Tubuhnya kurus kering, lusuh, dan kumuh seperti seorang gelandangan. Perutnya sudah tak terisi selama beberapa hari. Selama berhari-hari pula ia masih berusaha berjalan melangkahkan kakinya menuju rumah sakit yang ia tuju. Perjalanan itu terasa begitu jauh. Ia berjalan dengan langkah yang gemetar dan badan membungkuk untuk membantu menahan perutnya yang membuatnya begitu kesakitan. Disusurinya jalanan besar di kota itu. Selama perjalanan itu ia telah menyaksikan banyak hal terjadi pada satu-satunya kota di mana ia bisa mendapatkan obat untuk ibunya.
Bangunan terbakar di mana-mana. Orang-orang berlalu lalang menyelamatkan diri. Orang-orang membobol toko-toko dan mengambil barang-brangnya. Seseorang memandang langit penuh asap sambil berkata meratap, “Ini benar-benar terjadi. Ketika semua harga barang naik jauh di atas awan, nyawa manusia malah tidak ada harganya”. Darah bercecer di jalan bekas aksi unjuk rasa. Jerit tangis bersahut-sahutan. Ketakutan dan kelaparan membunuh lebih banyak daripada peluru perang. Orang-orang yang telah kehabisan suara berteriak-teriak di gedung parlemen hanya agar suaranya sampai dan didengar, meski darah dan nyawa taruhannya. kendaraan-kendaraan perang berpatroli untuk mengamankan kota meskipun di sana tidak sedang terjadi perang. Naluri hewan buas yang terpendam kembali tumbuh dalam jiwa-jiwa manusia, seperti sekawanan singa yang sedang bertarung untuk bertahan hidup atau hanya sekadar menguasai. Seseorang memandangi sepatunya dan berkata, “Aku sudah tidak bisa membedakan lagi apakah orang-orang itu gila atau aku sendiri yang sudah gila?”. Tempat-tempat keberangkatan transportasi berdesakan hingga membuat beberapa orang tidak bisa bernapas, ada pula yang karena berkelahi antara satu sama lain. Sudah seperti akhir dari sebuah cerita tentang sebuah negeri. Jika tak berakhir, maka akan berakhir. Dan di sinilah semuanya adalah nyata. Di dunia ini darah yang mengalir adalah darah nyata, air mata yang mengalir adalah air mata nyata, ketakutan yang dirasakan adalah ketakutan nyata, kesakitan yang dirasakan adalah kesakitan nyata, dan setiap kematian adalah kematian nyata. Di dunia inilah cerita dua hati dilahirkan, Satu menguatkan yang lain, mengarungi lika-liku kehidupannya yang abadi.
“Mey, sebentar lagi pasti kakak akan pulang, tunggulah,” batin Sakti sambil berjalan menuju rumah sakit yang sebentar lagi akan selesai ditempuhnya. Angin berembus di jalan di mana kaki Sakti dilangkahkan. Sebuah pesawat kertas dari arah pohon yang ada di trotoar meliuk-liuk dan jatuh tepat di depannya. Ia mengambil pesawat kertas itu. Dibukanya lipatan pesawat kertas itu dan terlihat sebuah pemandangan yang indah tergambar begitu sempurna di kertas itu. Ketika ia memandanginya, kertas yang ada dalam tangannya terbang oleh embusan angin yang kencang dan jatuh di tengah-tengah jalan. Sakti melanjutkan perjalanannya lagi.
Akhirnya sebuah plang bertuliskan “terminal” dengan angka 500 meter di samping tulisan itu ditemuinya. Namun tubuhnya sudah hampir tak bisa membawanya lagi ke rumah sakit yang ia tuju. Meskipun demikian ia tetap berusaha melangkahkan kakinya lagi dan lagi. Ketika ia semakin mendekat suara teriakan dari arah depan lirih terdengar. Semakin dekat semakin jelas. Dan ternyata suara itu dari mahasiswa yang sedang berdemo dan hendak menuju ke gedung parlemen namun dihadang oleh petugas pengamanan. Ribuan mahasiswa itu terus berteriak-teriak agar diizinkan ke gedung parlemen untuk menyuarakan aspirasinya. Suasana di sana terlihat sudah cukup mencekam, tapi mau tidak mau Sakti harus melewati kerumunan itu untuk mencapai tujuannya yaitu rumah sakit.
Tidak peduli apa yang akan terjadi pada dirinya ketika masuk ke dalam kerumunan besar itu. Ia harus tetap berjalan, juga harus tetap hidup. Adik, Ibunya, dan rumah, itulah yang barangkali terus memberikan energi dalam tubuhnya sehingga masih bisa menahan semua rasa sakit dan tubuh lemahnya. Suasana unjuk rasa semakin menegang ketika para demonstran mulai memaksa merangsek ke depan. Sakti masuk ke dalam kerumunan. Beberapa kali ia terombang-ambing hingga membuat tas ranselnya hilang. BRUKK!! dirinya terjatuh di tengah kerumunan. Sempat terpikir untuk menyerah di sana. “Barangkali ini adalah akhirnya”. Namun ketika mengingat adik kecilnya ia bangkit kembali. “Tidak. Ini belum berakhir. Aku harus tiba di rumah sakit itu dan pulang”. Ia mengangkat tubuhnya, “Aku hanya harus berjalan ke dapan”. Di tengah-tengah suasana yang sedang panas-panasnya di mana aksi saling dorong antara mahasiswa dan petugas pengamanan terjadi, tiba-tiba kerumunan membelah seolah memberinya jalan. Kali ini Sakti berlari, itu kesempatannya. Barisan depan mahasiswa berhasil membobol barisan pengamanan. Jalan menuju rumah sakit semakin terlihat jelas oleh mata Sakti. Ia terus berlari dan berlari melewati petugas pegamanan.
“Sebentar lagi aku keluar dari kerumunan ini dan tujuanku akan segera tercapai,” batin dirinya ketika sebentar lagi akan benar-benar keluar dari kerumunan. Satu langkah lagi...,
Duarrr!!!
Tubuh Sakti tersentak dan meregang ke belakang. Sebuah peluru tajam menembus perut bagian sampingnya. Peluru tak mengenai organ vitalnya, namun darah menyembur ke luar. Tubuhnya mematung, matanya melotot, saat itu tubuhnya belum merasakan apapun. Perlahan ia pegang dan lihat bagian yang terkena tembakan. Ketika melihat darah di telapak tangannya setelah memegangnya dirinya benar-benar ketakutan, napasnya tersenggal-senggal, gemetar di seluruh tubuhnya, lalu berteriak sekencang mungkin sambil berlari ke arah depan, “Aaaakkkhhhhh!!!”
Hormon adrenalin yang membuncah membuatnya mampu berlari dengan sangat cepat meskipun tubuhnya sebenarnya sudah kehabisan tenaga. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah ia harus sampai di rumah sakit, mengambil obat, lalu pulang dan bermain bersama dengan Mey di rumah. Para demonstran berhamburan seperti sekelompok semut yang rumahnya dirusak. Empat kali suara tembakan terdengar. Empat kelopak bunga di halaman rumah Sakti terjatuh. Yang jatuh bukan berarti mati, ia akan menjadi penyubur agar bunga itu terus tumbuh dan bermekar lebih indah lagi.
“Huuh... huhhh... huhhh...,” dengan napas yang tersenggal, Sakti mengikat perutnya dengan sebuah kain yang ia temukan. Di depan matanya terlihat sebuah rumah sakit besar dengan tembok berwarna putih. Akhirnya dirinya dapat melihat tempat yang ia tuju ada di beberapa meter di depannya. Hormon adrenalin berhenti ke luar, kali ini ia merasakan kesakitan dan kelelahan dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya. Ia berdiri memandang rumah sakit, pandangannya mulai buram dan sepertinya tubuhnya tidak mampu lagi membuatnya berdiri apalagi melangkah. Tubuhnya merebah terjatuh ke depan. Ketika tubuhnya hampir menyentuh tanah, kaki kanannya melangkah ke depan, menahan agar tubuhnya tidak jatuh. Sakti tersenyum,
“Belum saatnya. Aku harus terus berjalan ke depan,” katanya. Ia melangkahkan kaki kirinya ke depan. Ia hampir terjatuh kembali dan ia terus menahan tubuhnya dengan terus melangkahkan kakinya ke depan.
“Belum. Masih belum. Aku tidak boleh mati di sini. Kalau pun aku harus mati, aku harus mati seusai melihat dan memastikan Mey tersenyum bahagia di rumah,” batin dirinya sambil tersenyum dan terus melangkahkan kaki nya ke rumah sakit yang ada di depan matanya.
Barangkali Mey adalah sumber energi yang terus-menerus membuatnya bertahan dan melangkah ke rumah sakit itu. Hingga akhirnya Sakti berhasil menginjakan kakinya di lobi rumah sakit itu. Suasana rumah sakit itu sibuk sekali.
Tiba-tiba petugas keamanan menghampiri Sakti dan hendak menyeretnya keluar.