Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #20

PLAYLIST 19: PERSIAPAN KEJUTAN

SEUMUR hidupku sampai detik ini, ada dua jenis emosi yang bisa kumengerti: perasaan cinta dan perasaan benci. Aku bisa mengatasi kedua hal itu berkat Eva. Bahkan, aku pernah mengutuki ketololanku sendiri yang pernah membiarkan diriku menjadi kekasih, mantan kekasih, dan kekasih gelapnya Eva secara bertahap dalam rentang waktu yang cukup lama. Setidaknya, Eva pernah mencintaiku. Eva juga pernah membenciku. Cinta dan benci. Meskipun saling bertentangan, perasaan itu sama-sama timbul karena dorongan hati. Aku dapat mengatasinya.

Yang tidak bisa aku pahami itu jenis emosi yang ketiga: cuek.

Berminggu-minggu sejak pertemuan di tempat kopi temanku, aku dan Stella kembali bergumul dengan siaran Dear Radio seperti biasa, Mbak Puji sudah kembali ke Ibu Kota, sedangkan Eva … Aku tidak tahu keberadaan Eva. Seharusnya kerjasama kami sudah berjalan. Namun, tampaknya Stella berhasil menangani hal ini sendiri dengan begitu baik. Bukannya aku merasa lega atau apa, tapi bisa tidak bertemu terus-terusan dengan Eva justru membuatku jadi lebih fokus bekerja.

Beberapa minggu ini siaranku selalu tepat waktu. Stella juga tetap mendampingi siaranku seperti biasa, meskipun perhatiannya selalu terbagi pada laptop di depannya. Kalau sedang tidak siaran, aku kembali mengambil pekerjaan menjadi MC di luar kota. Hitung-hitung sekaligus mengumpulkan surat dari beberapa lokasi yang kudatangi. Namun, yang membuatku bingung justru sikap Stella yang tampak biasa. Ia tidak pernah menunjukkan rasa marah atau bahagia setelah kejadian terakhir di tempat kopi temanku itu. Stella bahkan tidak menunjukkan reaksi apa-apa dan tetap menjadi dirinya yang gila bekerja.

Kami memang mulai sering berkirim pesan di luar jam siaran. Aku mulai memahami gaya penulisan chat yang dikirim Stella. Aku juga mulai terbiasa melihat namanya terus-terusan muncul di layar ponselku. Bahkan, aku sudah mulai terbiasa melihat nama Stella Wardhani memenuhi daftar panggilan telepon dan kotak pesan masuk ponselku.

Namun, yang tidak bisa aku pahami adalah sikap cueknya.

Kupikir akan ada sesuatu yang terjadi di antara kami sejak saat itu. Kupikir Stella menjadi cukup tertarik denganku setelah kucium wangi parfumnya dengan cara yang tidak biasa yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Tapi aku memang tidak pernah menanyakan secara khusus tentang sikapnya kepadaku.

Orang-orang di kantor menganggap kedekatan kami menjadi lebih intens karena disibukkan oleh persiapan acara. Dalam sehari, rapat internal bisa dilakukan minimal tiga sampai empat kali. Dan terkadang hasilnya akan dibagi ke dalam sub-divisi yang akan diminta pertanggung jawaban pada rapat umum internal di akhir pekan. Seperti tujuanku dan Stella sekarang yang buru-buru melangkah demi memenuhi agenda rapat internal ke ruangan serbaguna di lantai tiga.

Aku dan Stella diperbolehkan datang terlambat setelah jam siaran program Dear Radio selesai. Kami bahkan lebih sering datang tidak tepat waktu ketika Stella mengajakku membeli kopi di luar, atau makan. Jika rencana Stella itu membuat kami terlambat, ia selalu memintaku merahasiakan dari orang-orang di kantor. Katanya, bilang saja sambil menyortir surat-surat yang semakin menumpuk. Aku tertawa mendengar alasannya, atau mungkin juga karena aku ingin menertawakan diriku sendiri yang bersikap idiot.

Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa berkata tidak kalau ia yang meminta?

“Maaf, kami terlambat!” seru Stella ketika membuka pintu ruangan. Aku mengikutinya dari belakang. Setelah kami menyapa basa-basi dan mengambil tempat duduk, rapat kembali dilanjutkan.

“Kang Maul, Yura Yunita udah confirm, ya,” Bu PR memberitahu.

“Oke. Lagian, dia nggak mungkin nolak main di acara kita, sih.”

Salah satu anak logistik bertanya, “Memangnya kenapa, Kang?”

Dahi Kang Maulana mengernyit. “Lah? Masa nggak tahu? Sebelum jadi penyanyi, Yura itu sempat siaran di sini. Dia itu alumni, loh.”

“Hah? Yang benar, kang?”

Kang Maulana mengangguk. “Iya.”

“Yura Yunita yang penyayi itu?”

“Memangnya ada Yura Yunita yang pelawak Standup Comedy?” Seisi ruangan tertawa mendengar celetukan Kang Maulana, “Kalau nggak percaya, coba tanya Stella,” cetusnya lagi. “Waktu itu Stella yang membantu mengurus semuanya.”

Stella merebahkan punggung ke sandaran kursi sambil tertawa. “Dulu Yura memang pernah siaran di sini, beberapa bulan sebelum Akmal resign. Tapi ternyata takdirnya Yura jauh lebih baik menjadi penyanyi setelah jebol di acara The Voice Indonesia dan diboyong Glenn Fredly.”

Kedua mataku menyipit, mencoba mencerna ucapan Stella barusan. Sejauh yang bisa kuingat, aku belum pernah bertemu Yura sebagai penyiar Dear Radio. Waktu aku dan Stella bergabung di sini juga nyaris bersamaan, hanya terpaut beberapa minggu saat aku masih menjadi penyiar pendampingnya Akmal.

Bagaimana Stella bisa tahu hal itu sedangkan aku tidak?

“Duh! Tau gitu aku minta foto bareng yang banyak sebelum dia terkenal seperti sekarang!”

“Eh, belum terkenal juga, memangnya Yura mau foto sama kamu?”

Seisi ruangan rapat kembali tertawa.

Aku mendekatkan tubuh ke arah Stella sambil berbisik, “Kamu tahu banyak.”

Stella terkekeh sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. “Bukan cuma bos yang boleh mencari tahu latar belakang karyawannya, kan?”

Tubuhku mendadak terasa kaku setelah mendengar jawaban itu. Kepalaku tiba-tiba berdengung. Namun, akhirnya aku berhasil mengambil alih kembali alam bawah sadarku dan mengubah posisi duduk seperti semula setelah menarik napas dalam-dalam. Aku memilih tersenyum untuk menanggapi jawabannya barusan.

“Itu tadi barusan update terakhir untuk list artis,” Kang Maulana melanjutkan. “Harusnya minggu ini ada lima artis besar lagi yang confirm, kan, Bu PR?”

Bu PR mengangguk.

“Oke, kita lanjut. Tadi stage, udah. Ticketing, udah. Perizinan, udah. Artis, udah. Sosmed, gimana?”

“Kita udah mengganti header dan profile picture semua sosial media Dear Radio dengan tema “Time Machine”, Kang. Setiap minggunya menjelang hari H, kita juga akan update video teaser weekly theme, video promo acara puncak, video yang akan tayang di TVC, promo kuis, DearPedia, DearTrivia, gimmick penyiar dan produser yang menggunakan kostum sesuai tema siaran. Untuk detail program dan timeline—”

“Oke, oke,” Kang Maulana menyela. “Intinya, sosmed udah aman, ya?”

“Aman banget, kang.”

“Cakep!”

Anak logistik kembali menyeletuk. “Wih! Stella bakalan cosplay jadi petugas kantor pos!”

“Loh? Montir, dong? Kok malah kantor pos?” Anak OB Van menyelutuk.

“Lah? Kenapa montir?”

“Udah, udah. Soal itu jangan didebat,” Kang Maulana menyahut dengan nada yang tidak kalah antusias. “Nanti saya siapkan kostum kelinci yang cocok buat Stella.”

Hampir seluruh laki-laki seisi ruangan—termasuk aku, tertawa. Aku hampir melupakan kalau seluruh pasang mata laki-laki di kantor ini memuja sosok Stella Wardhani.

“Jangan, Kang. Nanti acaranya bubar kalau aku pakai kostum yang aneh-aneh,” Stella menanggapi dengan tertawa santai.

Kang Maulana terkekeh. “Yak, ditolak. Kayaknya kalian harus mengubur cita-cita lebih cepat sebelum tercapai.”

Gelak tawa kembali menggantung di langit-langit ruangan, dan aku bersumpah mendengar celetukan “Kalian? Maksudnya kita kan, Kang?” dari belakang.

Kang Maulana mengibaskan tangan sambil melanjutkan, “Selanjutnya, OB Van.”

“Mobil udah branding keliling di beberapa titik, Kang.” Salah seorang perwakilan OB Van menjawab.

“Stiker mobil sudah diganti dengan stiker sponsor utama?”

“Udah kang.”

“Oke, keren. Selanjutnya On Air.”

Stella membuka catatan. “Surat yang kita terima mendekati hari H makin banyak, Kang. Total untuk hari ini aja udah 98 yang masuk. Surat-surat udah disortir sesuai arahan Mbak Puji dan udah mulai dicicil dikirim ke tim redaksi penerbit. Update terakhir dari Mbak Puji: premis bukunya udah ditulis.”

Kang Maulana menggeleng pelan. “Warga kita banyak masalah kayaknya.”

Seisi ruangan lagi-lagi tertawa. Tiba-tiba, salah satu anak OB Van menceletuk, “Salah satunya ada surat dari Kang Maul, kan?”

Giliran Kang Maulana yang tertawa. “Aku juga mau kontribusi, dong? Barangkali suratnya bisa masuk ke dalam buku.”

“Halah! Bilang aja sekalian curhat karena nggak berani ngomong langsung ke istri!”

“Hush!” Hardik kang Maulana. “Jangan bilang-bilang! Tahu sendiri kan kalau pergunjingan anak radio bagaimana?”

Kami semua yang ada di dalam ruangan, termasuk Kang Maulana, tertawa.

Ponselku tiba-tiba saja berbunyi dengan nada getar. Aku sempat mematikan nada deringnya sesaat sebelum masuk ke dalam ruangan karena tidak ingin mengganggu rapat. Ketika kurogoh saku celana, dan ketika melihat nama peneleponnya, aku segera bergegas keluar dari ruangan.

Lihat selengkapnya