Hari-hari kujalani dengan rutinitas yang sama. Melewati jam pelajaran, makan di kantin lalu kembali belajar, sambil melamun ingin segera pulang. Setelah bel pulang berdenting kencang, aku berlari ke depan gerbang sekolah, melihat Hana pulang dijemput mobil putihnya.
Hanya saja kurasa ada yang berbeda dari caraku melihat Hana setelah mendengar cerita Amar. Biasanya selalu kulihat dia dengan penuh suka cita, tapi kali ini aku melihatnya dengan campuran perasaan kasihan. Cerita yang Amar sampaikan waktu itu tengiang-ngiang di otakku.
Aku jadi penasaran. Tentang kisah di sekolah ini. Bagaimana awal kisah di balik misteri sekolah ini. Apa saja cerita yang pernah terjadi. Siapa saja yang pernah mengalaminya. Dan dimana saja cerita itu terjadi. Perasaan ini timbul kembali, perasaan yang sama seperti ketika aku membaca komik Detektif Kindaichi. Ya, rasanya jiwa detektifku membara. Aku penasaran!
“Ngelamun apa ente, Yog?” tanya Amar memecah pikiranku. Dia mulai duduk di sebelahku dengan membawa pesanannya. “Makasih ya, mi pangsitnya. Jangan sering-sering traktir lho, ane sungkan.”
“Aku penasaran, Mar,” kataku sambil mengaduk-ngaduk gelas teh tanpa tujuan.
“Apa itu?” Amar mulai melahap makanannya.
“Gimana sebenarnya tentang cerita mistis yang ada di sekolah ini.”
“Hm?” Amar menyipitkan mata dan melirikku.
“Aku ingin tahu semuanya tentang kisah misteri sekolah ini. Maksudku, aneh sekali kan? Banyak yang kesurupan dan bunuh diri? Pasti ada sesuatu!” seruku bersemangat.
“Yog, tahu nggak kenapa cerita ini selalu beredar tapi tidak ada yang benar-benar mendalaminya. Itu karena semua orang takut. Takut kesurupan.”
“Kamu sendiri takut, nggak Mar?”
“Nggaklah, ane kan arab. Santai ....”
“Mar, kalau kita bisa memecahkan misteri ini, kita akan dikenang seluruh sekolah. Bahkan mungkin hingga generasi penerus kita. Terkenal kita nantinya.”
Amar mengangguk-angguk dan mengelus-elus dagunya. Tampaknya dia tertarik. Aku sendiri tertarik dengan kata-kataku barusan. Bisa-bisa Hana melirikku bila aku bisa memecahkan misteri ini.
“Oke, sepulang sekolah mari kita rapat,” kata Amar mantab.
“Di mana?” tanyaku.
“Di rumahmu aja. Ada makanan nggak?”
“Nggak ada sih.”
“Oke, ente beli makanan.”
Lah ... kenapa aku yang ....
Tapi tak apa, aku bersemangat memecahkan misteri ini. Dan aku tak bisa melakukannya sendiri. aku butuh partner.
Sisa hari, kami jalani tanpa fokus. Hanya berharap sekolah segera usai. Karena Yoga sang detektif swasta dan Amar sang mantan polisi yang dipecat karena mencuri barang bukti berupa celana dalam wanita, akan beraksi. Misteri sekolah ini akan segera terpecahkan!
------------
Hening. Aku diam dan Amar juga diam. Kami bingung, bagaimana memulai rapat.
“Jadi mulai darimana yang harus kita bicarakan?” tanya Amar.
“Aku juga bingung.”
Hening kembali.
“Bagaimana kalau kita mulai membicarakan tentang anak yang dipanggil sebagai pemimpi cabul?” usulku memecah keheningan.
“Sialan ente, itu kan ane!” Amar emosi.
Aku cekikikan. Amar terlihat malas. Tapi ia mungkin merasa tak mungkin lama menutup-nutupinya. Ia harus cerita.
“Oke, bila itu yang ente kehendaki. Dengarkan baik-baik yang akan ane ceritakan,” kata Amar dengan mimik serius.
Aku berkonsentrasi untuk mendengarkan cerita teman sebangkuku itu.
Hening sebentar.
“Sampai mana ane cerita tadi?” tanya Amar.
“Lah?! Belum juga mulai cerita!” Sialan, aku terpancing emosi.
Amar terkekeh.
“Jadi, pada suatu hari ....”
Amar mulai menceritakan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari pertamanya masuk sekolah. Tidak ada yang ia kenal di situ, memang karena sebenarnya Amar bukan warga kota ini. Dia pindah ke kota ini karena pekerjaan ayahnya. Sebenarnya tak sulit Amar mencari teman, meski tidak gaul tetapi dia pandai bersosialisasi. Ya mungkin lebih tepatnya, sok kenal sok dekat. SKSD.