Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #3

Chapter #2 Sang pemimpi cabul

Aku nampak keren dengan tas baru, sepatu baru, ikat pinggang lama dan jam baru. Aku yakin aku keren. Pasti aku keren. Setidaknya ada satu orang yang pasti setuju dengan pendapatku ini. Yaitu aku.

Perlahan dengan tatapan tajam pada siswa-siswi yang seliweran, aku berjalan memasuki sekolah baruku ini yang katanya angker. Hmmm, tidak seangker yang kubayangkan. Tampak seperti sekolah biasa. Tidak ada kesan angker. Benarkah di sini pernah ada beberapa murid yang kesurupan lalu bunuh diri? Aku sebenarnya tak percaya tahayul itu dan tak mau percaya.

Cintaku yang tulus, takkan terhalang makhluk halus!

Ini kesempatanku berubah menjadi lelaki gaul penuh cinta. Yeah, ini saatku untuk menjelajahi masa-masa indah SMA seperti di film-film remaja semacam “Dua Garis Biru”. Hihihi, membayangkannya saja hatiku deg-degan. Hana, tunggu aku di kelasmu!

Aku memasuki kelas di pojok gedung yang bertuliskan “1.1”. Inilah kelasku. Aku menoleh mengamati segala sisi ruangan. Siswa siswi yang ada menatapku heran. Aku senyum mengangguk sopan saja pada mereka. Bergerak perlahan mencari bangku yang kosong. Incaranku tentu adalah deretan tengah. Karena dari yang kuamati selama duduk di bangku SMP, deretan depan adalah deretan anak kuper dan anak pintar, deretan tengah adalah anak-anak gaul baik-baik, dan deretan belakang adalah anak-anak gaul tapi bandel. Aku anak baik dan ingin gaul.

Ada sebuah bangku yang kosong, aku mendekatinya. Kuletakkan tas baruku di situ.

“Itu bangkuku,” kata seorang siswa berbadan bongsor dari belakang.

Aku menoleh padanya. Kulihat jelas tasnya berada di bangku belakang. Kurasa dia anak gaul tidak baik-baik. “Bukannya mejamu di situ?” kataku polos. Masa sih, dia mau menghajarku. Aku kan baru masuk dan kami kan belum kenal.

“Dengar nggak, ini bangkuku,” teriaknya. Siswa bongsor itu tetap kukuh.

Mendengar sentakannya, lututku gemetar. Kurasa dia akan menghajarku! Aku ingat, di film-film, berantem nggak butuh kenal dulu.

“Yoga, sini!” seorang siswa yang duduk di depan, melambaikan tangannya padaku. Aku kembali menoleh siswa bongsor itu bersama gengnya. Wajah mereka mengerikan. Tak mau susah di hari pertama, aku pergi menuju siswa yang memanggilku tadi.

“Ente Yoga, kan?” tanya siswa itu. Dari mukanya, sepertinya dia turunan Arab.

“Iya, kamu kok tahu?” tanyaku penasaran.

“Tahulah, ente kan satu-satunya siswa yang nggak masuk waktu OSPEK. Hebat banget baru masuk udah berani bolos.”

“Bukan bolos, aku sakit. Dirawat di rumah sakit,” kataku.

“Sakit apa?”

“Sakit gigi.”

Ya, tak terduga aku didiagnosa ludwig angina. Gigi yang sakit waktu itu kumat hingga pipiku bengkak seperti hamster yang menyimpan makanan di mulutnya. Menekan tenggorokanku sampai susah bernafas. Alhasil aku dirawat di rumah sakit. Kata dokter, kasus seperti itu bisa menyebabkan kematian.

Siswa arab itu terkekeh-kekeh seperti nggak percaya. “Iya, ente nggak bolos, tapi “sakit”,” katanya sambil menekuk jari telunjuk dan tengahnya seakan memberi tanda kutip pada kata sakit.

Yah, susah kujelaskan panjang-panjang, malas juga. Kulemparkan dia senyum palsu saja. Toh dengan terlihat berani membolos, aku bisa terlihat keren.

“Nama ane Amar,” katanya sambil menyodorkan tangan. Kujabat tangannya dengan keras sampai ia meringis agar terkesan aku orang yang tegas. “Tempat duduk ente di sini sama ane, yang lain udah terisi.”

Pasrahlah aku, kembali lagi duduk di depan. Tempat anak tidak gaul berada. Kuletakkan tas sambil menerima nasibku. Aku menoleh ke belakang, ke arah siswa bongsor tadi. Dia menyapa seorang siswi manis yang baru datang. Ternyata bangku yang kuincar tadi adalah bangku siswi manis itu. Dan siswa bongsor itu terlihat sumringah dengan kedatangannya.

“Namanya Effendi, jangan berurusan dengannya kalau nggak mau ribet,” kata Amar memberiku informasi.

“Itu cewek di depannya siapa?”

“Itu Maria, incerannya Effendi. Jangan dekat-dekat.”

Oh, begitu. Pantas saja. Baiklah, kumaafkan kau kali ini, dasar bocah gembul. Karena aku tidak ingin mengganggu percintaanmu. Ya, aku menghargai kisah cinta orang. Tapi lain kali awas saja kau. Aku bergumam seperti itu dengan lutut yang masih gemetar.

“Hey, nanti istirahat ikut ane. Ente kan belum tahu situasi di sini,” ajak Amar.

Aku mengangguk, mengiyakan ajakannya.

----------

Amar mendampingiku berjalan mengitari sekolah. Persis seperti tour guide, dia menjelaskan satu per satu tempat yang kami lewati. Kata-katanya masuk ke dalam telingaku tapi hanya separuh yang kuproses. Karena separuh fokusku mencari keberadaan Hana, sang selebgram cantik yang membuatku bersemangat daftar di sekolah ini. Mataku seperti elang, namun entah tidak kutemukan ia dimanapun. Bila kiranya gadis cantik itu nampak, pasti akan kuajak kenalan, nikah dan kita akan segera punya cucu. Seperti yang kuimpi-impikan.

Lihat selengkapnya