Jangan Sentuh Lukaku

Mer Deliani
Chapter #9

Tidak Akan Lagi

Bimbingan skripsi dengan Pak Vir terasa... berbeda. Rehna menyadari, Pak Vir bukanlah tipikal dosen yang hanya akan menyetujui atau menolak. Ia selalu memberikan masukan yang mendalam, tidak hanya tentang substansi Kimia, tapi juga tentang cara berpikir, tentang objektivitas, bahkan terkadang menyentuh esensi penulisan itu sendiri. Ironisnya, untuk seseorang yang belajar Kimia, bimbingan ini justru mengasah kemampuan Rehna dalam merangkai kata.

Rehna merasa sedikit lebih nyaman berbicara dengan Pak Vir. Bentengnya memang masih ada, tapi ia tidak lagi merasa terancam setiap kali berinteraksi. Ia bahkan mulai menghargai kejujuran dan ketajaman observasi Pak Vir.

Suatu sore, Rehna baru saja selesai bimbingan skripsi. Ia berjalan keluar dari ruang dosen Pak Vir, sedikit lega karena bab tiga sudah diulas tuntas. Sambil menunggu lift, ia memainkan ponselnya.

Lift terbuka, dan di dalamnya sudah ada Pak Vir, yang juga baru keluar dari ruangannya.

"Sudah selesai?"

"Iya, Pak. Tapi masih harus banyak perbaikan," jawab Rehna, sedikit canggung.

Lift melaju turun dalam keheningan yang biasa. Tapi kali ini, entah mengapa, terasa sedikit berbeda. Mungkin karena mereka hanya berdua.

"Rehna," panggil Pak Vir, memecah kesunyian.

"Iya, Pak?"

"Saya melihat esaimu di situs web klub sastra kampus. Itu tentang... seseorang yang pergi tanpa pamit."

Rehna tersentak. Tangannya yang memegang ponsel gemetar. Bagaimana Pak Vir tahu? Ia memang pernah mengirimkan beberapa esai anonim ke situs web klub sastra, sebagai pelampiasan.

Dunia Rehna runtuh sejenak. Rahasianya, "luka"-nya, terekspos begitu saja.

"Itu... hanya karangan saja, Pak,"

"Sebuah karangan yang terasa sangat nyata, Rehna. Ada emosi yang kuat di dalamnya. Terlalu kuat untuk disebut sekadar karangan."

Lihat selengkapnya