Jangan Sentuh Lukaku

Mer Deliani
Chapter #10

Untuk Sebuah Pena

Malam itu, Rehna tidak tidur. Layar ponselnya yang menyala dalam kegelapan kamar menjadi satu-satunya saksi bisu dunianya yang kembali porak-poranda. Di satu sisi, ada rasa sakit yang tajam dari kata-kata Pak Vir, sebuah penolakan yang terasa begitu personal. Di sisi lain, ada foto Loy dengan seragam tentaranya, sebuah hantu dari masa lalu yang tiba-tiba menjadi nyata.

Dua luka.

Namun, alih-alih menangis lebih lama, Rehna merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang dingin dan keras mulai terbentuk di dalam dirinya.

Sebuah keputusan.

Jika dunia terus-menerus memberinya alasan untuk terluka, maka ia tidak akan memberinya kesempatan lagi. Ia mematikan ponselnya, menolak untuk melihat foto Loy lebih lama. Besok, ia punya bimbingan terakhir sebelum sidang skripsi. Dan ia akan menghadapinya.

Sejak malam itu, Rehna berubah. Sesuatu di dalam dirinya telah mati. Ia menjadi mahasiswi yang sempurna, robot Kimia yang efisien. Ia datang ke bimbingan tepat waktu, menyajikan data-data penelitiannya dengan presisi tanpa cela, dan menjawab setiap pertanyaan Pak Vir dengan jawaban yang lugas dan objektif. Tak ada lagi kalimat-kata puitis yang tak sengaja terselip, tak ada lagi tatapan mata yang penuh rasa ingin tahu.

Pak Vir menyadari perubahan itu. Ia melihat mahasiswi bimbingannya yang brilian, namun sorot matanya kosong. Beberapa kali ia mencoba memancing dengan obrolan ringan di luar topik skripsi, namun Rehna selalu menjawab dengan sopan, singkat, lalu dengan cepat mengembalikan pembicaraan ke jalur akademik. Dinding di antara mereka kini bukan lagi tak terlihat, melainkan sebuah tembok es yang tebal dan dingin.

Hari sidang skripsi tiba.

Rehna tampil tanpa cela. Ia mempresentasikan hasil penelitiannya dengan percaya diri, menjawab setiap pertanyaan dari dosen penguji dengan argumen yang kuat dan data yang akurat. Para dosen penguji, termasuk Pak Vir, memberinya pujian. Ia lulus dengan nilai A. Sebuah pencapaian puncak. Tapi di dalam hatinya, ia tidak merasakan apa-apa. Hanya kehampaan.

Hari wisuda menjadi puncak dari sandiwara itu. Di tengah lautan toga hitam dan senyum bahagia para wisudawan, Rehna berdiri seperti patung. Ia tersenyum saat dipotret bersama keluarga dan teman-temannya, menerima ucapan selamat, bahkan memeluk orang tuanya yang bangga. Tapi semua itu terasa seperti adegan dalam film yang ia tonton dari kejauhan.

Lihat selengkapnya