Prang!!
Suara sebuah tutup panci alumunium, yang terjatuh ke lantai. Lebih tepatnya dibanting. Alnira berdiri di sana. Matanya sembab. Sementara Dera, hanya bisa tertegun di ujung ruangan berukuran 3x4 meter dengan cat kusam itu. Malam itu, Dera baru saja kembali dari bertemu dengan salah satu calon penulis, yang naskah novelnya harus ia edit.
Ya, genap setahun, Dera bekerja sebagai editor pada sebuah penerbitan lokal. Sehari-hari, Dera biasanya bekerja dari rumah. Tapi hari itu, ia terpaksa harus pergi keluar. Ada beberapa alasan. Selain karena si penulis masih baru, sehingga harus ia temui langsung. Kedua yang menjadi asalan paling penting. Dera harus pulang membawa uang.
Sore sebelum berangkat, Alnira sang istri sudah berpesan. Ia sangat berharap jika Dera bisa memboyong setidaknya 2 bungkus mie instan untuk mereka makan malam itu. Bukan apa-apa, pasangan muda ini sudah menahan lapar sejak pagi.
Ssshh !! Hik Hik Hik!
Nira, berkali-kali menyeka air matanya percuma. Cairan bening, dan sedikit lengket dari hidungnya bahkan tak mampu dibendung. "Orang tuaku pasti bilang aku bodoh !!. Percaya kok sama orang macam kamu!!!," Nira terisak. "Aku kira kamu beneran bisa, sekalinya apa ?! Kita harus gimana, aku lapar Der. Lapar!," rengek Nira sambil sesenggukan.
Dari ujung ruangan, Dera berjingkat. Ingin rasanya memeluk wanita itu. Tapi ia lebih memilih diam. Nira meronta. Ia berteriak tak terkendali. Kakinya menggigil. Antara menahan lapar, dan emosi. Hingga Dera memutuskan bersuara. "Aku udah usaha. Aku malu kalau pinjam lagi. Sudah terlalu sering, aku pinjam sama orang kantor, aku-," "Terus kita mau makan apa bodoh ?!!," Nira memotong tergesa-gesa.
"Coba daripada kamu keluar gak jelas tadi, mending kamu cari uang. Gimana kek caranya," Nira bisa mendengar dari telinganya sendiri. Betapa suaranya serak karena terlalu lama menangis.
Ada jeda sekitar 30 detik. Keduanya sama-sama tak bersuara. Menyisakan lantunan bunyi beep dari spido meter PLN prabayar yang terus berbunyi, pertanda token sudah hampir habis.
Makin lama, bunyi beep seperti suara jantung Dera yang makin kritis. Tak terpikirkan olehnya. Bagaimana ia melewati malam ini.
Ia ingat, tak satu Rupiah-pun dimiliki. Rekening ? Jangan tanya. Satu-satunya sumber pengisi rekening itu, adalah gaji bulanannya yang sudah habis. Bahkan pada Minggu pertama sejak ia menerimanya.
Apakah ia boros ? Dera menggeleng. Untuk sekedar membeli kemeja baru, ia harus menabung paling tidak 4 bulan. Jangan tanya soal tabungan. Dera hanya bisa menikmati paling tidak Seperempat gajinya, setelah membayar sewa rumah, beberapa cicilan seperti kendaraan, dan perabot.
30 detik itu, terasa seperti sewindu. Dera maupun Nira, sama-sama belum bergerak. "Kamu mau diam aja hah ?! Sampe kita mati di sini ?" Nira memecah keheningan.
Dera memutar otak. Hingga nyaris tak bisa membedakan realita di depannya. Nira beranjak meninggalkan dan pergi ke kamar.
Membanting pintu dengan cukup keras, bahkan untuk terdengar dari jarak 15 meter.
Ceklek.
Ceklek
Nira mengunci pintu.
*****
Jebret !!
Nira membanting pintu. Dera gelagapan. Rupanya semalaman, ia tertidur di ruang tengah kontrakannya. Tak beralas apapun.
Dera mengusap perut. Amat perih di dalam sana. Tiba-tiba ia terpikir, bagaimana dengan Nira. Apa dia baik-baik saja ?