pertemuan di taman
“TIMUR Rubinsa!”
Tubuhku tersentak begitu mendengar seseorang memanggil namaku. Kupejamkan mata rapat-rapat, mencoba meresapi suara lembut yang menyusup ke dalam telingaku dan menjalar hangat ke bagian-bagian tubuh yang mulai terbiasa mendengar suaranya selama beberapa bulan belakangan. Saat kembali membuka mata dan berbalik ke arah pemilik suara, aku tersenyum. Kulambaikan tangan ke arahnya, mengisyaratkan untuk duduk di sebelahku dengan sebuah gerakan tangan.
Momen ini membuat dadaku berdebar berkali lipat daripada biasanya, dan entah mengapa hal itu membuat sandaran bangku taman ini terasa lebih nyaman sejak terakhir kali kududuki setahun yang lalu. Semilir angin malam sejuk berembus perlahan, membuat daun-daun pinus di sekitarku berbisik saat mengantarkan wangi tubuh Stella yang berjalan mendekatiku.
“Kamu ngapain sendirian di sini?” ia bertanya ketika sudah duduk di sebelah kiriku.
Aku merogoh buku Dear Radio jilid 2: Love Cinta dari dalam saku jas di dadaku, “Tadinya aku mau baca ini sambil nunggu antrian katering.”
Stella membelalak. “Loh? Kok kamu udah punya sample bukunya? Harusnya dicetak bulan depan, kan? Kamu curang!”
Aku tertawa setelah menghindari tamparan lengan darinya. “Bukan cuma bos yang boleh mencari tahu latar belakang karyawannya, kan?”
Stella ikut tertawa, kemudian mendekatkan dirinya ke tubuhku. Posisinya menjadi sedikit lebih rapat hingga kaki kami saling bersentuhan.
Astaga. Wangi tubuhnya itu.
“Mana? Coba lihat. Aku juga mau baca, dong.” serunya lagi.
Aku tersenyum dan menyerahkan buku itu kepadanya. Kurogoh saku celana untuk mengambil sebungkus rokok dan menyulutnya sebatang. Sekilas, aku memperhatikan sosok Stella malam ini tampak begitu berbeda daripada biasanya.
Rambut lurusnya jatuh terurai separuh di atas bahu karena ia baru saja menyibak sebagian rambut sisi kanannya ke belakang telinga, mempertontonkan anting bulu angsa yang sewarna dengan pakaian yang sekarang ia kenakan. Dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup pada malam ini, aku melihat Stella tampak begitu cantik menggunakan rok lilit batik sepanjang lutut.
“Kamu cocok juga kalau pakai kebaya.” Perkataan itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku.
“Jangan meledek!” Stella tertawa. Meski wajahnya tertutupi riasan, bisa kulihat pipinya menjadi sedikit memerah. “Kalau bukan karena kamu ajak ke acara pernikahan si Abdul, aku nggak akan mau dandan.”
“Tapi, buktinya kamu mau ….” Aku tersenyum semakin ingin menggodanya.
“Ya mau, lah. Lumayan bisa makan gratis.” Stella tertawa setelah mengatakan hal itu.
Aku terkekeh. “Tapi benaran, loh. Kamu lebih cantik begini.”
“Hmm? Jadi yang paling cantik, nggak?” Ia tersenyum penuh arti sambil menyipitkan mata ketika menatapku.
Aku buru-buru mendongak menatap langit malam setelah mengucap “sialan” dengan begitu pelan. Stella tertawa melihat tingkahku karena ia tahu masa laluku bersama Eva dan semua yang kami alami. Stella mengembalikan fokus pada buku di genggaman tangannya, dan suasana hening kembali menyapa. Aku mengisap rokok dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya dengan perlahan.
“Kakek gimana kabarnya?” Stella bertanya tanpa melepaskan tatapan dari buku di tangannya.
“Yah, keadaan Kakek mulai membaik setelah dirawat. Kata dokter, rokoknya harus dikurangi.”
Stella mendecak, kemudian menceletuk “Cucunya aja merokok terus~” dengan nada menyindir sambil membalik beberapa lembar halaman.
“Kamu coba ngaca,” cetusku.
Ia tertawa. “Tapi syukurlah kalau kakek kamu baik-baik aja. Jadi kapan-kapan kita bisa ngopi lagi bertiga.”
“Kamu nggak perlu repot-repot membujuk Kakek, loh. Itu bukan masalah kita—”
“Udah, nggak apa-apa,” ia memotong. “Lagian mereka itu udah tua, nggak pantas kalau keterusan ngambek, kayak anak kecil.”
“Maaf, ya? Kakek memang orangnya keras kepala.”
Stella tertawa. “Yah, sama aja kayak cucunya.”
Aku tertawa.
Kami sama-sama menoleh ke arah pelaminan ketika riuh sorak tamu undangan tiba-tiba meledak. Seorang gadis berhasil menangkap seikat bunga yang dilemparkan istri Abdul secara acak. Tamu undangan lain ikut bersorak gembira, sebagaimana gadis itu terdengar kegirangan ketika seorang MC memberinya mikrofon untuk mengutarakan harapan dalam hubungan yang ia jalani di depan orang banyak. Stella meremas tanganku, dan saat itulah aku sadar jika Stella mempunyai pemikiran yang sama dengannya. Setelah berswafoto dengan pasangan pengantin di pelaminan, gadis itu dipersilakan kembali ke tempatnya semula.
Stella melepaskan genggaman tangannya sambil berkata, “Timur …. Terima kasih, ya.”
Alisku naik sebelah ketika kembali menatap matanya. “Terima kasih untuk?”
Stella tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia menutup buku dan merogoh sebungkus rokok dari dalam tas jinjingnya untuk memberi jeda. “Karena kamu, apa yang kita rencanakan sukses besar.”
Aku? Padahal aku tidak melakukan apa pun.
Yang paling bekerja keras itu seluruh kru off air Dear Radio.
Itu semua adalah hasil kerja keras mereka.
Hasil kerja keras Stella.
“Berkat kamu acaranya jadi sukses besar,” ralatku.
Stella menggeleng. “Aku suka kalimat di bagian belakang buku ini, kamu yang menambahkan di saat-saat terakhir, kan? Bagus banget! Aku suka!”
Aku tersenyum, tidak menjawab pertanyaannya. Tatapanku justru beralih kepada wajah yang untuk kesekian kalinya pada malam ini berhasil membuat jantungku berdebar berkali lipat.
“Buku ini jadi semakin terkesan cerita kamu banget! Aku bacain, ya!”