Setelah insiden Kevin, Rehna kembali membangun benteng yang lebih tinggi dan kokoh. Ia semakin membenamkan diri dalam dunia kuliah Kimia, menghabiskan sebagian besar waktunya di lab atau di perpustakaan, membaca buku-buku tebal yang berbau reagent dan larutan. Seolah-olah, dengan mengurung diri dalam logika dan rumus, ia bisa membekukan semua perasaannya. Pena Loy teronggok di laci meja belajar, jarang sekali ia sentuh. Baginya, pena itu kini lebih mirip fosil dari masa lalu, kenangan yang terlarang untuk disentuh.
***
"Rehna, jangan lari-lari!" teriak Loy, napasnya sedikit terengah.
Rehna hanya tertawa, berlari kecil menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi sepulang tambahan jam pelajaran. Loy, si ketua klub literasi yang disiplin, selalu berhasil dibuat sedikit kewalahan oleh Rehna yang ceria.
"Ayo, Loy! Kita harus buru-buru!"
Rehna berhenti di depan dinding mading sekolah, menunjuk pengumuman lomba menulis cerpen tingkat kota.
"Ini deadline-nya lusa, dan aku belum selesai nulis bab terakhir!"
Loy menghampirinya, tersenyum kecil.
"Kamu ini, selalu mendadak. Memangnya inspirasi bisa datang secepat itu?"
"Tentu saja! Asalkan aku punya partner diskusi yang hebat kayak kamu!"
Mereka pun mencari tempat sepi, biasanya di sudut perpustakaan atau taman belakang sekolah, untuk mendiskusikan ide-ide cerita Rehna. Loy adalah pendengar yang baik. Ia tidak hanya mendengarkan, tapi juga memberikan masukan yang cerdas dan membangun. Rehna selalu merasa terbangun setiap kali berdiskusi dengannya.
Suatu sore, saat senja mulai mewarnai langit, mereka masih duduk di bangku taman belakang sekolah. Rehna sedang membaca draft cerpennya, sementara Loy mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk.
"Terus, bagian ini," ucap Rehna, menunjuk sebuah kalimat.
"Gimana kalau ditambah detail suasana yang lebih mendukung?"
Loy mengambil pena Rehna, yang dulu ia berikan, lalu dengan hati-hati menuliskan beberapa kata di pinggir halaman.