Pengumuman daftar dosen pembimbing skripsi itu bagaikan guncangan kecil di dunia Rehna yang sudah tenang. Takdir seolah punya selera humor yang gelap, menempatkannya di bawah bimbingan Pak Vir—sosok yang kaku, misterius, dan entah mengapa, terasa punya kemampuan untuk mengusik benteng yang sudah Rehna bangun. Ia mencoba menenangkan diri, ini hanya tentang skripsi, tentang akademik. Tidak lebih.
Namun, rasa gugup tetap tak bisa ia hindari saat ia melangkah menuju ruang dosen Pak Vir untuk bimbingan pertama.
***
"Rehna! Tunggu!"
Loy berlari kecil menyusul Rehna di koridor sekolah yang agak sepi. Rehna baru saja selesai latihan paskibra, wajahnya sedikit lelah namun semangat.
"Ada apa, Loy?"
Loy menyodorkan sebuah buku catatan kecil.
"Ini, aku iseng menulis beberapa puisi. Coba kamu baca, terus kasih masukan ya."
Rehna menerima buku itu, hatinya menghangat. Loy, yang selalu terlihat tenang dan dewasa, ternyata juga punya sisi lain yang malu-malu saat menunjukkan karya pribadinya. Itu membuat Loy terlihat lebih manusiawi dan lebih dekat. Mereka duduk di bangku taman, dan Rehna mulai membaca. Puisi-puisi Loy sederhana, namun jujur, penuh dengan observasi tajam tentang kehidupan dan perasaan tersembunyi. Rehna membaca setiap baris dengan saksama, sesekali tersenyum atau mengerutkan kening.
"Loy, ini bagus,"
"Benarkah? Aku cuma... menuangkan apa yang ada di pikiranku."
"Justru itu yang bikin bagus," balas Rehna.
Ia membalik halaman terakhir, dan menemukan sebuah puisi yang belum selesai. Isinya tentang
dua jalan yang berbeda, tapi hati yang saling merindu.
"Puisi ini... tentang apa?"
Loy hanya menghela napas, tatapannya menerawang jauh.