Nira masih setengah sadar, ketika ia bisa meihat lamat-lamat sosok suaminya datang. Rasanya lama sekali ia tak bertemu laki-laki itu. Ya laki-laki sangat biasa yang berhasil membuatnya yakin menjalani pernikahan pada usia awal 20-an.
Memang apa istimewanya Dera. Nira harus mengakui, bahwa tidak ada yang istimewa dari suaminya itu. Ia tentu masih ingat, betapa 3 tahun lalu, saat Dera datang ke rumahnya untuk pertama kali. Mengenakan kaus band metal warna hitam, dengan sablon gambar-gambar menyeramkan. Celana jeans bladus, dengan bagian lutut yang robek.
Alih-alih mengendarai sepeda motor keren agar terlihat macho. Dera kala itu justru menumpang kendaraan bak terbuka milik temannya, yang mengangkut penuh buah Sukun di bagian baknya. Menenteng boneka Lumba-lumba. Hewan kesukaan Nira. Bayang-bayang kebahagiaan dalam kesederhanaan yang dahulu selalu dibayangkan Nira, tentu adalah hal yang wajar.
Ia tahu benar, tak mungkin berharap banyak pada Dera. Laki-laki yang hanya mampu mengajaknya makan bakso di pinggir sungai, bahkan ketika awal mereka pacaran. Nira juga percaya, tak ada yang dibuat-buat dari lelakinya itu. Hanya sesuatu yang tulus. Seperti malam ini, saat tubuh Nira masihlah terasa berat, karena pengaruh anestesi.
Ia memandangi wajah Dera yang sangat biasa saja. Ya nyaris tak ada sedikitpun hal yang mungkin bisa dibanggakan dari fisik suaminya itu. Langkah demi langkah, hingga Dera benar-benar sampai di hadapannya. "Badanmu dingin banget," kata Dera sambil menggenggam tangan Nira.
"Gimana rasanya tadi ?" katanya lagi.
"Aku takut yang,"
"Takut banget, kalau aku gak bisa bangun lagi," jawab Nira lirih.
"Jangan ngomong gitu lah, malas aku," ucap Dera.
"Maafin aku ya," Dera bicara lagi. Kali ini sambil membetulkan anak rambut yang lolos dari ikatan di kepala Nira.
"Maaf untuk apa ?" Nira bertanya.
"Ya, aku rasa semua ini adalah kesalahanku. Semenjak kita nikah, kamu selalu dapat hal yang enggak membahagiakan," kata Dera.
"Ah ngaco, gak ada hubungannya," Nira terdengar kesal.