Selasa, 5 mei 1998.
Pagi ini Sakti bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari belum menampakan dirinya untuk menyapa penghuni bumi, meskipun demikian cahayanya sudah mulai terpancar di ufuk timur. Di pagi itu Sakti memasak bubur menggunakan beras yang ia dapat dari Pria tua kemarin, ia juga merebus air dengan sisa air hujan yang ia tampung dalam kolam bak mandinya. Setelah semuanya masak ia kemudian meletakannya di atas meja makan, semangkuk besar bubur hangat, sebuah cerek berisi air panas, dan semangka yang sudah terpotong-potong. Sakti duduk kemudian mengambil sendok makan. Ia menyendok bubur yang ada pada mangkuk besar itu kemudian ia makan. setelah tiga suapan ia berhenti menyendok lalu menutup sajian itu menggunakan tudung saji plastik berwarna merah pudar; sebuah tudung saji yang sudah tidak memiliki gagang dan bagian atas sisi kanannya berlubang.
Sakti pergi meninggalkan rumahnya dengan menggunakan sepeda, ia kembali berkeliling ke desanya untuk menawarkan bantuan. Matahari mulai menampakan dirinya, cahayanya masuk melalui celah jendela kamar Mey, menyorot wajahnya yang penuh dengan liurnya. Diregangkannya tubuh dirinya yang mungil, dikuceknya kedua mata miliknya yang terpejam, kemudian ia membukanya perlahan. Ia terdiam sejenak lalu menyeka liur yang ada di wajahnya. Ia bangun kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali. Ia terdiam kembali, lalu beberapa saat kemudian ia turun dari ranjangnya. Mey merapihkan tempat tidurnya, menarik sprei yang berantakan, melipat selimut, dan mengembalikan bantal-bantal tidurnya ke tempat semula. Cahaya menyeruak masuk ketika dirinya membuka jendela kamarnya yang menghadap ke halaman samping rumahnya. Denyit lantai mengiri langkah kakinya menyusuri rumah untuk mencari kakaknya.
“Kakak,” ucap dirinya membuka pintu utama rumahnya yang menghadap ke halaman. Beberapa bunga terlihat sudah mekar, dan beberapanya lagi masih menguncup.
“Kakak,” ucap Mey memanggil kakaknya ketika membuka kamar ibunya. Dirinya tak berhasil menemukan di mana kakaknya berada. Tiba-tiba perutnya berbunyi.
“Kakak, Mey lapar,” kata Mey sembari memegangi perutnya dan menuju meja makan. Karena meja makan yang tinggi, Mey berusaha naik ke atas kursi untuk melihat apa yang ada di atas meja makan itu. Dirinya yang mungil dan masih lemas karena baru bangun berusaha keras menaiki kursi yang juga berukuran tinggi. Dibukanya tudung saji ketika dirinya telah berhasil naik ke atas kursi. Semua yang berada di atas meja makan, satu persatu ia bawa turun lalu ia bawa ke kamar ibunya dengan sangat berhati-hati. Mey naik ke atas ranjang ibunya.
“Ibu,” bisik Mey membangunkan ibunya yang matanya masih terpejam. Seperti biasanya ketika mata ibunya terbuka, hanya bola matanya yang bergerak. Ibu Mey memandang Mey.
“Ibu makan sama Mey, kakak sedang pergi,” kata Mey memandangi wajah ibunya.
Mey menyuapi dirinya sendiri dan menyuapi ibunya secara bergantian sembari dirinya bercerita banyak hal tentang apa yang dirinya dan kakaknya lalui kemarin. Mey menceritakan tentang gunung yang indah, bunga-bunga indah yang tak ia temui di halaman rumahnya, burung-burung yang terbang, langit yang berwarna jingga, awan yang mengeluarkan cahaya warna-warni, dan semua hal yang membuatnya ingin hidup lebih lama di dunia ini. Kemudian dirinya membawa Piyak ke atas ranjang, dengan sangat bangga ia mengenalkan Piyak kepada ibunya.
“Kalau ibu sudah sembuh Mey dan Piyak ingin bermain sama ibu. Ibu cepat sembuh ya,” kata Mey, berbaring memeluk ibunya juga Piyak yang berada di tengah pelukan itu. Kehangatan yang dirasakannya membuat Mey teringat sesuatu. Ia bergegas turun dari ranjang membuka laci meja yang di atasnya terdapat vas bening berisi air di mana setangkai bunga di dalamnya selalu diganti oleh Sakti atau Mey, kini vas itu sedang dihuni mawar putih; mawar putih di halaman rumahnya jarang sekali berbunga, namun hari ini Sakti mendapati mawar itu mekar lalu ia masukan ke dalam vas bunga itu sebelum dirinya pergi. Foto Mey, Sakti, dan ayahnya yang berada di bawah pohon Kamper pun masih tetap berada di sana, dan selamanya akan tetap berada di sana. Diambilnya obat-obatan milik ibunya dari dalam laci. Mey masih sangat ingat kakaknya memberi obat apa saja untuk ibunya saat pagi hari, ia menyuapi ibunya obat tepat sesuai dengan apa yang kakaknya lakukan ketika memberikan obat ke ibunya.
Sakti dan sepedanya sampai di desa seberang. Karena di desa tempatnya berasal ia tak menemukan orang yang membutuhkan bantuannya, ia kini berkeliling di desa seberang itu, menawarkan bantuan kepada orang ia temui. Desa yang ia kunjungi ternyata tidak jauh berbeda dengan desanya, orang-orang di desa itu tengah bersusah payah mempertahankan hidupnya dengan berbagai cara. Beberapa orang terlihat sedang duduk di teras menunggu ajalnya dijemput, beberapa orang sedang membagi makanan dengan keluarganya dengan porsi yang sangat sedikit, dua orang yang saling berkejaran karena salah satunya kedapatan mencuri dari satunya yang lain, satu keluarga yang mengendap-endap membawa koper ingin pergi meninggalkan desa itu karena dirasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan menimpanya jika mereka tetap di desa itu. Setelah berkeliling ke seluruh pelosok desa, akhirnya Sakti memutuskan untuk pergi ke pasar pusat kota.
Ketika Sakti sampai di pasar, hari sudah menjelang siang. Hiruk-pikuk suasana pasar sudah tak terasa lagi, para pedagang sudah menutup dagangannya. Namun tujuan Sakti pergi ke tempat itu bukanlah untuk membeli sesuatu, ia sadar dirinya sudah tidak memiliki uang sepeser pun untuk membeli. Alasan ia datang ke tempat itu adalah untuk mengais sisa-sisa makanan di tumpukan-tumpukan sampah. Sakti mengoreki tumpukan demi tumpukan sampah yang ia lihat, hingga akhirnya ia menemukan beberapa sayur-sayuran busuk dari salah satu tumpukan sampah yang ia temukan. Dirinya memasukan semua sayuran busuk itu ke dalam keranjang sepedanya lalu bergegas pulang. Sesampainya di rumah dirinya langsung menuju kamar mandi untuk mencuci sayuran yang ia bawa. Ia memilah dan memisah-misahkan sayuran yang masih bagus atau setidaknya masih ada bagian yang bagus dari sayuran yang ia bawa dari pasar. Sayuran yang busuk tidak ia buang, melainkan dirinya akan merebusnya secara terpisah. Direbusnya sayuran yang masih bagus terlebih dahulu kemudian setelah itu ia merebus sayuran yang busuk. Tak ada bumbu tambahan ketika merebus keduanya, Sakti hanya menambahkan garam ke dalam rebusan itu. Dirinya berdiam memandangi tungku api menunggu sayuran yang direbusnya masak.
Dengan membawa sayuran yang telah masak, Sakti masuk ke dalam kamar dirinya dan adiknya, akan tetapi ia tidak mendapati adiknya berada di kamar itu. Sakti mencoba mengecek kamar ibunya. Ketika ia membuka pintu kamar ibunya, terlihat Mey tengah terlelap di samping ibunya. Piyak menatap Sakti kemudian dirinya mengeluarkan suara, seolah sedang berkata kepada Sakti, “Piyak... piyak...,”
Sakti berjalan menghampiri mereka dengan perlahan. Dibangunkannya adiknya dengan perlahan juga.
“Kakak,” kata Mey melihat kakaknya.
“Mey tadi pagi sudah makan?”
“Emm. Mey juga sudah suapin ibu. Mey kasih obat buat ibu.”
“Benarkah?”
“Emm,” Mey mengangguk.
“Mey anak yang pintar. Sekarang ayo kita bangunkan ibu, ibu harus makan siang dan minum obatnya lagi.”
Mey dan Sakti membangunkan ibunya. Kemudian mereka berdua menyuapi ibunya dengan sayuran rebus yang masih bagus.
“Kenapa ibu tidak makan bubur?” tanya Mey kepada Sakti. Sakti tidak menjawab pertanyaan adiknya, ia keluar dari kamar untuk mengambil ember berisi air untuk membersihkan tubuh ibunya setelah ibunya menghabiskan makanannya nanti. Meskipun ibunya agak kesusahan mengunyah dan menelan sayuran, tetapi pada akhirnya dirinya berhasil menghabiskan sayuran itu.
“Setelah kita membersihkan ibu, nanti kakak dan Mey juga makan ya. Gimana kalau kita makan di bawah pohon?” kata sakti sembari membersihkan tubuh ibunya.
“Emm. Kakak, obat ibu mau habis,” kata Mey menunjukan obat milik ibunya kepada kakaknya.
“Kalau sudah habis nanti kakak ambilkan obatnya lagi. Oh iya kakak lupa belum memberi ibu obat.”
“Tadi Mey sudah kasih ibu obat setelah makan sayur,” ucap Mey tersenyum bangga.
“Sekarang Mey adalah dokternya ibu,” lanjut ucapan Mey dengan senyuman bangga yang masih terjaga.
“Mey anak yang baik, pasti ibu akan cepat sembuh.” Mey tersipu malu mendengar pujian dari kakaknya. Satu tetes air mata ibu mereka jatuh, hanya saja tetesan itu tak dilihat oleh kedua anaknya, hanya Piyak yang melihatnya.
Seusai mereka merawat ibunya, Mey, Sakti, dan Piyak berjalan menuju pohon Kamper. Sakti membawa dua piring sayuran yang telah ia rebus, satu yang masih bagus dan satunya sayuran rebus yang sudah busuk. Mereka berdua duduk di bawah pohon Kamper sedangkan Piyak mencari makananya sendiri dalam tanah.
“Hari ini kakak tidak memasak bubur. Kakak sudah tidak punya beras lagi, Mey tidak mengapa kan hari ini makan sayur dulu? Nanti kalau kakak sudah punya uang kita beli beras lagi di pasar,” kata Sakti kepada Mey. Mey mengangguk tersenyum, mengerti apa yang kakaknya katakan. “Mey juga bosan makan bubur.” Mendengar jawaban adiknya membuat Sakti ikut tersenyum. Mey makan dengan lahap. Begitu juga dengan Sakti, ia makan dengan lahap meskipun sayur yang ia makan adalah sayuran busuk dan rasanya sangat pahit. Rasa pahit itu dapat teralihkan karena rasa laparnya yang tak terbendung. Di tengah-tengah asiknya mereka makan tiba-tiba Mey melontarkan sebuah pertanyaan, “Kenapa warna sayur kak sakti berbeda dengan sayur milik Mey? Punya Mey hijau, punya kakak cokelat sama hitam. Mey ingin coba.”
“Sayur yang kakak makan rasanya pahit, Mey tidak akan suka,” kata Sakti mencoba mencegah rasa penasaran adiknya. Namun dirinya sudah terlambat, tangan adiknya sudah mengambil sayuran yang ada dalam piringnya. Mey memakan sayur itu dan menelannya. Sakti menunggu reaksi apa yang akan keluar dari wajah gemas adiknya itu. Sakti menahan napas melihat Mey diam setelah sekian detik menelan sayuran busuk itu.
“Enakkkk!!” teriak Mey bahagia. Sakti mengembuskan napasnya yang ia tahan selama beberapa detik.
“Mey tidak merasa pahit?” tanya Sakti penasaran.
“Kak Sakti bilang, obat ibu itu rasanya pahit, tapi bisa buat ibu sembuh. Meskipun pahit tapi Mey suka,” Sakti tersenyum mendengarkan perkataan adiknya itu. Mereka berdua kembali menikamti makanannya walaupun pada akhirnya Sakti melarang Mey untuk memakan sayuran miliknya lagi.
Anak kecil tidak bisa berbohong. Para anak kecil masih belum mengerti tentang konsep memanipulasi fakta, untuk itu apa saja yang diucapkan oleh mereka adalah sebuah kejujuran sejati. Mereka adalah simbol dari sebuah kesaksian, tak bisa dimanipulasi dan juga tidak memanipulasi. Anak kecil adalah kesejatian dari banyak hal, namun masih tidak ada yang tahu ke mana perginya kesejatian-kesejatian itu pada kebanyakan orang ketika tumbuh dewasa. Tidak ada satupun yang tahu tentang itu, sama seperti tidak ada yang tahu ke mana perginya kita semua ketika tidur.
Gejolak di negeri itu semakin membesar. Bukan lagi harapan yang melayang ke langit, melainkan napas-napas terakhir yang terbang bersama desauan angin, kicauan burung, dan nyanyian-nyanyian sunyi. Di rumah-rumah bergeletak tubuh manusia tanpa perut, di jalan-jalan bersimbah darah; darah nyanyian reformasi, api menyala di beberapa bangunan; nyalanya melebihi nyala cahaya matahari. Dan di suatu tempat yang jauh di sana orang-orang bersorak-sorai menyaksikan sebuah pertunjukan di atas panggung sandiwara. Masuklah ke dalamnya. Buka batas yang tipis itu, dengarkanlah suara-suara yang berdengung itu. Sekeras apapun usaha untuk memahami, tidak akan pernah bisa kalau batas yang tipis itu hanya sekadar ditatap. Tidak peduli di mana kita sekarang, di sanalah kehidupan yang semuanya adalah nyata. Mey tersenyum, kemudian dirinya bertanya kepada kakaknya ketika daun pohon Kamper jatuh tepat di hidungnya yang mungil, “Kak Sakti, Kenapa orang punya nama?” “Agar bisa diingat,” jawab kakaknya.
Waktu berlalu dengan cepat. Di malam hari, setelah dirinya pergi mencari sesuatu yang bisa dimakan, Sakti harus kembali pulang ke rumah dengan tangan kosong. Malam itu dirinya, adiknya, dan ibunya harus memakan sisa buah semangka seperti siang lalu. Setelah malam itu mereka memakannya, kini semangka yang mereka miliki hanya tinggal setengah saja. Obat-obatan ibunya yang hanya bisa didapatkan di ibu kota juga sudah habis. Malam itu, dengan perut yang tidak terisi penuh mereka tidur bersama di ranjang ibunya. Meskipun demikian, ketiganya terlelap dengan sangat nyenyak. Ketiganya saling menghangatkan dari dinginnya angin malam, dan seperti biasanya, Mey tidur dengan liur membasahi bantal dan wajahnya sendiri. Begitu juga dengan Piyak, ia juga terlelap di dalam kardus tempat tidurnya.
Keesokan harinya Sakti menggendong Mey, kakinya melangkah tanpa ada sebuah tujuan. Hari itu mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Makanan sisa pada tumpukan-tumpukan sampah di pasar pun sudah tidak ada lagi. Pasar juga semakin sepi, para pedagang banyak yang berhenti berjualan. Sakti juga sudah mencoba mengumpulkan barang-barang yang ada di rumahnya untuk dijual atau ditukarkan dengan makanan, namun tidak ada satu orang pun yang mau membeli atau menukarnya dengan makanan yang mereka miliki. Setelah sekian lama mereka berjalan tanpa arah, Sakti mengantarkan adiknya pulang. Sakti tidak ingin adiknya kelelahan.
“Mey tunggulah di rumah, kakak akan pergi lagi. Kalau Mey nanti lapar, makanlah semangka yang masih ada. Mey juga suapin ibu ya,” kata Sakti kepada Mey.
“Emm,” Mey mengangguk. Sakti mulai melangkah meninggalkan Mey.
“Kakak!” teriak Mey ketika kaki kakaknya baru melangkah 6 langkah. Sakti berhenti lalu berbalik badan menghadap di mana adiknya berdiri.