Jangan Sentuh Lukaku

Mer Deliani
Chapter #3

Kamu Bukan Dia

Minggu-minggu berlalu dengan rutinitas Rehna yang monoton: kuliah di jurusan kimia yang penuh angka dan rumus, praktikum di lab hingga larut, menyelinap ke perpustakaan untuk membaca buku sastra, menulis di jurnal pribadinya, dan sesekali menolak ajakan kencan dengan alasan yang sama.

Mila sudah berhenti mengeluh, mungkin sudah lelah. Rehna sendiri merasa baik-baik saja, ia sudah nyaman dengan benteng yang ia bangun. Sampai suatu sore, di kafe kampus.

Rehna sedang sibuk mengetik laporan praktikum di laptopnya, sesekali menyeruput es teh manisnya, ketika sebuah suara menyapa.

"Meja ini kosong?"

Rehna mendongak. Di depannya berdiri seorang laki-laki dengan nampan berisi kopi dan beberapa snack. Laki-laki itu tersenyum tipis. Jantung Rehna berdesir. Entah mengapa, ada sesuatu yang familiar dari senyum itu, dari tatapan mata teduh yang dipancarkannya. Sebuah deja vu yang kuat.

"Eh, iya... kosong kok," jawab Rehna, sedikit kaget.

Laki-laki itu menarik kursi di seberangnya.

"Aku Kevin, anak Manajemen." Ia mengulurkan tangan.

"Rehna, dari Kimia."

"Salam kenal, Rehna."

Kevin tersenyum lagi.

Kali ini, Rehna mengamati lebih seksama. Postur tubuhnya yang tegap, rambut hitamnya yang sedikit berantakan, bahkan cara dia berbicara yang tenang dan pelan. Semuanya memunculkan bayangan Loy begitu jelas di benaknya, seperti foto lama yang tiba-tiba hidup.

Sejak pertemuan itu, Kevin mulai rutin mendekati Rehna.

Kevin adalah tipe cowok yang sabar, tidak agresif, dan selalu tahu cara membuat Rehna tertawa ringan. Mereka sering bertemu di kafe kampus, awalnya untuk membahas tugas atau materi kuliah mereka yang berbeda, tapi lambat laun obrolan mereka semakin personal. Rehna mendapati dirinya nyaman, bahkan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa perlu membangun tembok ketika berhadapan dengan Kevin.

Ia tahu Kevin menyukainya. Terlihat dari cara Kevin menatapnya, dari perhatian-perhatian kecil yang selalu Kevin berikan—seperti membawakan kopi favorit Rehna atau mengingatkannya untuk istirahat saat Rehna terlalu fokus menulis laporan praktikum atau bahkan saat Rehna asyik membaca novel sastra.

Dan anehnya, Rehna tidak menolak. Ia justru membiarkan Kevin masuk, sedikit demi sedikit, ke dalam dunianya. Bentengnya, untuk pertama kalinya, terasa memiliki celah.

Lihat selengkapnya