Di suatu pagi, seusai menyuapi, membersihkan, serta mengganti pakaian Ibunya, Sakti dan Mey bergegas mengambil sepeda mini wimcycle merek Fujiwara tahun 80-an, sebuah sepeda yang digunakan Ibu mereka untuk berpergian ketika sebelum dirinya sakit. Mey duduk di boncengan dengan kaki diikat menggunakan selendang Ibunya pada seat tube atau tabung sadel sepeda, agar selama perjalanan kakinya tidak masuk ke dalam jari-jari roda sepeda. Mereka berdua menuju ke sungai untuk mandi. Mereka berdua membawa jerigen air berukuran 5 liter yang mereka letakan di keranjang depan sepeda untuk sekaligus mengambil air dari sungai itu, karena sumur di rumahnya hanya sedikit sekali air, yang mana jika ditimba tidak akan cukup. Meskipun desa mereka dilanda kekeringan, sungai di desa mereka masih teraliri air dari kota-kota yang saat ini memiliki curah hujan yang tinggi. Untuk sampai di sungai tersebut mereka berdua harus menempuh jarak 2 KM dari rumah mereka.
Mereka berdua sangat menikmati perjalanan 2 KM itu, melewati jalan berbatu, tanjakan dan turunan yang sedikit curam, mereka melewatinya dengan penuh suka cita dan bahagia. Seringkali juga Mey meminta agar kakaknya membunyikan bel sepeda. Ketika bel dibunykan dan bunyi Kring… kring… terdengar, maka tawa Mey semakin keras yang tentunya berbanding lurus dengan bahagianya, meskipun keduanya berbeda. Tawa tidak sama dengan bahagia. Rumus bahagia bukanlah semakin banyaknya tawa yang dihasilkan. Perbedaan antara keduanya adalah seperti dua orang yang menari dalam simfoni kehidupan ini: tawa adalah tarian yang riang dan menggebu, setiap geraknya cepat dan penuh tenaga, panggungnya adalah ruang dengan keceriaan yang menyinari hati, dan penontonnya bersorak-sorai mengiringi sang penari bergerak. Sementara bahagia adalah tarian yang lembut dan harmonis, ia mengalir dalam kedamaian yang memeluk jiwa, melodinya halus mengalun dalam keheningan, tenang dalam keanggunan yang tak tergoyahkan. Namun, bagaimanapun tawa Mey adalah ungkapan paling murni dari kebahagiaan yang pernah ada di dunia. Seolah dua penari yang memiliki ritme berbeda menari bersama, yang satu sebagai penerang pemecah kegelapan, yang satunya berperan sebagai landasan pacu untuk berlari dan terbang bebas. Mereka bahu-membahu menciptakan simfoni kehidupan yang begitu indah. Mereka saling melengkapi. Satu menguatkan yang lain, mengarungi tariannya yang abadi.
Sebelum sampai sungai, sakti mengerem sepedanya berhenti tepat di depan sebuah pohon mangga. Di tanah, sebuah mangga yang matang tergeletak. Tampak rumah dari pemiliknya sepi. Sakti turun dari sepeda lalu menyuruh Mey menunggu.
“Kak Sakti, Mey ikut,” pinta Mey dengan kaki terikat.
“Mey tunggu saja di sini,” ucap Sakti kemudian pergi mengambil mangga yang ada di tanah.
Setelah buah mangga berada digenggamannya, sakti berjalan menuju rumah pemilik pohon Mangga itu. Ia mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian keluarlah seorang bapak-bapak bertubuh gendut mengenakan kaos dalam dan celana pendek, ia nampak seperti baru saja bangun dari tidurnya. Bapak-bapak itu menatap tajam Sakti, saat itu ia belum menyadari apa yang ada di tangan Sakti dan apa tujuan dari bocah laki-laki yang ada di hadapannya itu.
“Aku menemukan mangga ini di tanah, aku mau minta izin membawanya,” ucap Sakti dengan senyuman sembari menunjukan mangga yang ada di tangannya. Bapak-bapak itu menatap Sakti, tak ada kata yang keluar dari mulutnya untuk beberapa detik setelah sakti mengajukan permohonan. Bapak-bapak itu menatap buah mangga, kemudian menatap Sakti kembali, setelah itu ia mengambil mangga yang ada di tangan Sakti dan masuk menutup pintu. Sakti berlari menuju Mey dan sepedanya dengan riang, tak ada kekecewaan di raut wajahnya. Ia kembali mengayuh sepeda menuju sungai.
“Kakak, Mey mau mangga,” pinta Mey memeluk kakaknya di sepeda.
“Emm. Besok kita ke pasar, kita akan beli mangga yang banyak.”