Tiga bulan telah berlalu sejak Rehna melepas toga sarjananya. Waktu yang terasa cepat sekaligus lambat. Sesuai dengan pelariannya ke dunia eksak, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai ahli kimia di bagian kontrol kualitas sebuah perusahaan farmasi di kota yang sama.
Dunianya kini adalah tentang presisi: menimbang reagen hingga tiga angka di belakang koma, mengukur pH larutan dengan ketelitian absolut, dan memastikan setiap formula sesuai standar. Dunia yang steril, logis, dan bebas dari drama emosional. Persis seperti yang ia inginkan.
"Rehna, data uji stabilitas untuk batch Paracetamol yang baru sudah kamu rekap?" Suara Rina, seniornya di lab, memecah keheningan.
Rehna mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari tabung reaksi di tangannya.
"Sudah, Kak. Laporannya ada di folder bersama, sudah saya kirim juga ke email Kak Rina tadi pagi."
"Oke, makasih ya. Cepat banget kerjamu. Eh, nanti malam anak-anak lab mau karaoke-an, lho. Ikut, yuk! Biar nggak pusing sama rumus terus," ajak Rina dengan ramah.
Rehna menggeleng pelan, senyum tipis yang tak sampai ke mata terukir di bibirnya.
"Maaf, Kak. Saya ada janji lain malam ini."
"Yah, sayang banget. Kapan-kapan harus ikut ya!" kata Rina, lalu kembali ke mejanya.
Rehna menghela napas. Ia berfungsi dengan baik di sini. Ia adalah rekan kerja yang bisa diandalkan, seorang ahli kimia yang kompeten. Tapi hanya itu. Ia adalah sebuah fungsi, bukan pribadi. Hatinya masih beku, atau setidaknya, ia berhasil meyakinkan dirinya begitu.
Satu-satunya pelarian dari kemonotonan itu adalah ritualnya. Sepulang kerja, dua atau tiga kali seminggu, ia akan singgah di sebuah kafe kecil yang nyaman tak jauh dari kampus lamanya. Di sana, di sudut favoritnya yang remang-remang, ia akan melepaskan jubah ahli kimianya dan kembali menjadi Rehna yang dulu: seorang gadis yang tenggelam dalam novel sastra.