Di bawah pohon Kamper Mey terbaring. Napasnya menyatu dengan napas pohon Kamper. Suara bel sepeda mulai terdengar dari kejauhan, perlahan memasuki halaman rumahnya. Sakti segera menaruh sepedanya di samping rumah, kemudian ia berlari menghampiri Mey.
“Mey, bangun Mey.”
Mey membuka matanya perlahan, dipandangnya kakaknya.
“Wlee...,” Sakti menjulurkan lidah sembari menarik kedua telinganya, kemudian ia tertawa. Mey yang kesal karena kakaknya meledek dirinya berteriak, “Kakak...,” kemudian bangun dan mengejar kakaknya. Sakti berhasil tertangkap Mey kemudian jatuh tertawa-tawa, Sakti bangun dan balik mengejar Mey. Diiringi dengan tawanya yang sangat lepas, Mey berlari sekencang mungkin agar kakaknya tak bisa menangkap dirinya. Namun, mau sekencang apapun Mey berlari, pada akhirnya Sakti berhasil menangkap Mey. Pada saat itu mereka bermain berbagai permainan yang sangat menyenangkan, seperti bermain ayunan, memetik bunga, petak umpet, juga permainan anak-anak lainnya yang menyenangkan, walaupun akhirnya mereka kembali berlarian—berkejaran. Selayaknya anak kecil yang lain, Mey juga merasakan kebahagiaan dari suatu hal yang tidak dimengerti oleh orang dewasa, yaitu bermain kejar-kejaran. Apa menyenangkannya berlarian tanpa tujuan yang jelas, hanya berlari-lari saja membuatnya tertawa dan senang. Barangkali itu yang akan ada dalam pikiran orang dewasa. Atau barangkali malahan orang dewasa akan iri melihat mereka berdua bisa dengan sangat mudah bahagia, bahkan tidak perlu bersusah payah dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Barangkali orang yang seperti itu akan mengatakan, Betapa menyenangkannya menjadi anak kecil, bahagianya bisa diraih dengan hanya sekadar berlarian. Seandainya aku bisa menjadi anak kecil lagi.
Dalam permainan kejar-kejaran akhirnya Sakti berhasil menangkap Mey dan mengangkatnya ke atas—membawanya berlari kearah rindangnya pohon Kamper yang masih berada di halaman rumahnya. Seolah-olah Mey adalah sebuah pesawat terbang yang sedang terbang sangat tinggi melintasi batas ruang dan waktu, pesawat yang bisa mengeluarkan tawa. Tawanya akhirnya berhenti dan berubah menjadi suara napas yang terengah-engah karena kelelahan tepat ketika mereka berdua berbaring dibawah pohon Kamper. Mereka menghirup kuat-kuat udara yang dihasilkan dari kerja sama Matahari, Pohon, dan diri mereka sendiri. Kemudian mereka mengembuskan napas yang sama kuatnya dengan hirupan itu. Alangkah indahnya kehidupan, selain mereka saling berpasang-pasang, mereka juga saling mengisi satu sama lainnya.
Sepasang mata mereka mengintip langit melalui celah-celah daun pohon Kamper, sesekali sepasang mata itu berkedip ketika daun-daun yang telah mengering menjatuhi wajah polos mereka, sesekali sinar matahari membuat sepasang mata itu tersipitkan ketika angin berembus melewati daun-daun, ranting-ranting, juga cerita tentang dua hati.
“Kak Sakti, Kenapa pohon bisa tumbuh sangat besar, kita tidak?” tanya Mey tepat setelah mengambil daun yang jatuh tepat di atas hidung mungilnya. Nada bicaranya polos, datar, lucu, dan menggemaskan. Apalagi ditambah rambut pendek dan pipi gendutnya yang membuat dirinya semakin menggemaskan.
Sakti membuka matanya yang terpejam, ia bangun dari baringannya.