Aku bingung. Kedua tanganku sedari tadi menggenggam selembar kertas yang harusnya kuisi, tapi belum juga kugerakkan penaku untuk menodainya. Hanya kolom nama yang sudah berhasil kuisi dengan sukses. Yoga Mahardika.
Hidup itu pilihan, tapi memilih itu sulit. Jadi, hidup itu sulit. Sulit untuk menanggung konsekuensi 3 tahun ke depan bila ternyata pilihanku salah. Tak ingin ambil pusing, aku pergi keluar kamar. Siapa tahu dapat inspirasi.
Terdengar samar, alunan musik dan hentakan-hentakan kaki dari dalam kamar Gina. Kutempelkan telinga lembutku ke pintunya. Hmm, mencurigakan. Kubuka pintu itu dengan kecepatan tinggi.
“Hayo ngapain!?” kataku mengejutkan.
Gina tersentak dan membeku. Sekejap tadi aku yakin melihatnya menari.
“Ngapain sih mas!? Ganggu aja.” Gina sewot.
Kuhampiri ia dan duduk di atas kasur. “Ngapain kamu kayak orang gila,” tanyaku meremehkan.
“Yaelah nggak ngerti. Ini itu lagi trendy. Makanya gaul dong, banyakin temen. Jangan main game aja di rumah.”
“Temenku banyak,” gerutuku.
“Temen asli, bukan dari game online.”
“Lho, asli. Kan ada Deril, Mio sama Soni,” kataku sambil menghitung dengan jari.
Mendengar jawabanku, Gina bermuka malas. “Segitu, banyak?”
“Ya kan masih ada lagi, si Soni, Mio, terus Deril.” Kuputar saja jawaban yang tadi, paling juga dia nggak sadar.
Gina menatapku dengan tajam dalam keheningan. Sial, sepertinya dia sadar.
“Halah, kayak temanmu banyak aja,” kataku menyerang balik.
Gina mengambil handphone dan menekannya dengan penuh perasaan. Kemudian ia sodorkan persis ke depan mataku, pamer akun medsosnya. Followernya tiga ribu enam ratus lima. Sial, followerku cuma 24, itu pun sudah termasuk 10 akun palsu bikinanku sendiri. Kurebut hape itu dari depan muka tampanku.
“Ngapain sih ke sini?” tanya Gina kesal. “Sudah diisi belum itu formulir, mau daftar ke SMA mana?”
“Belum. Masih bingung,” ucapku sembari merebahkan badan dan mengamati medsos Gina.
“Kenapa nggak bareng sama teman-temanmu yang banyak itu?” tanyanya sambil meledek.
Aku menatap Gina tajam. “Mereka daftar ke SMA favorit.”
“Ketiganya?”
Aku mengangguk lemah.
“Hi hi hi. Makanya mas, meski nggak gaul, seenggaknya pinter gitu lho.”
Aku menatap Gina semakin tajam, tapi kata-katanya tadi lebih tajam karena merupakan fakta menyedihkan yang aku sendiri mengakuinya. Yah, aku memang tidak dalam lingkaran anak-anak gaul maupun dalam lingkaran anak-anak pintar. aku minoritas dalam kaum minoritas. Aku spesial.