Gelap. Berkabut. Hening. Tidak ada suara selain dengingan di dalam telinga. Dua siswi diam bersembunyi di bawah meja kelas. Mereka berpelukan satu sama lain. Tangan mereka bergetar, ketakutan setelah melihat apa yang terjadi pada seorang teman mereka di lapangan belakang.
Pintu kelas terbuka perlahan. Gesekan sendi pintu berkarat itu menciptakan suara yang nyaring. Lirih terdengar langkah kaki yang menyeret. Satu dari dua siswi itu mencoba mengintip perlahan. Samar-samar dapat terlihat, sosok seorang remaja seumuran mereka, mengenakan seragam sekolah yang bernoda darah segar. Matanya menyiratkan kehampaan. Wajahnya benar-benar tanpa ekspresi, walau sesaat sebelumnya ia dengan kejam menggigit kaki salah satu teman dari kedua siswi itu hingga kulitnya terkelupas.
“Dia datang,” bisik siswi itu. Leli Kusuma, itu yang tertulis di bet nama seragam sekolahnya.
“Mbak Lel ....” bisik siswi satunya. Ia ketakutan.
“Sssst. Jangan bersuara, Na.”
Mereka berdua terdiam. Berharap ada keajaiban, bahwa keberadaan mereka tak diketahui remaja kejam itu.
Langkah terseret itu semakin dekat.
Sreeet.
Sreeet.
Sreet.
Hening. Keheningan seperti ini malah menambah gugup kedua siswi yang terjebak di bawah meja itu.
“Mbak Leel, itu. Itu lihat,” kata Nana sambil menunjuk kaki yang terlihat di dekat meja mereka. Leli menenangkannya. Menaruh telunjuknya di depan bibir, menyuruhnya agar tak bersuara.
Gradak!!
Waaaaaa!!!
Brak! Brak!
Kedua gadis itu terkejut. Hampir keluar mata mereka. Terdengar suara keras yang berasal dari kelas sebelah. Sosok remaja yang mengejar mereka itu kemudian berlari ke luar kelas, menuju ke arah suara tersebut. Leli bernafas lega, namun ia khawatir dengan suara tadi. Apakah itu suara berasal dari tiga temannya yang lain.
“Mbak Lel ... jangan-jangan itu suara Ravi dan yang lain?”