Sakti memasukan radio, jam tangan pemberian ayahnya yang belum pernah ia pakai, dan sebuah mainan konsol genggam miliknya ke dalam tas ranselnya yang berwarna cokelat tua. Sebelum itu ia mengupas tiga buah mangga kemudian memotong-motongnya, tak lupa ia juga memotong-motong sisa semangka yang ia punya. Kulit dari buah-buah itu dirinya makan untuk mengganjal perutnya yang kosong. Kemudian dirinya pergi ke dapur untuk merebus air di sebuah cerek. Ia kemudian meletakan semuanya di atas meja samping ranjang ibunya. “Pasti cukup untuk dua sampai tiga hari. Sampai aku kembali dan membawa makanan dan juga obat untuk Ibu,” kata ia dalam hatinya. Dirinya membuka laci meja itu, dicarinya sebuah alamat yang tertulis di sebuah kertas dan sebuah resep obat ibunya yang tulisannya sudah hampir tak terbaca. Alamat itu adalah alamat sebuah rumah sakit yang berada di ibu kota, karena obatnya tidak tersedia di apotek atau toko-toko obat lainnya, mau tidak mau dirinya harus mengambil obat itu di sana, karena hanya rumah sakit itulah yang menyediakan obat yang dibutuhkan ibunya, sebuah obat yang hanya menjadi penghambat agar penyakit yang diderita ibunya tidak semakin parah. Ia pernah sekali ke rumah sakit itu, yaitu ketika pertama kali ibunya dirawat dan didiagnosa. Di kepalanya tidak ingat persis tiap belokan jalan dari rumahnya sampai ke rumah sakit tersebut, dirinya hanya tahu bahwa untuk ke sana ia harus pergi ke stasisun kereta api yang berada di tengah-tengah pusat kota-nya, untuk mencapai stasiun itu ia harus menempuh perjalanan sejauh 45 kilometer dari rumahnya. Kemudian dengan kereta itu ia akan menempuh 10 jam perjalanan lagi untuk sampai di stasiun ibu kota. Dirinya tidak ingat lagi ke mana jalan yang mengarah ke rumah sakit tujuannya itu, untuk itu ia akan mencarinya dengan berbekal sebuah alamat yang tertulis pada secarik kertas. Sebelum memasukan catatan itu ke dalam tas, ia menuliskan alamat rumahnya sendiri pada balik kertas catatan itu. Itu akan menjadi kompas kalau dirinya tersesat pulang nanti, pikirnya.
Sakti memompa ban dan melumuri rantai sepedanya dengan oli, kemudian ia sandarkan sepedanya pada pohon Kamper. Ia masuk ke dalam rumah mengambil tas ranselnya. Adiknya kemudian mengantar dirinya ke luar rumah, digenggamnya tangan Sakti oleh adiknya, adiknya menuntunnya sampai pohon Kamper. Sakti berjongkok di depan adiknya, tangan kirinya memegang pundak adiknya dan tangan kanannya memegang rambut adiknya,
“Mey, kakak pergi dulu ya. Mey jaga dan rawat ibu. Kalau malam jangan lupa kunci pintu. Kakak sudah potongkan mangga dan semangka untuk Mey, air nya sudah kakak rebus di dalam cerek. Kalau Piyak lapar, lepas saja di halaman. Mey mengerti kan?”
“Emm. Kak Sakti akan pulang kan?” tanya adiknya.
“Kakak hanya pergi sebentar, kakak berjanji akan pulang menemui Mey,” ucap dirinya.
“Mey akan tunggu kakak,” ucap adiknya dengan senyuman manis di akhir kalimatnya.
Dipeluknya adik kecil kesayangannya, ia mendekapnya dengan kuat. Ia tidak ingin melepaskannya, ketika merasakan hangatnya pelukan adiknya. “Mey, kakak akan pulang. Dan setelah itu kita akan bermain bersama lagi,” ucap dirinya dalam hati. Dilepasnya pelukan itu, ia kemudian menaiki sepedanya, sekali lagi dipandangnya adiknya yang kecil berdiri di bawah pohon Kamper yang besar. Ia tersenyum. Lalu ia melihat adiknya ikut tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya. Kaki kanananya sudah di atas pedal, bersamaan dengan jatuhnya daun pohon Kamper yang kering ia menginjak pedal itu. Ia meninggalkan rumah tanpa menoleh ke belakang, semakin ia kayuh sepedanya semakin jauh pula dirinya dari rumah dan adiknya yang sangat ia sayangi.
500 Miles karya Hedy West mengiringi Sakti mengayuh sepeda ontelnya di sepanjang perjalanannya menuju stasiun pusat kota. Nana… na... na... nana… na... na... nana… na... na... nanna… na... na... Sakti sendiri sebenarnya belum pernah mendengarkan lagu tersebut dari suara penciptanya, ia mendengar dan mengetahui 500 Miles dari suara penyanyi perempuan berkebangsaan Amerika Serikat bernama Joan Baez. Karena itulah nada yang ia senandungkan temponya lebih lambat dari tempo yang dinyanyikan oleh Hedy West. Dan meskipun dirinya tak mengerti lirik apalagi arti dari lagu tersebut, namun tiap nadanya ia sangat ingat betul. Karena nada lagunya memang sangatlah mudah untuk diingat, tidak sukar, dan notasi-notasinya begitu sederhana.