menyalakan rokok. “Sebelum ke sini, tadi aku juga sempat ikut rapat internal di kantor,” Stella mengembuskan asap rokoknya. “Tema dan beberapa ide kreatif untuk acara ulang tahun Dear Radio nanti udah diputuskan.”
“Oh ya? Apa?” tanyaku sembari meletakkan gelas kopi ke atas meja.
“Mesin waktu.”
Aku menelan ludah. “Mesin waktu?”
Stella mengangguk. “Idenya adalah mengajak Dearest untuk bernostalgia melalui lagu-lagu klasik yang pernah populer di masa jaya Dear Radio hingga sekarang.”
Sengaja menggabungkan nuansa masa lalu dengan kesegaran masa kini agar tiap generasi bisa menikmati? Ide yang bagus!