Jangan Menangis, Ini Semua Hanya Mimpi

Sahrun Rojikin
Chapter #9

Sakti : KOTA YANG SIBUK DAN MEMBOSANKAN

Kereta melaju dengan cepat menempuh setengah perjalanannya lagi. Beberapa penumpang telah turun di pemberhentian sebelum-sebelumnya. Di atas gerbong kereta penumpang pertama, Sakti duduk memeluk kedua kakinya yang terlipat. Dekapannya begitu erat. Dinginnya malam dan embusan angin yang dihasilkan dari laju kereta membuatnya mencoba menghangatkan tubuhnya dengan cara itu. Peluit kereta yang dibunyikan oleh masinis setiap 100 mil setelah peluit keberangkatan dibunyikan kini telah berbunyi sekali pada pukul 17:25. Sekarang pukul 19:30 di mana kereta telah menempuh separuh perjalanannya. Dan peluit ketiga akan dibunyikan tepat 50 menit lagi yaitu ketika kereta menempuh 57 kilometer dari titik kereta saat ini. Jarak perjalanan menuju ibu kota adalah 550 kilometer, sehingga peluit akan dibunyikan sebanyak 5 kali. 1 peluit untuk keberangkatan, 3 peluit dibunyikan per 100 mil berikutnya—untuk menempuh 100 mil kereta memerlukan waktu 2 jam 55 menit, dan 1 lagi akan dibunyikan ketika kereta api tiba di stasiun ibu kota. Sakti sendiri tidak terlalu memikirkan tentang semua kerumitan angka-angka itu, ia hanya memikirkan dirinya bisa sampai di ibu kota, mengambil obat ibunya, menjual barang-barang yang ia bawa, dan segera pulang kerumahnya. Dirinya sudah sangat merindukan adiknya.

Di atas gerbong beberapa orang masih terjaga dan beberapanya lagi tertidur. Ada yang berbaring, ada yang saling bersandaran, dan ada pula pasangan yang berpelukan saling menghangatkan. Sedangkan di dalam gerbong, beberapa orang tidur di dalam toilet kereta. Meskipun orang-orang tertidur, suara nyanyian 500 Miles tidak pernah berhenti. Suara-suara itu masih terdengar. Mungkin separuh bulan menggantung di langit yang sedang Sakti pandang juga mendengarnya. Tidak ada awan yang menutupi langit malam ini, sehingga bulan dan cahaya-cahaya bintang nun jauh di sana dapat dilihat dengan mudah seperti yang saat ini Sakti lakukan sembari mendekap kedua kakinya—melihat bulan setengah yang ditemani taburan bintang. Di antara taburan bintang itu ada satu bintang yang cahayanya paling terang, bintang itu paling berkilau dari bintang-bintang yang ada. Tak jauh dari bintang yang paling berkilau itu, sebuah bintang yang cahayanya tidak terlalu terang juga tidak terlalu redup seolah sedang berkedip-kedip. Pandangannya seketika teralihkan ketika melihat kilatan bintang jatuh. Sakti melepas dekapan kakinya, ia memejamkan matanya kemudian melayangkan harapan-harapannya ke angkasa. Tak peduli ketika ia memejamkan matanya ada terowongan atau kabel di depannya. Ia hanya ingin, paling tidak sebentar saja menyampaikan harapannya pada bintang jatuh yang ia lihat.

Meskipun kau bukanlah bintang, dan aku tahu kau tidak akan bisa mengabulkan harapan. Namun di malam ini aku ingin kau menemani adikku yang jauh di sana. Jika ia menangis maka tenangkanlah ia. Jika ia ketakutan maka temani ia. Jika ia kedinginan maka hangatkanlah ia. Sampaikanlah padanya aku akan segera menyusulnya pulang. Sampaikanlah bahwa setelah perjalanan ini tidak akan ada lagi air mata yang jatuh.”

Sakti tersenyum. Perlahan membuka matanya. Tetiba tanpa ia mendekap kedua kakinya lagi ia tak lagi merasa kedinginan, ia merasakan kehangatan yang tak tahu dari mana asalnya. Dirinya kembali memandang separuh bulan di atas langit yang gelap bertaburan bintang. Selama kereta melaju dirinya terus menerus memandang bulan separuh itu. Hingga masinis membunyikan peluit ke empat pun matanya tak pernah ia palingkan dari bulan itu. Sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun ibu kota. Semakin dekat dengan stasiun ibu kota semakin lirih juga suara nyanyian orang-orang. Suara nyanyian akhirnya benar-benar hilang. Kereta telah sampai dan peluit kedatangan dibunyikan. Para penumpang turun dengan sangat sunyi. Wajah mereka terlihat teramat sangat letih, matanya sayup penuh kantuk, dan dilihat dari cara berjalannya yang menunduk kaki mereka terlihat seolah takan mampu lagi untuk menopang badannya. Begitu juga dengan Sakti, meskipun ia tak se-keletihan penumpang lain.

Jam gantung yang berada di lorong jalan stasiun menunjukan pukul 00:32. Sakti memutuskan untuk beristirahat di stasiun itu. Ia mencari kursi panjang untuk dijadikannya tempat tidur. Setelah berjalan sebentar di sekitaran, ia akhirnya menemukan kursi panjang di tempat tunggu keberangkatan kereta. 8 baris kursi panjang alumunium bersusun ke belakang, di mana setiap barisnya diisi 4 kursi tunggal yang saling berdempet tanpa pembatas di tengahnya. Di baris ke tujuh sepasang kekasih yang sudah tua sedang tidur, si nenek tidur berbaring di pangkuan suaminya yang juga sedang tidur namun sambil duduk. Di baris ke 8 seorang pria paruh baya tengah mengobrol melalui telepon genggamnya dengan seseorang, dilihat dari raut wajahnya tampaknya ia sedang membicarakan suatu hal yang rumit dan tidak terlihat baik-baik saja. Jika dilihat dari penampilannya pun pria itu sepertinya sudah tak punya waktu untuk merawat diri, rambutnya berantakan, bajunya lusuh, wajahnya kusam, dan tangannya sering menggaruk-garuk kepalanya. Entah karena kepalanya banyak ketombe atau banyak pikiran.

Sakti berbaring pada kursi baris pertama. Tas ranselnya ia gunakan sebagai bantalan kepalanya. Ia memejamkan matanya. Dalam kegelapan matanya, pikirannya melayang-layang jauh ke rumahnya. Apakah Mey sudah makan? Apakah tidurnya nyenyak? Apakah ia digigiti nyamuk? Pikir dirinya menjelang pergi ke tempat yang tidak pernah terungkap oleh siapa pun. Ke mana perginya kita semua ketika tidur. Namun pikiran-pikiran itu tak lama singgah di kepalanya, mungkin karena ia keletihan akibat perjalanan yang panjang dan ingin menyudahi rasa laparnya yang ia rasakan jika tetap terjaga, ia masuk ke alam tidur dengan cukup cepat.

“Mamah...,”

“Kalau jalan hati-hati dong!!”

“Minggir!! Minggir!!!”

“Yang haus!! Yang haus!!!”

“Kita harus segera pergi meninggalkan kota ini.”

“Ibu, kita akan ke mana?”

“Ke mana saja, asalkan tidak di kota ini.”

“Bangun!!! Ini bukan tempat pribadi!!! Jangan seenaknya tidur di sini!!!”

“Mamah!!!”

“Diam!!! Jangan menangis terus!!! Aku juga pusing!!!”

“Bangun sialan!!!”

“Ayo dibeli... dibeli!!!”

Semua suara bertumpuk menjadi satu. Suara orang-orang, langkah kaki yang bergesekan dengan lantai, pengamen-pengamen, para pedagang yang menjajakan dagangannya, suara-suara dari pengeras suara, dan semua suara-suara lainnya saling tumpah ruah di stasiun ibu kota itu.

“Sialan! Bangun bocah!!!” seorang pria tinggi kurus mengenakan celana jeans menarik Sakti yang sedang tidur. Sakti terjatuh dari kursi panjang. Seketika ia bangun dari tidurnya, matanya membuka namun masih belum bisa melihat dengan jelas. Pria tinggi kurus itu kemudian duduk di kursi baris pertama paling kiri, ia meremas-remas kepalanya. Karena cara bangun yang tidak biasa dan suasana yang telah menjadi sangat berbeda dari sebelum ia tidur, otaknya harus memproses dan menyinkronkan semuanya. Setelah semua sinkron dan dapat dipahami oleh dirinya, Sakti kemudian duduk pada kursi baris pertama paling kanan. Dua orang datang dan duduk di tengah dirinya dan pria bertubuh kurus yang membangunkannya. Tujuh baris kursi di belakangnya sudah penuh diduduki orang-orang.

“Maafkan aku ayah, andai aku tidak terlambat datang ke kota ini dan membawamu pergi lebih cepat mungkin kita masih bisa bersama-sama,” kata pria bertubuh kurus, menangis dan penuh penyesalan. Entah apa yang telah terjadi pada dirinya dan ayahnya, tampaknya pria bertubuh kurus yang kira-kira umurnya 30 tahunan itu sedang sangat menyesali sesuatu.

Sakti mengedarkan pandangannya ke area stasiun. Entah berapa jumlah pasti orang yang ada di sana, yang jelas seluruh area stasiun sangat penuh dan sesak seperti kerumunan semut yang sedang berkerumun untuk menjemput makanannya. Kereta keberangkatan pertama yang keberangkatannya masih beberapa puluh menit lagi pun sudah penuh dengan penumpang-penumpangnya. Di luar masih banyak orang-orang yang berusaha untuk masuk menaiki kereta. Jauh lebih banyak dari penumpang pada saat Sakti naik kereta dari kotanya. Terlihat orang-orang sangat tergesa-gesa ingin segera meninggalkan kota ini.

Tiba-tiba perut Sakti berbunyi. Bukan sebuah makanan yang ia pikirkan saat mendengar bunyi perutnya itu, tapi yang ada di dalam kepalanya adalah ia harus segera meninggalkan stasiun dan pergi ke rumah sakit untuk mengambil obat ibunya. Hari ini ia akan mengambil obat di rumah sakit, menjual barang-barang yang ia bawa, dan di hari yang sama atau paling lama besoknya ia harus berada di stasiun ini lagi untuk melakukan perjalanan pulang. Sebelum pergi meninggalkan stasiun, ia memastikan barang-barang yang ia bawa masih ada di dalam tas ransel miliknya. Setelah membuka resleting tasnya ia kaget, di dalamnya hanya ada jam tangan pemberian ayahnya, resep obat ibunya, dan sebuah robekan kertas yang memuat alamat rumah sakit dan rumahnya. Radio dan konsol permainannya tidak ada. Ia tidak tahu sejak kapan kedua barang itu menghilang. Namun dilihat dari sobekan yang ada di samping tas miliknya itu, nampaknya kedua barang itu telah dicuri oleh seseorang. Barangkali juga jika dilihat dari robekannya, pencuri itu melubangi tas milik Sakti menggunakan sebuah benda tajam, semacam pisau atau gunting. Dirinya melupakan nasihat dari ayahnya tentang pencopet di stasiun. Saat kau membawa tas, pastikan kau menggendongnya di depan.

Sakti sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Peluang untuk kedua barangnya yang hilang bisa kembali padanya lagi adalah 0,0001 persen. Ia mengambil jam tangan dan tiga kertas yang berada di dalam tasnya. Jam tangannya ia pakai untuk berjaga-jaga agar tidak hilang seperti kedua barang miliknya yang lain.

“Tunggu, ini apa?” sakti mengambil satu kertas yang tak merasa ia bawa. Ia balik kertas tebal berwarna putih kejinggaan itu. Mey kecil terlihat sedang tersenyum bahagia di gendongan Ibunya dengan rumah sebagai latar belakangnya terlihat tergambar pada kertas itu. Pada foto itu ibunya tengah memegang mangkuk kecil berwarna biru, dirinya juga terlihat malu-malu seperti sedang menolak untuk difoto. Meskipun tangannya menjulur ke arah kamera untuk menutupi wajahnya, namun wajahnya masih tertangkap di foto tersebut. Dan Meskipun foto itu sudah usang, tetapi foto itu masih cukup jelas menggambarkan senyum indah adiknya dan ibunya. Sakti tersenyum memandangi foto yang tak sengaja ia temukan. Ia melipat foto itu kemudian ia masukan ke dalam saku celananya bersama dua kertas lainnya. Sakti bergegas meninggalkan stasiun. Di luar stasiun orang-orang berjalan masuk ke dalam area stasiun yang sudah penuh dan sesak.

Sepertinya aku harus menjual jam ini terlebih dahulu, tapi di mana? Batin Sakti sembari menyusuri jalanan ibu kota. Kota ini terlalu luas untuk dirinya yang masih kecil. Ia melangkahkan kakinya tanpa petunjuk arah, ke mana pun asalkan bisa menjual jam tangan itu. Sepanjang perjalanan itu dirinya menjumpai banyak hal. Toko-toko banyak yang tutup, petugas kepolisian berpatroli, dan sebuah aksi demo yang diwarnai bentrokan antara demonstran dengan petugas pengamanan. Di hari ini juga pemimpin negeri memberikan sebuah ungkapan kepada para wartawan sebelum dirinya pergi ke luar negeri untuk melakukan kunjungan kenegaraan dan untuk menghadiri konferensi bersama pemimpin-pemimpin negara lain. “Reformasi sekarang telah menjadi kebulatan kita,” katanya. Menurutnya reformasi sebenarnya sudah dikenal masyarakat sejak zaman revolusi dan dilakukan terus-menerus. Ia mengingatkan pula, keinginan melakukan reformasi jangan sampai mengorbankan segala-galanya sehingga merusak hasil pembangunan.

Akhirnya Sakti menemukan sebuah tempat yang sekiranya ia bisa menjual jam tangan miliknya di sana, meskipun dirinya ragu jam itu akan terjual di sana karena toko itu adalah toko jual beli barang antik. Toko tersebut berada di antara toko-toko lain yang sedang tutup dan dipagari dengan teralis-teralis besi. Toko barang antik tersebut adalah satu-satunya toko yang buka dari semua toko yang ada di sana. Meskipun pertokoan tersebut berada di daerah yang cukup padat penduduk, namun suasana di sana terlihat sepi. Seorang kakek tua berusia 70 tahunan keluar dari toko barang antik tersebut. Sepertinya kakek itu adalah pemilik toko dan sepertinya juga ia hendak menutup tokonya. Hanya saja ketika ia mendapati Sakti yang memandang dirinya dan toko itu, kakek itu memanggil Sakti,

“Hey anak muda. Kemarilah, apa yang sedang kau lakukan di sana?” kata kakek tersebut memangil Sakti. Sakti menghampirinya.

Lihat selengkapnya