Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang

Marino Gustomo
Chapter #21

PLAYLIST 20: PUNCAK ACARA

TEPAT satu hari sebelum hari H acara, Abah Eva meninggalkan kami selama-lamanya. Aku mengetahui kabar itu selepas maghrib, saat tidak sengaja membuka dan melihat unggahan InstaStory Eva yang menuliskan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un dengan latar belakang hitam. Aku cepat-cepat menghubungi ponsel Eva dan menanyakan hal yang sebenarnya sudah kuketahui, aku hanya ingin menunjukkan sikap bersimpati kepada musibah yang tengah ia lalui. Eva menjawab, dan aku bergegas menuju rumahnya tanpa pikir panjang begitu panggilan telepon ditutup.

Ketika mobilku berhenti di seberang jalan rumah Eva, sisa-sisa orang tahlilan masih membekas di halaman depan. Aku turun dari mobil dan berjalan lambat-lambat ke arah pintu. Langkahku berbanding terbalik dengan kecepatan detak jantungku yang semakin tak menentu. Aku sempat terhenti saat menatap pintu gerbang paling menyedihkan yang pernah kututup. Kucoba memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam untuk menyatukan diriku, kemudian kembali membuka gerbang itu dan mengucapkan salam. Seketika, seluruh pasang mata orang-orang yang berada di teras rumah Eva langsung tertuju padaku.

Jika ditanya hal mahir lain apa yang dapat dilakukan seorang penyiar saat berada di tengah keramaian, aku pasti menjawab kemampuan untuk beradaptasi. Aku tahu apa yang harus kulakukan dalam situasi seperti ini. Namun, tahu sesuatu dan melakukannya merupakan dua hal berbeda. Berulang kali terlintas pertanyaan di kepalaku ketika tersenyum membalas tatapan-tatapan itu.

Apa yang akan dilakukan kebanyakan orang jika berada di posisiku saat ini?

Apa yang akan dilakukan laki-laki lain jika berada di antara momen menyedihkan dari keluarga besar mantan kekasihnya?

Aku yakin jawabannya adalah melakukan hal yang benar dan bertanggung jawab. Tapi mengapa sekarang rasanya mendadak berat sekali?

Seharusnya situasiku sekarang tidak sesulit ini.

Sekilas, aku mengedarkan pandangan untuk mencoba mengenali wajah-wajah saudara dan kerabat keluarga Eva yang sudah tak terlihat asing lagi dalam ingatanku. Seketika hatiku diliputi ketakutan familier yang dulu hidup dan bernapas dalam diriku, ketakutan atas kecaman tuduhan dari keluarga besar Eva yang mengira bahwa hubungan kami putus karena aku berselingkuh.

Keluarga besar Evadrilla Oktaviani tampak begitu canggung ketika membalas sapaanku. Bahkan, aku bersumpah sempat mendengar adik perempuannya berceletuk “Aduh, awkward banget!” dan tertawa dari kejauhan setelah aku melambaikan tangan ke arahnya sebagai isyarat menyapa.

Segera kuhampiri Mama Eva yang tengah duduk di ambang pintu. Aku bersimpuh dan memberinya pelukan. Kuucapkan turut berduka cita atas kepergian Abah sambil mengusapkan punggungnya, semoga keluarga yang ditinggalkan bisa tabah dan ikhlas melepas kepergian Abah yang sudah tidak perlu menahan rasa sakitnya lagi. Mama Eva balas memelukku dan mengucapkan terima kasih dengan nada suara yang bergetar.

Adik perempuannya menyalami tanganku seperti yang dulu selalu ia lakukan setiap kami bertemu. Aku belum melihat Eva, kataku. Adik perempuannya memintaku duduk dan bergabung dengan seorang laki-laki di salah satu kursi teras sambil menunggunya memanggil Eva yang masih berada di lantai atas.

Aku melangkah ke kursi rotan berlengan yang dulu selalu kududuki saat bertamu ke rumah ini. Kusapa laki-laki itu dengan senyuman. Ia membalas dan tersenyum. Laki-laki itu menyalakan rokok, kunyalakan juga sebatang rokok. Kami berdua mulai berbasa-basi membicarakan tentang almarhum Abah, tentang penyakitnya, dan tentang sosoknya yang begitu dicintai banyak orang.

Eva turun menghampiriku tidak lama kemudian. Ia datang bersama Desta yang sudah tumbuh besar dan jauh lebih tinggi dari yang pernah kubayangkan. Aku tersenyum kepadanya, tapi Desta merasa asing melihatku. Mungkin ia tidak mengingatku karena pertemuan terakhir kami terjadi saat ia berusia sepuluh tahun. Atau mungkin juga karena Eva sudah beberapa kali mengenalkan laki-laki lain setelah kami berpisah, jadi wajar jika Desta tidak lagi mengingatku.

Desta menyalami laki-laki di depanku dan tersenyum. Seketika, aku menyadari siapa sosok laki-laki yang di duduk hadapanku setelah mereka bercakap-cakap.

“Desta masih ingat ini siapa?” Eva bertanya sambil menunjuk ke arahku.

Lihat selengkapnya