EVA duduk membelakangi jendela, cahaya pagi yang menerebos dari luar membuat siluetnya tampak bercahaya. Tapi, hal itu tidak lagi membuatku gugup seperti awal pertemuan kami di taman waktu itu. Kopi susu Gandapoera pesanan Eva datang tak lama kemudian, dan Abdul tersenyum hangat padanya setelah mengantarkan pesanan. Ia kemudian melirik ke arahku dengan senyum penuh arti. Aku hampir saja mengumpat kepada temanku itu, tetapi tidak jadi. Aku takut Eva akan kembali merasa tidak nyaman oleh sikap kasarku seperti waktu itu. Aku memilih menyumpahi temanku dalam hati.
“Stella yang minta aku ke sini,” Eva memulai percakapan. Ia membuka sedotan dan menyesap minuman setelah terlebih dahulu mengaduknya. “Katanya, pihak penerbit mau membahas konsep buku Dear Radio jilid dua, jadi harus ketemu langsung dengan perwakilan EO dan radio.”
Aku menyesap Americano dingin di depanku, meskipun sebenarnya aku tidak merasa haus. Aku meminum kopi untuk membantu pikiranku mencerna situasi.
Sialan.
Apa yang ingin ditunjukkan Stella dengan sengaja mengatur pertemuan ini?
“Kukira kamu langsung kembali ke Ibu Kota?” tanyaku, sembari meletakkan gelas kembali ke atas meja. Setelah pertemuan di dapur waktu itu, aku mulai memahami bahwa basa-basi tidak perlu dihadirkan dalam percakapan ini.
Eva menggeleng. “Kalau ke kota ini, aku bisa sekalian pulang ke rumah.”
Aku menyalakan rokok dan mengangguk. Tadi, ada penekanan pada kata “pulang” yang ia ucapkan. Tapi aku tidak ingin terlalu besar kepala dengan menganggap kata itu bisa juga ditujukan padaku. Aku mengembuskan asap rokok agar semuanya terlihat biasa saja.
Sebungkus rokok putih mentol ia rogoh dari dalam tas kecilnya, Setelah menyulut api, ia mengembuskan asap rokok dengan perlahan.
“Udah berapa tahun kita nggak ke sini, ya?” Pertanyaan itu justru keluar dari mulutku.
Pertanyaan basa-basi!
“Udah lama banget!” Yang mengejutkan, Eva justru tersenyum. Nada suaranya juga terdengar lebih ceria. Setelah mengembuskan asapnya, ia berkata lagi, “Terakhir ke sini, kalau nggak salah kita datang bareng sepupuku, si Eca. Kamu masih ingat?”
Aku terkekeh.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa?
Tapi tidak mungkin kukatakan langsung seperti itu. Aku justru mengatakan, “Bukannya solat tarawih, kita malah ke sini setiap malam buat main ludo.”
Eva tertawa. “Si Eca kalau gabut memang suka ngide yang aneh-aneh! Kalau mau cabut dari rumah dan nggak ke mesjid, harus pake kode-kodean segala.”
Giliranku yang tertawa. “Kode kalau mau pergi, mau bungkus nasi angkringan, kan? Kalau nggak pergi, nggak dibungkus!”
Kami berdua cekikikan.
“Eca di mana sekarang?”
“Jadi guru di Pangandaran ….”
Lagi-lagi kami terpingkal-pingkal. Aku sampai sakit perut menahan tawa ketika membayangkan sosok sangar sepupunya Eva menjadi guru dari anak-anak sekolah.
“Tapi dia itu kalau berbicara lembut, kok,” sambungnya, lagi-lagi bisa membaca isi kepalaku. “Kayak kamu ….”
“Aku yakin Eca bisa jadi guru yang hebat di sana.” Kucoba membanting arah percakapan. Sebisa mungkin aku ingin menghindari topik percakapan yang menyulut perasaanku jika berhadapan dengan Eva. Ah, tidak. Aku harus menghindari jenis topik percakapan yang menjurus.
“Oh ya, tentang yang waktu itu.” Wajah Eva terlihat ragu-ragu setelah mengatakan hal itu. Ia sempat mengalihkan pandangannya ke arah meja kosong di sebelah sebelum kembali menatapku.
“Yang waktu itu?” Aku mengernyitkan dahi, mencoba memastikan hal yang ia maksud.
“Tentang keluargaku, kita sempat membahasnya sewaktu di dapur.”
Aku memutar bola mata untuk terlihat berpura-pura mengingatnya. Aku tidak ingin memberi kesan bahwa setiap hal yang berhubungan dengannya pasti selalu terekam baik di dalam ingatanku. Aku ingin memberi kesan bahwa topik tentang keluarga yang waktu itu ia bicarakan sama sekali tidak menarik perhatianku.
“Aku kembali ke kota ini karena beberapa alasan. Tetapi alasan terbesarnya karena keluargaku. Ada sesuatu yang terjadi di rumah dan nggak ada satu orang pun yang mau cerita. Aku jadi bingung ….”
Kenapa aku mendadak merasa lega jika hal itu bukan masalah rumah tangganya?
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyaku, sediplomatis mungkin.
Eva menggeleng pelan. “Suamiku bilang, biarkan aja. Nanti juga mereka cerita sendiri. Tapi kalau menurut kamu, apa aku harus menanyakan langsung ke mereka?”
Aku mengedikkan bahu. “Suamimu yang lebih tahu. Mungkin kamu bisa mengikuti saran darinya.”
Tatapan Eva turun kembali ke arah gelas di tangannya, kemudian ia mendekatkan wajah dan menyesap minumannya.
Suasana terasa begitu hening untuk beberapa saat hingga Stella datang tidak lama kemudian. Aku benci mengakuinya, tapi lagi-lagi Stella menyelamatkanku dari keadaan genting. Ia melangkah masuk dengan diikuti seorang perempuan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku sempat terkesima saat pertama kalinya dalam seumur hidupku melihat Stella mengenakan pakaian terusan selutut. Namun, pakaian itu justru langsung mengusik pikiranku, mengingatkanku kepada sesuatu yang terasa begitu samar di kepalaku tapi tidak bisa kuingat dengan jelas.
Apa aku pernah melihat pakaian itu sebelumnya?
Stella menyelesaikan pesanan di bar dan berjalan mendekatiku. Wanita yang datang bersama Stella mengenakan kerudung dengan warna yang tampak begitu serasi dengan pakaian bernuansa cerah yang ia kenakan. Dan entah mengapa kedatangan mereka berdua membuat suasana canggung yang tadi sempat kurasakan jadi sedikit berkurang.
“Timur, Eva, perkenalkan. Ini Mbak Puji, senior editor di penerbit yang menjadi salah satu sponsor besar acara kita,” Stella mengulurkan tangannya bergantian ke arahku dan ke arah Eva. “Mbak Puji, ini Timur dan Eva yang tadi kuceritakan di jalan.”
“Haiii!” Mbak Puji tersenyum ke arah kami. “Maaf, yaaa. Waktu itu aku nggak sempat ikut rapat di kantornya Dear Radio. Habisnya ada pekerjaan mendadak di Ibu Kota. Biasalah, ibu-ibu. Suka nggak bisa ngerem dikit kalau diajak arisan. Eh? Maksudku projekan! Ahahaha.”
Aku ikut tertawa mendengar ucapannya barusan.
Orang yang menyenangkan.
Mbak Puji menarik salah satu kursi dan duduk di sebelah Eva. Stella melakukan hal yang sama dan duduk di sebelahku, tapi ia sedikit menarik posisi kursinya untuk duduk agak lebih rapat denganku. Aku dapat merasakan panas tubuhnya ketika lutut kami sedikit bersentuhan.
Untuk apa yang barusan terjadi, aku menelan ludah.