Jangan Menangis, Ini Semua Hanya Mimpi

Sahrun Rojikin
Chapter #4

HARAPAN

Langit pagi di hari minggu ini terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Awan hitam memenuhi langit. Di pagi itu orang-orang di desa memandang langit dengan kebahagiaan yang tak terkira. Padahal belum ada setetes pun air yang jatuh. Di keadaan gelap gulita itu penduduk desa bersorak-sorai seperti sedang berpesta. Beberapa orang sampai menangis haru, hewan-hewan ternak ikut mendongak ke langit. Bunga-bunga harapan tumbuh dalam kegelapan. Begitulah harapan, ia adalah penantian panjang yang akan membuat seseorang tetap hidup. Bahkan dalam keadaan segelap apapun.

Begitu juga dengan Sakti, ia merayakan kegelapan itu dengan mengeluarkan barang-barang yang bisa digunakan untuk menampung air. Langit semakin gelap dan suhu udara sudah terasa sangat menggerahkan. Air di awan mulai berangsur turun dengan tetesan-tetesannya. Burung-burung mulai mencari tempat teduh. Suara riang penduduk desa bergemuruh ketika tetesan air yang jatuh di langit berubah menjadi guyuran yang sangat besar. Hanya beberapa detik, guyuran hujan itu membasahi tanah-tanah, sumur-sumur yang kering, pohon kamper, dan seluruh jengkal desa itu. Orang-orang menyambut hujan di pagi itu dengan perasaan yang tak terkira seperti perasaan seorang ibu menyambut kelahiran anak pertamanya.

“Mey,” ucap Sakti membangunkan Mey yang sedang tidur di kamarnya dengan posisi miring memeluk guling, posisi terbalik 90 derajat dari posisi pertama kali tidurnya, dan selimut yang sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Mey membuka matanya perlahan. Dua jari telunjuk tangannya mengucek-ucek mata ketika retina matanya sedang beradaptasi dengan cahaya lampu tidur berbentuk bunga mawar yang berada di samping ranjang tempat tidurnya.

“Mey dengar itu?” tanya Sakti kepada Mey. Mey mendongak ke atas dan mendengarkan air hujan yang memukul-mukul genting kamarnya. Wajah kantuknya seketika lenyap bak ditelan bumi ketika otaknya telah berhasil memproses apa yang sedang terjadi pada dunianya yang ia huni saat ini.

“Hujann!!” teriak Mey dengan sangat gembira.

“Emm,” Sakti mengangguk mengiyakan. “Rapihin dulu tempat tidur Mey, sarapan, setelah itu Mey boleh hujan-hujanan.”

“Emm,” Mey mengangguk kemudian langsung bergegas merapihkan tempat tidurnya dengan sangat tergesa. Dirinya sudah tidak sabar untuk merasakan segarnya guyuran air, akhir dari penantian yang panjang. Mey duduk di depan pintu rumahnya, menyaksikan hujan membasahi rumput-rumput, bunga-bunga yang masih menguncup, ayunan kayu, pohon Kamper, dan semua yang berada di dalam halaman rumahnya. Ia melihat pemandangan itu sembari menyantap bubur yang disuapi oleh kakaknya. Di kepalanya, ia sudah membayangkan dirinya berlarian menikmati hujan yang turun, karena itulah ia makan dengan sangat lahap. Ketika bubur dalam piring sudah habis, Mey berlari dengan sangat kencang menuju halaman sampai kakinya terpeleset, untungnya dirinya masih bisa menyeimbangkan tubuhnya dan tidak terjatuh. Namun belum sampai tubuhnya terkena air hujan dirinya berhenti dan berlari masuk ke dalam rumah, ia berlari menuju gentong penyimpanan beras, saking cepatnya ia sampai mengejar dan menyenggol kakaknya yang sedang berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci piring. Mey mengambil beras yang hanya tersisa sangat sedikit, mungkin hanya dapat digunakan untuk dua kali masakan lagi. Mey mengambil beras itu segenggam kemudian memberikannya kepada Piyak yang berada dalam kardus di bawah meja makan.

“Piyak makan sendiri ya, Mey mau hujan-hujanan,” kata Mey. Seperti sebuah roket yang meluncur ke angkasa, Mey berlari sekencang-kencangnya menuju halaman rumahnya. Sesampainya di depan rumah ia melompat ke halaman. Bahagianya sudah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata lagi. Bila Mey adalah sebuah tokoh fiksi, barangkali penulis akan menggambarkan kebahagiaan yang dirasakan Mey pada saat itu dengan penggamabran seperti ini : Pada mulanya semesta adalah kehampaan, sunyi melebihi sunyi yang pernah ada, diam melebihi diam yang pernah ada, kosong melebihi kekosongan yang pernah ada, kesepian—meskipun masih tak sekesepian hati manusia-manusia Yang tak pernah dimengerti. Dalam kehampaan itu ia tetiba meledak, menciptakan galaksi-galaksi, gugusan bintang-bintang, bunga-bunga angkasa, dan bumi yang sempurna untuk manusia Singgahi.

Ada beberapa reaksi manusia ketika hujan turun. Ada yang menyambutnya dengan kebahagiaan karena lelah dengan panasnya kehidupan yang mereka jalani, ada yang memakinya karena hujan turun membawa ingatan-ingatan indah yang sudah lama hilang dari dirinya dan takan pernah ia temui lagi. Begitulah hidup di dunia yang semuanya berpasang-pasang, ada orang yang menginginkan sesuatu terjadi dan sebagian lainnya ada yang menginginkan sebaliknya. Dan begitulah manusia, semuanya dituntut untuk berjalan sesuai dengan kemauan, keinginan, dan kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak tahu bahwa di dunia ini semuanya berpasang-pasang.

Setelah 2 jam berlalu, hujan mulai mereda. Sakti mulai memindah air yang ia tampung ke dalam kolam mandi. Sedangkan Mey masih menikmati sisa-sisa tetesan-tetesan air yang turun, tubuhnya dipenuhi lumpur, dan dirinya kini sedang asik melompat-lompat di genangan.

“Mey, ayo mandi,” ucap Sakti setelah selesai memindahkan air hujan yang ia tampung ke dalam kolam.

“Emm,” angguk Mey.

“Satu... dua...,” teriak Sakti dan Mey yang sedang berlari ke arah Sakti.

“Tiga!!” diangkatnya tubuh Mey ke atas oleh Sakti. Sakti membawa Mey menuju kamar mandi agar tubuh Mey yang penuh lumpur tidak mengenai alas rumahnya yang terbuat dari kayu, juga tidak mengenai baju Sakti. Sesekali Mey mengusili kakaknya dengan menempelkan lumpur ke wajah kakaknya.

“Mey…,” kata sakti dengan maksud agar Mey berhenti mengusilinya. Mey tidak menghiraukan kakaknya, ia terus melumuri wajah kakaknya dengan lumpur yang ada di tangannya sambil tertawa-tawa puas. Karena perkataannya tidak dihiraukan oleh adiknya, Sakti memutar-mutar Mey, membalas keusilannya.

“Kakak…,” ucap Mey ketakutan namun masih tetap tertawa. Sakti tertawa puas. Mey tidak ingin kalah, kali ini ia berusaha melumuri lumpur ke seluruh wajah kakaknya. Mey tertawa puas ketika ia berhasil melakukannya. Mereka berdua tertawa-tawa sampai mereka tiba di kamar mandi. Sakti menurunkan Mey. Mey melepaskan baju yang ia kenakan kemudian dirinya mandi, sedangkan Sakti membersihkan wajahnya yang sudah penuh dengan lumpur. Melihat Mey yang di wajahnya masih ada lumpur namun dirinya hendak menyudahi mandinya, Sakti menghentikan Mey yang berjalan untuk mengambil handuk, lalu dirinya menyiram air kembali kepada adiknya agar tubuh adiknya benar-benar bersih.

Seusai itu semua, mereka berdua duduk di sofa, menyaksikan tayangan televisi dengan tangannya menggenggam teh panas dan selimut yang menyelimuti tubuh mereka masing-masing. Mereka berdua menyaksikan sebuah serial kartun jepang. Sebuah kartun yang menceritakan tentang seorang anak perempuan kecil berusia 10 tahun bernama Hoshiko yang memiliki kemampuan berupa mampu mewujudkan imajinasinya menjadi sebuah kenyataan, hanya saja masalah-masalah timbul setiap dirinya mewujudkan karakter-karakter atau sesuatu dengan imajinasinya, masalah-masalah itu kadangkala berdampak pada dirinya sendiri, orang tua, tetangga, bahkan tak jarang membuat masalah untuk penduduk kotanya. Namun setiap akhir dari episode serial itu ia mampu menyelesaikan semua masalah yang ditimbulkannya.

Di episode yang Mey dan Sakti tonton kali ini Hoshiko ingin bermain perang-perangan, kemudian dengan imajinasinya ia menciptakan tiga tentara perang, satu sebagai sekutunya, dan dua lainnya sebagai musuhnya. Selain itu ia juga menciptakan senjata-senjata, dan kendaraan-kendaraan perang seperti tank, pesawat tempur dan lainnya. Akibat itu kotanya menjadi mencekam, karena karakter-karakter yang ia ciptakan berperang dengan memperluas area perang, yang tadinya hanya lingkup rumahnya, sekarang meluas ke berbagai pelosok kotanya. Kemudian orang-orang yang ikut berperang semakin bertambah banyak karena tiga karakter yang Hoshiko ciptakan menyebarkan propaganda perang dan beraliansi dengan orang-orang di kota itu. Kota itu benar-benar telah menjadi medan pertempuran, lucunya kedua orang tua Hoshiko juga ikut berperang namun berada dipihak yang berbeda. Sang ayah dihasut oleh karakter yang Hoshiko ciptakan dengan mengatakan bahwa istrinya akan menjual konsol game miliknya. Sedangkan istrinya dihasut oleh karakter ciptaan Hoshiko yang lainnya dengan mengatakan bahwa suaminya telah melupakan tanggal dan tempat di mana mereka berdua pertama kali bertemu. Akibat kekacauan besar yang timbul, Hoshiko membuat aturan perang dan memodifikasi alat-alat tempur dengan imajinasinya. Aturan-aturan itu antara lain :

1. Mengubah peluru-peluru dan bom, menjadi saus tomat. Jika ada yang tertembak orang itu akan tidur.

2. Dilarang mengebom rumah sakit dan wilayah yang beradius 10 KM dari rumah sakit.

3. Dilarang berperang saat jam makan tiba dan saat jam tidur malam.

4. Dilarang merusak taman bermain anak-anak.

5. Dilarang merusak bunga-bunga, baik yang bermekaran atau belum mekar.

Lihat selengkapnya