Minggu, 10 Mei 1998. Itu adalah hari ulang tahunnya yang ke empat. Seharusnya hari ini ia sedang merayakan hari kelahirannya itu bersama dengan kakak, ibu, dan ayahnya. Seharusnya juga hari ini ayahnya memberikannya sepatu baru. Tak pernah ada yang tahu kenapa dirinya ingin sekali dibelikan sepatu oleh ayahnya. Barangkali untuk menguatkan kakinya dari perjalanan hidupnya yang akan sangat panjang ke depan nanti. Tapi di hari ini, dirinya sudah tidak mengingat hal-hal yang demikian. Hari ini ia sudah tidak bisa menyuapi ibunya lagi karena memang sudah tidak ada yang bisa dimakan oleh ibunya. Hari ini ia hanya duduk di bawah pohon Kamper dan terus-menerus memandangi Piyak yang sedang mencari makanan di tanah dengan matanya yang sayu. Sesekali liurnya menetes turun. Ia mencoba berdiri lalu berjalan menghampiri Piyak. Mey membawa Piyak ke bawah pohon Kamper. Ia kembali duduk dan meletakan Piyak tepat dihadapannya. Piyak hanya mampu menatap balik ketika dua bola mata Mey menatap dirinya. “Piyak... dengarkan Mey,” ucap Mey dengan nada bicara yang begitu lemah. Piyak memasang wajah serius, seolah dirinya akan menghadapi pembicaraan yang serius.
“Piyak harus pulang,” kata Mey pelan.
“Nanti Mey antarkan Piyak,”
“Piyak mengerti kan?”
“Mey harus rawat ibu,”
“Mey tidak punya waktu bermain lagi dengan Piyak,”
Piyak tak mengeluarkan suara, ia hanya menyimak perkataannya.
“Mey juga harus seperti Piyak, mencari makan sendiri,”
“Terima kasih sudah temani Mey,” Mey tersenyum.
“Piyak!!! Piyakkkk!!!!” suara Piyak keras.
“Kakak sebentar lagi akan pulang, jadi Mey tidak akan sendiri lagi,”
Piyak mendekat ke tubuh Mey, seolah ingin memeluk mey dan tak ingin melepaskannya.
“Piyak nanti jangan nakal sama ibu piyak,”