AKU tiba pada titik lokasi yang dikirimkan Stella sebelumnya dan melepas pijakan pada pedal gas agar laju kendaraanku melambat. Tatapanku tertuju kepada sebuah mobil putih yang tampak cukup familier terparkir di depan gerbang. Terilintas di dalam pikiranku bahwa mobil itu agak mirip dengan mobil Kakek. Dan aku benar-benar yakin bahwa itu memang mobil milik Kakek ketika mobilku berhenti tepat di sebelahnya.
Stella membukakan gerbang tidak lama setelah aku memberitahukan keberadaanku. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan ketika menghampiriku di sisi pintu pengemudi. Rasa sedih yang sempat kurasakan sebelumnya mendadak lenyap, digantikan oleh rasa bingung yang tersebar dari seluruh wajahku.
Apakah kedatanganku merupakan sebuah kesalahan?
“Berita buruk.” Stella berbisik ketika aku turun dari mobil.
Pemberitahuan itu menyita perhatianku. “Ada apa?”
“Kakek kamu marah besar!”
Loh? Kakek?
“Kenapa?” tanyaku sembari menutup pintu mobil.
Stella menggelengkan kepala, kecemasan di wajahnya tampak jelas saat berkata, “Bicaranya nanti aja, ayo kita masuk.”
Aku mengikuti langkah Stella yang berjalan terburu-buru di atas konblok pekarangan rumah, tapi pikiranku melayang entah ke mana. Aku tidak tahu alasan Kakek berpikir berkunjung selarut ini gagasan bagus. Meskipun aku tahu hubungan Kakek dan Pambudi Setiawan cukup dekat, tetap saja ini bukan waktu yang baik mengingat usia keduanya tidak lagi muda. Terutama ketika aku tidak mempunyai petunjuk apa-apa tentang situasi yang terjadi.
Setelah melintasi halaman luas yang dihiasi beberapa lampu taman sebelum tiba di depan pintu masuk, kesadaranku kembali. Aku melihat dua orang laki-laki bertubuh besar berdiri di serambi di depan pintu utama. Posisi dan sikap keduanya seolah-olah menunjukkan bahwa mereka ditugaskan untuk menjaga sesuatu.
Laki-laki pertama bergaya flamboyan, bertubuh tambun dan tinggi. Kulit sawo matang di tubuhnya terlihat begitu kontras karena rambut ikalnya dicat warna perak. Hidung laki-laki itu sedikit runcing, berdagu panjang, dan memiliki tatapan mata yang tajam. Aku pernah membaca di sebuah situs internet yang menyebutkan bahwa ciri-ciri wajah seperti itu cenderung dimiliki oleh orang-orang berkepribadian licik.
Laki-laki kedua justru berbanding terbalik dengan berpenampilan seperti gelandangan. Ia memiliki rambut kribo yang agak mengembang. Tubuhnya sedikit lebih tinggi daripada laki-laki di sebelahnya dan berkulit lebih gelap. Bentuk wajahnya tegas dengan hidung yang bulat. Bibirnya sedikit tebal dengan rahang yang keras. Berewok tipis di sekitar wajahnya membuatku menduga kalau ia berasal dari daerah timur Indonesia.
“Siapa ini, Mbak?” Laki-laki berambut kribo yang bertanya pada Stella. Nada suaranya terdengar tinggi dengan logat mengayun yang tidak biasa. Dugaanku tepat.
“Kalian itu ditugaskan untuk menjaga, bukan untuk bertanya.” Stella menjawab ketus. “Kepentingan kau apa sampai harus menanyakan siapa yang aku bawa? Kau nggak perlu tahu urusanku, N. Marlo. Apalagi sampai mengatakan hal yang nggak pantas untuk kau tanyakan. Mengerti?”
“Jangan gitu lah, Mbak.” Laki-laki di samping N. Marlo menjawab sambil tersenyum.
Senyuman yang terlihat begitu menyebalkan.
“Justru karena kami dituagskan untuk menjaga, makanya kami bertanya—”
“Nggak usah sok baik kau, Poga.” Stella menyela, menatapnya tajam. “Aku paling benci dengan orang yang bermuka dua.”
Laki-laki bernama Poga itu justru tertawa.
Caranya tertawa juga tidak kalah menyebalkan.
“Kami ini dibayar Pak Pambudi untuk bekerja kepadanya. Kami hanya mencoba ramah dengan keluarga, atau siapa saja yang mempunyai urusan dengannya.”
“Halah, taik!” Stella menghardik.
Kedua alisku naik serentak, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Astaga. Stella mengumpat?
Selama bertahun-tahun aku mengenalnya, baru kali ini aku menyaksikan Stella tampak begitu marah. Aku tak tahu apa yang terjadi antara mereka, tapi jelas ada sesuatu yang tidak beres. Maksudku, aku bisa memastikan kalau Stella membenci kedua orang ini dengan alasan tertentu. Aku tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya, tetapi kurasa itu adalah rasa benci yang sudah terpendam cukup lama.
Gigi Stella kembali terkatup rapat ketika mengatakan, “Kau itu penjilat, Poga. Orang-orang seperti kalian ini hanya setia kepada orang yang punya uang. Bukan kepada siapa kalian bekerja. Paham?”
“Uang ya uang, Mbak.” Poga menjawab santai. “Nggak penting uangnya dapat dari mana. Yang penting bisa bayar kontrakan dan ngasih uang belanja untuk orang rumah. Selagi Pak Pambudi membayar kami, kami siap melakukan perintahnya.”
“Ya, ya~ Maksudnya membayar kontrakan dan uang belanja pacar muda kau, kan? Poga sialan, Poga sialan.” Stella menggeleng pelan, kemudian mengacungkan telunjuk ke arah lelaki di depannya. “Jangan kira aku nggak mencari tahu latar belakang kalian, ya. Sampai aku tahu kalau kalian melanggar hukum lagi, aku nggak akan segan-segan. Aku memang cucunya, tapi aku nggak selembek kakekku!”
Poga kembali menyunggingkan senyum yang—mau bagaimanapun—tetap saja terlihat menyebalkan. “Membelokkan hukum itu kan bukan melanggar, Mbak. Jadi aman aja.”
Stella bergeming menatapnya, kemudian berkata, “Aku benar-benar kasihan dengan anak dan istri kau kalau mereka sampai tahu kalau kau itu laki-laki busuk.”
Derap langkah kaki Stella terdengar lebih berat ketika melanjutkan langkah di atas kayu parket yang melapisi lantai serambi. Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah tanpa berniat mengajukan pertanyaan apa pun.
Kurasa ia benar-benar membenci kedua orang itu.
Aku tidak tahu mengapa Kakek dan Pambudi Setiawan berpikir butuh privasi sementara satu-satunya orang lain di rumah ini hanya Stella, sedangkan kedua orang bertubuh besar itu hanya berjaga di luar rumah. Namun, masalah yang mereka ributkan terdengar sampai ke ruang tamu di tempatku berdiri. Aku tahu ini bukan waktu berkunjung yang tepat, tetapi perasaan kacau yang kurasakan sebelumnya justru membuatku nekat datang ke sini.
Malam ini terjadi sesuatu padaku, terjadi sesuatu pada Kakek. Apa pun alasannya, aku tidak tahu pasti apa yang bisa kulakukan untuk menolong Kakek. Tapi aku benar-benar tidak ingin terlibat dan menambah masalah baru.
“Kakekmu mengetahui sesuatu yang membuatnya marah besar.” Suara Stella mengembalikan kesadaranku. Ia menjatuhkan diri ke sofa Turki berwarna krem dan memeluk erat bantalannya.
Dahiku mengernyit. “Apa?”
Stella tidak langsung menjawab. Ia menepuk permukaan sofa di sebelahnya sambil menatapku. Aku segera mengerti dan duduk di sampingnya. Sekilas, mataku menjelajah ke seisi ruang tamu. Aku melihat beberapa foto Pambudi Setiawan berjas rapi dan Stella yang terlihat anggun dalam kebaya di acara wisuda pada dinding di hadapanku. Namun, aku tak dapat menemukan foto Stella dewasa bersama kedua orang tuanya. Yang kulihat hanya sebuah foto sepasang laki-laki dan perempuan sedang menggendong anak kecil berwajah lucu dengan baju terusan biru muda pada pigura kecil di atas bufet.
“Aku juga baru tahu setelah rapat hari ini,” ucapan Stella membuatku cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali ke wajahnya, dan tubuhku hampir tersentak saat ia membuyarkan pikiranku yang baru saja ingin menerka apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya.
Stella menatap mataku tanpa melepaskan pandangan sedikit pun.
Aku menelan ludah.
“Dari berkas yang aku baca, dulu kakekmu memiliki frekuensi untuk bisa siaran sendiri dari rumahnya. Mungkin hal itu sama seperti membuat podcast[1] di era sekarang.”
Aku mengangguk pelan karena sudah mengetahui sebagian hal itu.
“Kakekmu menjadi pionir terhadap perkembangan siaran digital kota ini. Saat itu banyak pihak yang meliriknya karena dirasa cukup menguntungkan di masa depan. Dan hal itu sekarang benar-benar terbukti, apalagi setelah melihat perkembangan podcast yang semakin menjamur di seluruh lini platform digital.”
“Sampai hak siar itu dijual ayahku karena alasan tertentu,” sambungku.
Aku bisa melihat bagian leher Stella yang bergerak naik turun ketika menelan ludah. Ia buru-buru menghela udara, kemudian berkata, “Atas permintaan Kakekku ….”
Suasana di sekitarku tiba-tiba hening. Butuh waktu sampai beberapa detik untuk otakku mencerna perkataan Stella hingga semua potongan informasi itu secara perlahan tersusun menjadi sebuah gambaran yang utuh.
Ayah mengenal Pambudi Setiawan?
“Saat membongkar berkas-berkas lama untuk melengkapi materi acara perayaan ulang tahun besok, kakekmu menemukan lembaran bukti transaksi itu. Aku nggak tahu kenapa lembaran itu ada di sana, mungkin kakekku lupa memisahkannya atau apa. Tapi wajah kakekmu langsung memerah setelah membaca isinya. Aku juga sempat melihat sekilas, dan di situ memang tertera nama kakekku dan ayahmu sebagai pihak-pihak yang terlibat.”
Aku menelan ludah. “Lalu apa yang terjadi?”
Stella menggeleng ketakutan. “Karena setelah selama ini merasa dibohongi, amarah kakekmu meledak. Mereka berdua lalu bertengkar hebat seperti dua orang remaja tanggung sampai nggak sadar kalau aku ada di dekat mereka—"
Sebelum Stella menyelesaikan kalimatnya, suara pintu yang dibanting dengan cukup keras yang terdengar dari lantai dua membuat tubuhku dan tubuh Stella tersentak bersamaan.
“Aku tidak punya tujuan komersil!” Teriakan Kakek menggema sampai ke bawah, suaranya meninggi. “Frekuensiku aman, Pam! Tidak mungkin terjadi sesuatu kalau saat itu aku lanjutkan!”
Ketegangan menyelimuti sekitarku dengan cepat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapi situasi ini. Apakah aku harus segera naik dan memisahkan mereka? Atau sebaiknya aku tetap di sini bersama Stella? Aku menoleh ke arah Stella, mencoba mencari salah satu jawaban itu di matanya. Namun, yang bisa kami lakukan hanya saling tatap. Seolah-olah membaca pikiranku, Stella menggelengkan kepalanya dengan pelan pertanda tidak tahu harus berbuat apa.