Selain karena lelah secara fisik. Tulang belulang pemuda itu, kini seperti remuk redam. Peliknya persoalan ditimpakan kepadanya, seperti terus menghimpit dan terus melesakkan tubuhnya. Tidak, tidak. Dia tidaklah berbadan kurus, seperti yang kau bayangkan ada dalam buku-buku cerita.
Ini adalah Dera. Versi hidupnya tak pernah sama sekali ia rela disamakan dengan apapun, atau siapapun. Bahkan untuk hal kesusahan, Dera tak ingin kalah.
Dera menunduk. Kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang ditangkupkan dengan kedua siku yang ditumpangkan ke masing-masing lutut. Kursi besi, selalu berderit setiap kali laki-laki itu menggerakkan tubuh. Raganya memang di sini. Sebuah ruang tunggu kamar operasi. Lebih tepatnya bagian depan, dari ruang tindakan operasi di rumah sakit swasta. Tapi pikiran Dera melayang, entah ke mana. Ada khawatir bercampur panik, dan juga takut. Ia hanya tahu, dokter akan menyelesaikan tindakan operasi dalam 2 jam. Sebuah sel kanker, harus diangkat dari dagu Alnira, istrinya.
Di benak Dera, badai seperti menerjang tanpa ampun. Ia bahkan berharap mati saja, asal semua ini segera berakhir. Baru 30 menit ia duduk di sana. Tapi rasanya seperti seumur hidup. Rasanya, badannya terlalu lelah untuk menguap, sebagai tanda kantuk menyergap. Tanpa peringatan, 2 detik nyawa lelaki itu seperti terbang menjauhi badannya.
Cepat, tapi amat mengagetkan. Dera tertidur, dan seketika bangun karena kaget. Ia menegakkan tubuh. Menyandarkan kepala ke dinding di belakang kursi panjang itu. Derit panjang tercipta dari gerakan menyenderkan punggung Dera. Suasana hening, berubah seketika.
Sorot pandang beberapa orang dengan wajah kusut di samping depan kanan dan kirinya, seperti menembakkan sejuta pertanyaan ke arah Dera. Ia bergidik. Menampilkan wajah melas, dengan senyum permohonan maaf. "Im sorry," katanya tulus.
Sorot-sorot mata itu perlahan beralih. Tapi Dera tak sepenuhnya bebas. Ia tahu itu.
Satu jam lalu. Ia masih bisa menggenggam tangan Nira. Memberinya motivasi agar berani menjalani prosedur operasi. Ia yakin benar, Nira pastilah amat ketakutan. Namun, bayang-bayang ganasnya kanker mampu membuat Nira mengabaikan rasa takutnya. Berkali-kali, Dera mengelus kepala istrinya itu. Ia sedikit berjongkok meraih kepala istrinya yang terbaring di tempat tidur beroda, yang akan mengantarkan Nira ke ruang tindakan operasi.
Dera nampak melempar senyum secara sembarangan, kepada 3 kelompok orang yang ada di ruangan itu. Ya mereka juga bakal menjalani prosedur operasi. Entah sebelum, atau sesudah giliran Nira.
Jeglek.
Dera terkesiap. Sekonyong-konyong bangun dari posisinya duduk. Seorang berpakaian serba hijau, dengan sarung tangan lateks keluar dari ruangan operasi.