Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #4

Chapter #3 Gedung Belakang

Seorang lelaki dewasa muda masuk ke dalam kelas. Posturnya kerempeng berkulit hitam, potongan rambutnya belah pinggir, dandanan rapi dengan baju dimasukkan celana.

“Itu Pak Doyok, guru olahraga. Sekaligus wali kelas kita,” bisik Amar.

“Oooh.” Aku mengangguk paham.

“Ente bawa baju olahraga kan?” tanya Amar.

“Wah, nggak.”

“Waduh. Matilah ente, Pak Doyok ini terkenal killer,” ucap Amar dengan senyuman mengejek samar-samar. Amar mengeluarkan baju olahraganya, begitu pula dengan siswa-siswi lain. Sedangkan aku, terdiam. Berkeringat ketakutan. Baru masuk sudah akan melanggar tata tertib.

Pak Doyok kemudian menatapku yang tak kunjung mengeluarkan baju olahraga. “Kamu Yoga ya? Yang kemarin sakit seminggu?”

“Iya, pak.”

Pak Doyok melihatku yang pucat berkeringat. “Kamu sakit lagi?”

Aku diam saja, takut dimarahi.

“Ya sudah, hari ini kamu tidak usah olahraga dulu. Kamu lihat-lihat saja dulu ya,” kata Pak Doyok.

Aku tersenyum lega, kemudian melirik ke Amar dengan senyuman mengejek samar-samar. Amar kesal.

Kami semua pergi ke lapangan di sebelah sekolah. Pak Doyok mengajarkan cara melakukan tolak peluru kepada seisi kelas. Olahraga yang nampak mudah bila dilihat, tapi kenyataannya tidak semudah itu.

“Begini caranya ya, anak-anak,” ucap pak Doyok sambil memeragakan cara tolak peluru yang sesuai teori. Dengan postur tubuh yang baik, pak Doyok berputar indah. Satu kali putaran, dua kali putaran. Lalu dia melempar bola besi yang berat tersebut. Dan ... jatuh persis di dekat kakinya.

Hening.

Seorang siswi datang mengukur jaraknya dengan menggunakan meteran.

“30 cm!” serunya.

Pak Doyok lalu berjalan ke pinggir lapangan dengan berkeringat dan bibir pucat. “Haah, haaah, haaah ...” nafasnya tersengal-sengal. Mukanya pucat pasi. Nafasnya setengah mati. Aku menatap tajam pada guru yang kuperkirakan berumur 30 tahunan itu. Guru olahraga macam apa ini. Sungguh tidak olahragawan.

“Ayo ... anak-anak ... gantian ... mencoba.” Pak Doyok masih terlihat kelelahan.

Aku duduk berdiam diri melihat para siswa bergantian mencoba melempar. Karena bolanya hanya 2, antrian sangat panjang.

“Yog, tolong ambilkan bola besi lagi di gudang olahraga belakang,” perintah pak Doyok yang sepertinya sudah bisa mengatur nafas.

“Baik pak,” jawabku terpaksa.

Aku berlari ke arah Amar. “Mar, temenin aku. Disuruh pak Doyok ngambil bola besi lagi di gudang.”

Lihat selengkapnya