Setelah malam konfrontasi yang menguras emosi itu, sesuatu yang aneh terjadi. Keheningan di antara Rehna dan Loy tidak lagi terasa canggung, melainkan berisi pemahaman. Loy, menepati janjinya, tidak memaksa. Ia memberi Rehna ruang, namun tetap hadir.
Seminggu kemudian, ia mengirim pesan singkat.
Ada kedai kopi baru di dekat alun-alun. Katanya enak. Mau coba?
Rehna menatap pesan itu lama. Hatinya yang dulu akan langsung menyuruhnya menolak, kini terasa berbeda. Ada rasa penasaran. Bukan lagi tentang masa lalu, tapi tentang masa sekarang. Siapakah Loy yang sekarang? Siapakah Rehna jika ia tidak lagi bersembunyi di balik lukanya?
Boleh
Mereka mulai bertemu secara rutin, namun dengan dinamika yang baru. Ini bukan lagi kencan, melainkan pertemuan dua orang teman lama yang mencoba saling mengenal kembali sebagai orang dewasa. Mereka tidak lagi membahas perpisahan mereka yang menyakitkan. Sebaliknya, mereka berbicara tentang hal-hal sederhana.
Rehna bercerita tentang tantangan bekerja di laboratorium, tentang betapa berbedanya dunia rumus dengan dunia kata-kata. Loy bercerita tentang pengalamannya selama bertugas, tentang indahnya matahari terbit di puncak gunung Papua, tentang arti persaudaraan di medan perang.
Rehna mendengarkan, dan untuk pertama kalinya, ia tidak lagi melihat Loy sebagai sumber lukanya. Ia melihat seorang pria yang telah melalui perjalanannya sendiri, pria yang juga memiliki bekas lukanya sendiri, baik fisik maupun batin. Dinding di antara mereka perlahan runtuh, bukan karena didobrak, tapi karena Rehna sendiri yang memilih untuk menurunkannya, bata demi bata.
Hampir tiga bulan berlalu. Tugas sementara Loy di kota itu akan segera berakhir.
Suatu sore, mereka duduk di bangku taman yang sama tempat Loy dulu menjelaskan kepergiannya. Kali ini, suasananya damai.
"Aku masih menyimpan pena itu," ucap Rehna tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman.
Loy menoleh, sedikit terkejut.
Rehna mengangguk. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak biru tua yang sudah usang itu. Di dalamnya, pena Parker itu masih tergeletak dengan gagah. Ia tidak lagi terasa dingin atau berat. Rasanya hanya seperti sebuah pena.
Loy menatap benda itu dengan tatapan penuh penyesalan.