Jangan Menangis, Ini Semua Hanya Mimpi

Sahrun Rojikin
Chapter #5

SEPERTI BUNGA YANG MEMILIH TEMPAT HIDUPNYA

“Mey, kakak pergi dulu. Mey main sendiri dulu di rumah ya, kakak akan pulang nanti siang,” kata sakti di samping pohon Kamper dengan sepeda yang sudah siap ia kayuh. Sakti melambaikan tangan kepada Mey yang sedang berdiri di depan muka pintu rumahnya.

“Emm,” Mey mengangguk ceria. Ketika Sakti memalingkan badannya dan mulai mengayuh pedal sepedanya, tiba-tiba Mey berteriak, “Kakak...,” Sakti berhenti, menengok ke belakang, melihat Mey.

“Hati-hati...,” teriak Mey sambil melambaikan tangannya.

“Emm,” Sakti mengangguk kemudian meninggalkan rumah. Namun ketika dirinya baru beberapa meter meninggalkan rumahnya, tiba-tiba ia terpikirkan adiknya, ia merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, apalagi adiknya baru saja sembuh dari demamnya. Ketika sepedanya melaju dengan cepat, Sakti menarik rem kemudian memutuskan untuk memutar balik kembali ke rumahnya. Dirinya mengayuh sepedanya secepat mungkin. Sesampai dirinya kembali, ia melihat Mey sedang bermain ayunan sendirian. Mey berteriak dan melambaikan tangan menyambut kakaknya yang kembali secepat itu, “Kakak...,” Sakti berlari menghampiri adiknya.

“Mey ikut saja,” kata Sakti kepada Mey.

“Benarkah?” terlihat perasaan senang yang timbul pada wajah lucunya.

“Emm,” Sakti mengangguk.

“Mey boleh ajak Piyak?”

“Boleh.” Mendengar itu rasa senang Mey meningkat drastis, dirinya bergegas turun dari ayunan dan berlari ke dalam rumah. Dimasukannya Piyak ke dalam ember kecil. Mey juga membawa boneka miliknya. Tanpa berlama-lama mereka bertiga berangkat meninggalkan rumah.

Di pagi itu Sakti berkeliling di desanya, menawarkan bantuan kepada setiap orang yang ia temui. Namun dari puluhan orang yang sudah ia temui, belum ada satupun orang yang membutuhkan bantuannya. Sampai di sebuah kebun semangka, ia melihat seorang pria tua dengan rambut yang telah memutih semua tengah memanen semangka di lahan perkebunanya yang cukup luas. Nampaknya tidak ada orang lain lagi selain dirinya di kebun itu. Pria itu tak memekerjakan orang lain untuk membantunya panen, alasannya karena ia sudah tidak sanggup membayar orang lain untuk bekerja dengannya. Sakti berhenti di jalan dekat kebun itu, ia turun dari sepedanya, melepas selendang yang mengikat kaki Mey. Selendang itu ia kini jadikan sebagai alat gendong untuk menggendong Mey di belakang. Di belakang gendongan kakaknya kedua tangan Mey membawa boneka dan ember berisi Piyak di dalamnya. Sakti menghampiri Pria tua itu di kebun. Ia menyapa pria tua itu dan menawarkan bantuan kepadanya.

“Aku tidak sanggup untuk membayarmu anak muda,” kata pria tua itu dengan napas yang terengah-engah kelelahan. Meskipun pria tua itu memetik semangka dari dini pagi hari, namun semangka yang berhasil ia petik bahkan belum mencapai setengah dari keseluruhan lahannya.

“Kakek tidak perlu membayarku dengan uang, kakek cukup membayarku dengan semangka ini saja.”

“Baiklah kalau begitu anak muda, aku akan mengajarimu terlebih dulu.”

“Kau bisa menaruh adikmu di gubuk sana,” kata Pria tua ketika melihat Mey. Dirinya menujuk sebuah gubuk terbuka dan sederhana, empat bambu yang dijadikan pilarnya, atap yang terbuat dari tumpukan jerami, dan sebuah kursi panjang yang dirakit dari bambu.

“Kalau begitu terima kasih banyak, terima kasih banyak,” ucap sakti dengan sangat senang, ia bergegas mengantar Mey ke dalam gubuk. Dirinya mulai bekerja dengan pria tua itu, sedangkan Mey bermain dengan Piyak dan bonekanya di dalam gubuk. Terlihat Piyak sudah sangat akrab dengan Mey, ia juga tampak begitu senang bermain dan menemani Mey. Di bawah terik matahari yang membuat tubuh Sakti berkeringat, sesekali perutnya berbunyi. Bunyi perut dari dirinya yang menahan lapar karena memberikan jatah makan siang dan makan malamnya yang kemarin, untuk sarapan Mey dan ibunya. Pria tua menyadari bunyi lapar itu. Pria tua sempat menanyakan apakah Sakti sudah sarapan atau belum, namun karena Sakti tak ingin menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukannya, dirinya berbohong dengan mengatakan kalau dirinya sudah makan. Sakti tampak bersemangat memetik setiap semangka hijau yang bulat-bulat, sampai tak terasa matahari telah berada tepat di atas kepalanya. Pria tua menghentikan pekerjaannya dan menyuruh Sakti beristirahat di gubuk terlebih dahulu, sembari menunggu matahari bergeser dari atas kepala.

“Anak muda, ayo kita istirahat terlebih dahulu,” Kata pria tua kepada Sakti, mereka berdua beristirahat di gubuk.

“Aku akan pulang terlebih dahulu mengambil makanan, kalian tunggulah di sini, aku akan segera kembali,” kata pria tua kemudian dirinya pulang ke rumahnya. Sakti, Mey, dan Piyak menunggunya di gubuk.

“Mey senang tidak? Atau Mey ingin pulang saja?” tanya Sakti kepada Mey.

Lihat selengkapnya