“10... 9... 8... 7... 6... 5... 4... 3... 2... 1!!”
“Sudah?!!”
“Sudah belum?!!!”
Mey mengangkat kepalanya dari tumpukan kedua tangannya yang ia sandarkan pada batang pohon Kamper. Mey membuka kedua matanya. Ia kemudian mulai mencari orang yang sedang bersembunyi dari dirinya. Ia mengitari rumahnya, namun tidak menemukan orang yang sedang bersembunyi itu. Wajahnya riang gembira penuh dengan suara tawanya yang lucu dan menggemaskan, ia terus berusaha mencari.
“Kakak... ayah... kakak sama ayah di mana sih?!” teriak dirinya di samping rumahnya yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Mey memandang jendela kamarnya, wajahnya menyingrai. Pasti kakak sama ayah ada di kamar Mey, batin dirinya mengendap hening menuju ke arah jendela. Ia mengambil sebuah pot bunga yang tak berisi untuk ia jadikan pijakan agar dirinya yang kecil bisa menyentuh jendela kamarnya. Dipegangnya jendela kamarnya, wajahnya semakin senang karena ia sangat yakin kakak dan ayahnya bersembunyi di sana. Semakin ia bersiap membuka jendela itu, semakin senang raut di wajahnya, juga semakin bertambah yakin pula ia akan menemukannya. Ia mulai menghitung mundur dalam hati untuk membuka jendela kamar itu. 3... 2... 1..., Mey menarik kedua jendela dengan kedua tanganya sambil berteriak mengagetkan kakak dan ayahnya yang ia perkirakan ada di dalam kamarnya, “Waaaaa!!!!” wajah bahagianya perlahan pudar melihat kamarnya yang kosong, tidak ada siapapun di sana. Namun dirinya tak pantang menyerah, senyum bibirnya ia ukir kembali. Ia pasti akan menemukan di mana kakak dan ayahnya bersembunyi. Tekadnya kembali bergelora, saking bergeloranya kakinya terpeleset dari pot bunga yang ia pijak. Mey tergelincir jatuh dan mengakibatkan bajunya kotor. Namun dirinya tidak peduli dengan itu, ia bangkit kembali dan berlari dengan riang ke dalam rumah untuk menemukan kakak dan ayahnya. Disusurinya setiap ruangan rumahnya, namun tetap tak berhasil menemukan mereka berdua. Tak putus asa, dirinya berlari ke luar rumah. “Mungkin kakak dan ayah bersembunyi di luar rumah dan luar halaman,” pikirnya sambil berlari. Ditengoknya kanan dan kiri jalan di depan halaman rumahnya. Lagi-lagi ia tak berhasil menemukan kakak dan ayahnya. Wajah riangnya perlahan berubah menjadi sebuah kesedihan. Ia membalikan badannya, berjalan menuju pohon Kamper dengan lesu, lemas, dan perasaan sedih yang mendalam tapi tak sampai membuatnya menangis.
Tetiba ketika Mey berjalan menuju pohon Kamper, waktu bergerak dengan sangat cepat mengikuti langkah kaki dan suasana hatinya. Semakin dirinya mendekati pohon Kamper, hari yang mulanya cerah semakin menjadi petang. Hari menjadi benar-benar petang seperti menjelang malam ketika Mey sampai dan duduk di bawah pohon Kamper. Melihat pergantian waktu yang tidak wajar membuatnya ketakutan, ditambah lagi angin yang tiba-tiba berembus dengan kencang membuatnya semakin takut hingga membuatnya menangis.
“Kakak...,”
“Ayah...,”
Mey memanggil-mangil kakak dan ayahnya sambil menitihkan air mata yang cukup deras. Suara aneh seperti terompet terdengar begitu keras dari atas pohon Kamper. Ketakutan Mey semakin menjadi-jadi, ia berdiri, melangkah perlahan dengan tubuh lemasnya yang hampir kehabisan energi, menuju rumahnya tanpa menoleh ke arah sumber suara. Suasana semakin gelap dan embusan angin semakin kencang, suara aneh seperti terompet juga masih terus berbunyi. Ketika langkah Mey berada di tengah-tengah halaman antara rumah dan pohon Kamper, di belakang dirinya sebuah bayangan hitam bertubuh besar, berkepala kecil, seperti burung hantu berukuran besar terlihat sedang berada di ujung atas pohon Kamper.
“Kakak...,”
“Ayah...,”
Mey melangkah dengan terus memanggil-manggil kakak dan ayahnya.
“Mey...,” tetiba ia mendengar suara samar memanggil namanya, suara itu hampir seperti suara kakaknya. Lamat-lamat suara itu semakin jelas, dan benar, itu adalah suara kakaknya.
“Mey, bangun,” ucap kakaknya. Mey membuka mata. Ketika yang ada di depannya adalah kakaknya ia bangun dan langsung memeluk kakaknya.
“Kakak,” ucap Mey memeluk kakaknya sambil menangis.
“Mey mimpi buruk? sudah, tak apa Mey. Ada kakak di sini,” kata kakaknya memeluk erat dirinya. Kehangatan dari pelukan kakaknya itu mulai membuat dirinya tenang. Mey bangun dari mimpi panjangnya. Namun seluruh bagian-bagian mimpinya selama dirinya tertidur tidak ia ingat. Ia tidak ingat mimpi ketika ia bermain petak umpat bersama kakak dan ayahnya, juga bagian-bagian mimpi sebelum itu. Dirinya hanya mengingat bagian ketika ia melangkah ketakutan menuju rumahnya. Dan bukankah memang begitu, sepanjang apapun mimpi yang dialami, kita hanya bisa mengingat sebagian kecilnya saja?
Setelah dirinya ditenangkan oleh kakaknya, Mey kemudian makan ditemani oleh kakaknya. Mey makan buah mangga yang dibawa oleh kakaknya, di atas kasur.
“Kakak. Pohon bisa jahat?” tanya Mey sembari menyantap buah mangga.
“Pohon tidak jahat Mey, udara yang Mey dan kakak hirup kan dari pohon,” ucap kakaknya menjelaskan kepada dirinya. Otaknya memproses informasi dari kakaknya, lalu dirinya mengajukan pertanyaan lanjutan, “Kalau tidak ada pohon Mey tidak bisa bernapas?”.
“Bisa jadi,” jawab kakaknya singkat karena mungkin kakaknya belum tahu apakah oksigen hanya dihasilkan oleh pohon, yang mana termasuk ke dalam tumbuhan.