Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #18

PLAYLIST 17: BERBICARA JODOH

GENAP empat hari kulewati waktu-waktu siaranku tanpa kehadiran Stella. Kelihatannya, jam kerja Stella di luar ruang siaran semakin bertambah banyak seiring hari acara perayaan ulang tahun Dear Radio yang semakin dekat. Meskipun rasanya menyenangkan sesekali memiliki ruang siaran untuk diriku sendiri, tapi rasanya memang jauh lebih menyenangkan jika Stella ada sampingku untuk diajak mengobrol.

Stella tidak membalas pesan pendek terakhirku. Percakapan pesan kami terhenti setelah aku mengomentari kiriman foto yang memperlihatkan ia berbaring di atas kasur dengan seprai baru. Setelah kubalas pesannya dengan mengatakan warna itu sangat cocok dengan boneka Sulley Sullivan seukuran tubuh anak kecil di sebelahnya, Stella menghilang. Ah, tidak. Mungkin ia hanya terlalu sibuk mengurus pertemuan dengan pihak penerbit di Ibu Kota sehingga belum sempat membalas pesanku. Aku juga tidak ingin mencecarnya dengan rentetan pesan pendek susulan, dan bisa kupastikan hal itu merupakan langkah bodoh yang tak akan pernah kulakukan.

Namun, tiba-tiba pagi ini notifikasi tanda pesan baru dari Stella masuk ke ponselku. Dan entah mengapa aku menjadi begitu terburu-buru ingin menggeser layar ponselku dan membaca isi pesannya. Stella tahu bahwa hari ini adalah jadwal libur siaranku, jadi ia memberitahu sedang dalam perjalanan pulang dari Ibu Kota dan mengajakku bertemu. Tanpa kusadari, pipi bagian atasku menegang karena tersenyum.

Katanya, kali ini aku yang harus memilih tempat karena ia sudah melakukannya pada kencan kami yang sebelum-sebelumnya. Aku tertawa ketika Stella sengaja menyebut hal itu dalam bentuk jamak dan aku tidak bisa menyangkal karena ia benar. Kusebut sebuah nama tempat kopi langgananku di salah satu sudut di jalan Gandapura, Stella kemudian membalas pesanku dengan “Boleeeh” setelah membuka Instagram dan mengecek lokasinya.

Aku sengaja datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan karena kembali kesulitan tidur. Namun, kali ini, bukan Eva yang menjadi penyebab gejala susah tidur yang semalam kualami. Aku mengambil tempat duduk di kursi favoritku, dan kopi pesananku datang tak lama kemudian. Aroma kopi yang khas menggoda seketika menyambar penciumanku. Abdul—teman satu kampusku dulu yang menjadi barista di sini—tidak langsung kembali ke tempatnya semula, ia justru menarik kursi dan duduk di hadapanku. Aku tidak tahu hal apa yang membuat laki-laki berambut gimbal itu tampak begitu antusias ketika tatapannya menangkap wajahku.

“Kau ke mana aja, nyet?” Ia bertanya tanpa basa-basi dengan nada menggoda. “Sombong banget nggak pernah main ke sini lagi.”

Aku meraih gelas Americano dingin di hadapanku sambil tertawa, kemudian menyesap isinya dengan perlahan. “Duh, beans Arabica Typica di sini rasanya memang juara, ya?”

Ia ikut tertawa. “Nggak usah pakai basa-basi, nyet!”

Aku mengeluarkan sebungkus rokok dan meletakkannya di atas meja. “Padahal masih jam delapan pagi. Sekarang di sini makin ramai, ya?”

Ia meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang dan menyulutnya. “Kata pelanggan tetap yang dulu selalu datang dari pagi sampai tutup.” Abdul tertawa setelah mengembuskan asapnya. “Yah, pelanggan datang dan pergi. Tapi untungnya tempat kopiku gampang move on.”

Berengsek.

Aku tertawa, lalu menyulut sebatang rokok. “Harusnya aku udah jadi investor, nyet. Bukan pelanggan lagi namanya kalau setiap hari mengeluarkan uang di sini.”

Laki-laki berambut gimbal itu tertawa. “Donatur.”

“Abdul, Abdul,” aku terkekeh dan menggeleng. “Bukannya kau waktu itu mau membuat konsultan pendakian? Kenapa sekarang malah mengurus kedai kopi?”

“Rencana awalnya memang begitu. Tapi setelah musibah di gunung Slamet waktu itu, aku langsung berpikiran pensiun dari mendaki.”

“Ah. Aku turut berduka ….”

Abdul mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Terakhir aku mendaki di Palintang. Aku nggak sengaja ketemu dengan pemilik kebun kopi ini, kami ngobrol banyak soal proses pengolahan kopi dari hulu ke hilir, dan di sinilah aku sekarang.”

“Kalau nggak salah, kalian sempat naik ke puncak Carstensz, kan?”

Abdul mengisap rokok di sela jemarinya, lalu terdiam. Tatapannya tidak bergerak saat memandangi embun dingin pada permukaan gelas Americano di depanku. “Carstensz itu pendakian yang dibayar sponsor besar. Aku melakukannya sekaligus menebus kesalahanku kepada anak-anak yang lain. Berita baiknya, perjalanan kami ke sana dijadikan buku.”

“Kau yang menulis?”

Abdul menaikkan pandangan, matanya tampak berbinar ketika menatapku. “Iya.”

“Pantas nggak laku.”

Ia tergelak. “Si Goblok!”                   

Aku ikutan mengakak.

Semilir angin berembus, menyapa dedaunan pohon mangga berukuran besar yang menaungi halaman depannya. Tempat ini memang selalu terasa lebih sejuk di pagi hari sejauh yang bisa kuingat.

“Tumben kau sendirian ke sini?” ia bertanya lagi.

“Aku sedang menunggu orang.”

Teman?”

“Iya, teman.”

“Teman perempuan?”

Aku mengagguk. “Produserku, lebih tepatnya.”

“Urusan pekerjaan?”

Aku mengangguk lagi.

“Orangnya lucu, nggak? Kenalin, dong?”

Aku terkekeh. “Terakhir aku lihat postingan di Instagram, kau itu mau menikah, nyet. Kenapa masih centil? Lagian, dia itu terlalu cantik untuk kalau buat kau, idolanya satu Jawa Barat.”

“Sialan! Kau pikir aku kurang ganteng?”

“Bukan kurang ganteng, sih. Tapi terlalu banyak jeleknya.”

Kami berdua cekikikan setelah ia berkata “Iya, benar lagi” dengan pelan dan menampar lenganku satu kali.

“Mana undangannya? Aku diundang, nggak?” Kucoba menggeser arah percakapan.

“Nanti aku kasih link, ya. Undangan sekarang bisa online. Lumayan hemat ongkos karena nggak harus dicetak. Seharusnya minggu ini udah dikirim, sih. Sebentar, aku tanya dulu orangnya.”

Aku mengangguk sambil mengisap rokok, membiarkannya membuka ponsel dan menghubungi orang yang ia maksud.

“Terus, kenapa dia nggak kau pacari?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur dari hadapanku dan hampir membuatku tersedak asap yang kuhela di tenggorokan.

Wow. Pertanyaan yang bagus!

“Eh, nyet. Kau itu paham konsep idola satu Jawa Barat, nggak? Kelasnya di luar jangkauan orang pendatang sepertiku, seperti kita! Cuma minum kopi kok malah halu?”

Giliran temanku yang tergelak. “Loh? Memangnya kenapa kalau dia punya banyak penggemar laki-laki di Jawa Barat? Kau nggak sadar kalau kau itu juga banyak penggemarnya? Kau itu juga idola perempuan di kota ini, nyet! Cocok, lah!”

Aku terdiam. Lagi-lagi aku sedikit kesal mendengar tanggapan yang seperti itu. Tapi lagi-lagi aku tidak berhak merasa kesal karena ucapannya mengandung kebenaran dan aku baru saja menyadarinya.

Memangnya kenapa kalau banyak yang mengidolakan Stella?

Perkataan Stella pada malam itu kembali terngiang di kepalaku. Eva terlalu membuatku sibuk hingga tidak menyadari hal-hal kecil di sekitarku. Bahkan, aku masih tidak menyadari apa-apa setelah mengetahui hal penting yang pernah Akmal ucapkan di ruang siaran menjadi kenyataan. Perkataan Abdul barusan meleburkan keduanya, sebuah fakta penting yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.

Bukankah menjadi idola juga yang menjadi penyebab Eva dan aku bertengkar hebat di masa lalu?

“Eh, buset! Ngobrol lagi, dong! Kalau berduaan di tempat kopi diam-diam begitu, kita kayak sepasang kekasih yang salah satunya ketahuan selingkuh!”

“Kampret!”

Lihat selengkapnya