Jangan Rapuh

bismikaaaaa
Chapter #3

Cina Ireng

Untung gue pake sunscreen tadi pagi. Walaupun kesiangan, gue tetep mandi dan skincare-an. Lagian udah kadung siang. Anak-anak normal biasanya bakal sekalian ga masuk. Tapi gue sama Axel kan bukan anak-anak normal, tapi anak-anak spesial—tanpa spe.

Berpasang-pasang mata menatap kami berdua yang dijemur di tengah-tengah lapangan. Lalu lalang semakin ramai, berbondong-bondong menuju kantin. Sial, emang. OB itu gercep fotoin kami dan lapor ke kepsek.

KEPSEK!!!!

Sialan.

Gini nih, kalo OBnya aja magister kriminologi

Gue menurunkan tangan, menggaruk-garuk hidung gue yang terasa gatal. Axel menahan tawa—pasti karena melihat wajah gue yang udah siap saji. Gue memanyunkan bibir kesal melihat Axel yang tak memberi respon atas isyarat capek gue, dan malah ngetawain muka gue.

“TANGANNYAAAAA” Seru Varsha, tangan kanan Pak Kepsek yang ditugasi jagain gue dan Axel agar tetap menjadi seperti patung liberty di tengah lapangan. Dengan pose berdiri tegak, kepala sedikit menegadah, dan tentu saja hormat kepada bendera merah putih yang berkibar gagah.

Peluh mengalir dari kening gue.

“Merah anjir mukanya”

“Wkwk… abis pake produk KW kaliii”

Bisik-bisik terdengar dari gerombolan Varsha dan circlenya yang duduk tak kurang 5 meter dari tempatku dan Axel mematung.

Nada suara itu jelas bisikan, tapi volume suaranya tetap terdengar sampai jauh dari batas jangkauan sebuah bisikan.

Gue menyeringai. Dasar orang-orang iri.

Axel udah ngasih tau gue perihal circle Varsha itu. Mereka populer dengan segala aksi perundungan dan kenakalan lainnya. Tapi mereka ga pernah benar-benar dihukum, kayak Axel dan gue saat ini.

Sudah jadi rahasia umum, circle Varsha yang isinya cegil sintal itu merupakan anak-anak kesayangan pak kepsek kami yang—mohon maaf—brengsek.

Tapi sayangnya, gue dan Axel ternyata lebih brengsek.

Selain cantik jelita, circle Varsha juga kaya raya. Tapi yang paling waras—dengan standar waras: masih bisa mengerti kata perintah— diantara mereka adalah Varsha, sehingga dialah yang paling sering dibebani tugas-tugas seperti ini.

“Cin” suara Axel memecahkan lamunan gue. Matanya memberi isyarat.

Gue mengernyitkan dahi. Mendengus kesal.

Butuh beberapa menit lagi untuk bertahan.

Setelah jam istirahat selesai, teman-teman circle Varsha pergi satu persatu, kembali ke kelasnya masing-masing. Meninggalkan Varsha yang tetap anteng dengan seabrek-abrek cemilan.

Beberapa di antara mereka ngelirik gue sinis. Pipi gembilnya menjepit hidungnya yang kecil, dan matanya yang sipit. Pantatnya melenggok-lenggok ke kanan dan ke kiri, seirama dengan langkah kaki yang gabisa cepat karena beban lemak. Muak banget anjir gue liatnya. Kayak karung beras lagi jalan.

Varsha masih memperhatikan kami dengan teliti, sambil memainkan ponsel dan menyantap cemilan. Guru-guru yang hendak pergi ke kelas ajar masing-masing berlalu lalang. Menatapku dan Axel dengan tatapan astagfirullah, nak, kalian lagi kalian lagi.

Wkwk… biasa lah, bu, pak. ANAK SPESIAL—tanpa spe.

Berakhirnya jam istirahat sama dengan jam 10 pagi. Mataharinya masih sehat—maybe, tapi muka gue ini agak lain emang. Gue mendelik pas sadar Axel masih ngetawain gue, ngetawain muka gue.

Lihat selengkapnya