Jangan Rebut Pacarku

Neneng Hendriyani
Chapter #2

Surat Cinta #2

"Nu, selamat ya." Arista, si tinggi, itu tiba-tiba datang memeluknya. Suaranya yang cempreng membuat semua orang menengok ke arahnya.

"Selamat? Selamat buat apa, Ta?" Tanti mendekat sambil bertanya.

"Kakak terimut di OSIS itu nembak dia kemarin. Eh, emang lu ga tahu ya?" Jelasnya. Kontan mata Tanti melotot.

"Kak Sigit? Cowok yang udah nabrak lu itu, Nu?" Ia mulai menginterogasi.

"Masa sih lu suka sama dia?"

"Emang kenapa, Tan? Sigit cakep, baik dan doi sahabat pacar gua." Bela Arista.

"Ya, sih. Dia emang imut. Tapi, gimana gitu." Tangannya mulai mengibaskan rambutnya. Aroma tidak sedap mulai menguar di ruang kelas. Semua cewek mulai asyik membicarakan hubungan yang baru seumur jagung itu.

Ah, Sigit memang istimewa. Setidaknya itulah gambaran dan kesan yang ditangkapnya siang itu. Semua cewek yang mengenalnya terkaget-kaget kala tahu Sigit yang anti cewek itu nembak anak baru. Adik kelas pula.

Sigit dan Nunu laksana langit dan bumi. Tak selayaknya mereka jadian. Yang satu rame banget. Satunya pendiam. Yang satu pinter banget. Satunya cuma asal. Wkwk. Setidaknya itulah yang dirasakan Nunu, cewek tomboy yang baru saja sadar ada puluhan mata yang mulai mengawasi tindak tanduknya sejak siang kemarin.

Tanti, cewek mungil yang berkulit hitam manis itu mulai menjauhinya. Tak ada lagi berangkat dan pulang sekolah bareng-bareng. Tiap kali Nunu menyapanya, ia langsung pergi. Wajahnya selalu ditekuk tiap kali guru memberikan skor tinggi untuknya.

Sementara itu Sigit masihlah Sigit yang pertama dikenalnya. Masih cuek, meskipun sekarang statusnya sudah bukan lagi kakak kelasnya saja. Ia tak pernah pulang sekolah bareng seperti Arista dan Ari atau Putri dan Oki. Ia dan Sigit tetap pulang masing-masing dengan anggota gank masing-masing. Terkadang ia merasa iri kepada teman-teman sekelasnya yang bisa pulang bareng dengan pacarnya.

"Alah, ngapain sih pulang bareng cowok? Nggak seru!" Tukas Lidia satu hari saat ia curhat.

"Ya, bukan soal seru nggak seru, Lid."

"Oh, jadi lu nggak mau lagi pulang bareng kira-kira nih?" Balas Juwita rada nyolot.

Duh diajak curcol malah jadi berantem. Cape deh.

Ia memilih diam sepanjang jalan. Benaknya terus memikirkan apa sih sebenarnya pacaran itu. Kok begini ya setelah punya pacar? Nggak hepi.

***

Buat yang udah memberikan senyum terindah. Nggak usah mikirin omongan orang-orang, ya. Meskipun kita nggak pernah jalan bareng-bareng, kita tetep jadi pacar. Aku nggak mau batasin pergaulanmu. Jadi aku juga mau kamu begitu. Kita saling percaya aja ya, Nu.

Asal kamu tahu aja, ya. Sejak pertama kali ketemu kamu pas di meja pendaftaran itu aku udah ngerasa kalau bakal jadi pacar kamu.

Kamu manis dan gemesin. Apa lagi kalau udah nangis. Bikin gemes pengen nyubit biar nangisnya tambah kenceng. Wkwkk.

Kamu tambah cantik kalau lagi nangis, Nu. Bibirmu jadi merah merona. Seksi.

Udah ya, ntar nggak asyik lagi deh kalau aku terus memuji kamu di surat ini. Nanti kamu kira aku lagi ngegombal. Padahal asli loh aku suka banget sama kamu.

Tetap lah jadi pacarku, ya Nu. Apapun kata orang, kamu tetap di hatiku.

-Sigit Pramono-

Dibacanya berkali-kali surat itu. Ia tak menyangka cowok paling cuek yang baru nembak dia seminggu lalu itu tau perasaannya nggak keruan beberapa hari terakhir. Senyumnya mengembang sekali lagi. Ingatannya kembali ke saat di mana ia menangis sesenggukan lantaran kertas tugasnya nyemplung ke got. Ia nggak paham kok adanya cowok jatuh cinta cuma gara-gara liat cewek nangis.

"Hm, mulai drama lagi deh" Tanti menyindirnya pagi ini. Ia baru saja menegurnya sejak dua hari lalu.

"Please deh, mikir tuh yang normal. Mana ada sih cowok nembak cewek cuma karena tuh cewek nangis" ejeknya.

Lihat selengkapnya